Opini

Tradisi Selapanan di Pondok Pesantren

Rab, 14 Desember 2022 | 20:00 WIB

Tradisi Selapanan di Pondok Pesantren

Ilustrasi sekumpulan santri di pondok pesantren. (Foto: NU Online)

Selapanan sebagai salah satu tradisi masyarakat Jawa yang masih bertahan hingga saat ini, tentu sudah tidak asing keberadaannya di tengah masyarakat. Kerap kali selapanan dijadikan acuan dalam kegiatan yang bersifat rutinan, termasuk dalam perihal recharge iman.


Dalam sejarahnya, selapanan merupakan tradisi peringatan nepton dalam kalender Jawa yang terdiri dari lima hari yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon. Kemudian hitungan Jawa ini dikolaborasikan dengan hari Pasaran biasa mulai dari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, Sabtu, dan minggu. 


Hasil kolaborasi dua perhitungan jadwal hari ini akan menemukan Perhitungan yang unik karena setiap 35 hari sekali akan berulang hari yang sama. Seperti Ahad Legi, Rabu Kliwon ataupun Senin Pon yang terus berulang dalam kurun waktu 35 hari sekali.


Pola ini akhirnya turut membentuk tatanan masyarakat dalam memperingati kegiatan-kegiatan tertentu. Bahkan di beberapa hari khusus dijadikan sebagai seremonial upgrade kualitas diri. Momen ini juga dimanfaatkan oleh kiai-kiai NU untuk mengagendakan kegiatan keagamaan. 


Salah satunya yang masih eksis hingga saat ini adalah tradisi pengajian selapanan khas pesantren. Kurun waktu 35 hari sekali ini dianggap menjadi waktu yang ideal untuk melakukan forum pengajian rutin karena tidak terlalu cepat ataupun terlalu lama bagi masyarakat awam. 


Hal ini selaras dengan anjuran Nabi kepada Sayyidina ‘Ali dalam kitab Wasiyatul Musthofa karya Sayyid Abdul Wahab As Sya'roni.


‎ ياعَلي، إذا أتى على المؤمن أربعون صباحًا ولم يجالس العلماء قسى قلبه، وجسر على الكبائر؛ لأن العلم حياة القلب 


“Wahai Ali, ketika datang 40 hari kepada seorang mukmin, dan (selama itu pula) ia tidak berkumpul dengan ulama, maka keraslah hatinya, dan berani melakukan dosa besar. Karena (hakikatnya) ilmu itu (memiliki) hati yang malu (kepada Allah)."


Salah satu pondok pesantren yang memanfaatkan momentum selapanan adalah Pondok Pesantren Al Husna Payaman, Secang, Magelang, Jawa Tengah. Pondok pesantren putra putri yang telah berdiri sejak 2003 ini mengadakan Pengajian Selapanan setiap hari Ahad Legi dengan sasaran wali santri dan juga alumni. Meski sudah memiliki kesibukan masing-masing, selapanan ahad legi sebagai ajang ngaji dan silaturahmi


Dalam rangkaian selapanan yang terstruktur, pembacaan simthudurror mengawali rangkaian acara. Simthudurror yang berisi kisah perjalanan hidup Nabi menjadi sarana menyalurkan kerinduan pada Nabi Muhammad. Diiringi hadroh Putra PP Al Husna, jama'ah pengajian seksama menyimak lantunan sholawat dengan khidmat.


Rangkaian selanjutnya adalah tahlil dan mujahadah yang akan dipimpin langsung oleh Abah KH Muhammad Azhari al hafidz. Bacaan tahlil ditujukan untuk nama-nama ruh yang dititipkan oleh jamaah sebelum acara dimulai. Mujahadah ijazah Lirboyo menjadi mujahadah yang dibaca dalam selapanan Ahad Legi. 


Mujahadah dapat menghadirkan sakinatul qolbi karena bacaan-bacaan dzikir yang mengantarkan pada Ingat Allah swt. Dalam Al-qur’an surat Ar-Ra’du ayat 28 disebutkan,


‎الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ


"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”


Puncak dari selapanan Ahad Legi adalah pengajian kitab Nashaihud Dinniyah karya Al-habib Abdullah bin Alawi al-Haddad yang juga dikenal penyusun Ratibul Haddad.

 

Nashaihud Diniyah merupakan kitab yang berisi tentang nasehat agama dan wasiat-waiat keimanan, serta tuntunan hidup, hikmah, dan petuah bijak. Kitab ini dirasa sangat sesuai untuk wali santri dan alumni yang membutuhkan semangat dan motivasi keimanan.


Meili Ekawati, santriwati Pesantren Al Husna Payaman, Secang, Magelang; mahasiswi Universitas Tidar Magelang