Opini

Terorisme Reinkarnasi Paham Khawarij

Sen, 4 Juni 2018 | 20:00 WIB

Oleh Ilham Fikri Ma'arif

Akhir-akhir ini negeri kita kembali diserang sekelompok orang radikal yang tidak memahami subtansi agama (Islam) secara utuh dan tersudut dalam pikiran sempit dan terbatas . Kelompok radikal tersebut dinamai teroris karena mengancam ketertiban, ketenteraman, dan kedamaian masyarakat. Orang sehat akal pikirannya pasti geleng-geleng kepala dan mencari-cari jawaban apa motif dibalik penyerangan serta pengeboman yang mereka lakukan. 

Salah satu alasan populer para teroris sampai berani menyakiti diri sendiri dan orang lain adalah surga dan bidadari yang konon akan langsung menjemput mereka. Tak heran orang yang meledakkan bom bunuh diri disebut “pengantin”.

Ada faktor lain selain surga dan bidadari alasan tidak begitu populer dan diketahui banyak orang, yakni faktor pikiran. Cara berpikir para teroris ini mewarisi paham Khawarij yang dengan enteng menuduh ‘Ali telah kafir. 

Pada mulanya kelompok Khawarij adalah tentara pendukung Ali, namun kemudian keluar dari barisan karena mereka menganggap keputusan Ali pada saat peristiwa tahkim, menerima  arbitrase (perjanjian penyelesaian sengketa) setelah berperang melawan Mu’awiyah, bertentangan dengan hukum Allah. Mereka tidak menerima putusan Ali karena keputusannya dianggap tidak merujuk Al-Qur’an sebagai sumber putusan.

Dengan dalih mantap surat Al-Maidah ayat 44 “Barangsiapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Allah, adalah kafir”, mereka berkesimpulan Ali menantu manusia paling mulia (Nabi Muhammad) telah kafir dan keluar dari Islam. 

Tentu pikiran ini bukan berasal dari hati bersih penuh keimanan melainkan berasal dari hawa nafsu yang menginginkan kegaduhan. Mereka meyakini Islam versi pemahaman mereka adalah suatu kemutlakan dan pasti benar, siapa saja yang bertentangan dengan pemahaman mereka dianggap kafir dan melawan Islam padahal tidak demikian. 

Sungguhpun keputusan Ali dalam keadaan terpaksa dan demi kemaslahatan bersama – meskipun kenyataannya tawaran arbitrase dari pihak Mu’awiyah bagian dari kelicikan dan merugikan ‘Ali – kaum Khawarij tetap bersikukuh apa yang dilakukan Ali salah karena tidak bersandar pada Al-Qur’an. 

Kemudian pikiran sempit Khawarij diwarisi oleh sebagian umat Muslim, tidak terkecuali umat Muslim Indonesia. Pemahaman Islam sebagai ideologi dan agenda politik bukan sebagai agama yang universal yang menjunjung kemanusiaan, kedamaian dan keadilan membuat pemikiran mereka terbatas karena memang pada dasarnya tafsir ideologis dan politis sangat sempit sehingga tafsir agama yang berlainan dengan tafsir versi mereka dengan mudah dituduh kafir.

Saat melihat realitas masyarakat Indonesia yang berbeda-beda, pikiran sempit demikian sulit menerima. Semua yang berbeda dengan pemahaman dan tafsir mereka dianggap sesat bahkan tradisi yang telah menjadi bagian integral masyarakat Indonesia dianggap bid’ah. 

Sebenarnya fenomena ini disebabkan kekurangpahaman membedakan mana syariat dan mana kultur Arab. Tidak tanggung-tanggung, dasar negara Indonesia Pancasila mereka vonis sebagai thagut dan berhala. Padahal pancasila dirumuskan juga disetujui oleh para tokoh ulama Nusantara yang tidak diragukan pemahamannya tentang Islam. Sebagai Muslim layaknya mereka memiliki rasa tawadlu’ rendah hati, menghormati kesepakatan ulama terdahulu dan menaatinya. 

Pada akhirnya, si pemilik warisan pikiran seperti ini ibarat reinkarnasi Khawarij yang beringas, intoleran dan ingin “membasmi” segala bentuk pemahaman selain dia. Segala cara ditempuh untuk memuaskan hawa nafsu pribadi termasuk melakukan tindakan diluar nalar. Jalan pintas berupa kekerasan dan pemaksaan sudah biasa dilakukan. Melahirkan wajah Islam agresif dan pemikiran tidak terbuka. Mengubah wajah Islam Indonesia yang terkenal di dunia internasional sebagai Islam with a smiling face. Berujung pada jurang tindakan terorisme. 

Kurangnya perhatian dan kesadaran masyarakat adalah bukti kelihaian pergerakan harakah kelompok radikal. Al-Qur’an dan hadits secara fasih terlontar dari lisan mereka tapi tidak dibarengi spritualitas, semangat menebar kedamaian dan ketenteraman sebagaimana agama Islam dipahami oleh ulama Nusantara para wali yang tidak mementingkan ambisi pribadi maupun kepentingan kelompok demi kekuasaan.

Kita seharusnya berani jujur bahwa para teroris adalah saudara Muslim yang perlu diluruskan. Mereka adalah bagian dari Islam tetapi memiliki pemikiran yang ekstrem. Jangan cuci tangan dengan menuduh mereka tidak beragama. Para teroris adalah tanggung jawab kita bersama sekaligus musuh yang harus dilawan, memberi pemahaman yang mencerahkan kepada keluarga, kerabat, serta teman terdekat merupakan bagian terpenting dan perlawanan terbaik untuk mencegah pemikiran ekstrem tetap eksis dan tumbuh subur di tanah air kita tercinta.


Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning, Tasikmalaya, mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir semester 2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta