Opini

Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 1)

Sel, 7 April 2020 | 21:00 WIB

Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 1)

Ilustrasi Sodom Gomorah (artuk.org)

Oleh Warsa Suwarsa
 
Zat, energi, ruang, dan waktu tercipta sekitar 13.5 milyar tahun yang lalu. Para astronom modern telah menyimpulkan peristiwa ini merupakan awal kelahiran jagad raya melalui satu poses dahsyat bernama big bang atau ledakan besar. Semua agama dan keyakinan memiliki penafsiran yang mirip terhadap peristiwa awal terbentuknya alam semesta. Dari peristiwa ini mulai terbentuk ruang dan waktu. Al-Qur'an memiliki terma tersendiri dengan kata “yaum”.  Tradisi biblikal versi Latin menyebutnya dengan padanan kata “aevum”. Tradisi Ibrani menyebutnya “yom”. 

Zat-zat yang baru terbentuk sebagai bakal calon struktur tata semesta bergerak bebas dalam ruang dan waktu. Dalam kurun waktu 300.000 tahun setelah kelahiran ruang dan waktu, mangikuti piranti lunak yang telah diciptakan oleh Allah bernama sunnatullah terbentuklah atom-atom. Sekitar 3 milyar tahun lalu, di salah satu sudut galaksi Bimasakti, di planet bumi  atom-atom saling berhubungan membentuk partikel dan molekul yang lebih rumit dan kompleks. Dari sinilah kehidupan berawal. Meskipun para penganut atheis menyebut peristiwa ini berlangsung secara kebetulan, namun paduan orisinalitas struktur molekul benar-benar menunjukkan bahwa kesemuanya ini merupakan satu  rancangan yang bersumber dari sebuah kecerdasan tertinggi.

Atom-atom yang membentuk molekul dan partikel selama milyaran tahun terus bergerak membentuk struktur lebih rumit menjadi bukti adanya kecerdasan yang mengatur semua ini. Sumber-sumber informasi dari berbagai keyakinan, kitab suci, dan hasil penelitian para ahli, meskipun  memberikan sebutan berbeda terhadap perubahan secara perlahan dalam waktu  lama, tetapi memiliki substansi yang berbeda. Saintis menamainya evolusi, Al-Qur'an memberikan difinisi yang lebih detail dalam penggalan ayat: wa kuntum amwaatan faahyaakum, tsumma yumiitukum, tsumma yuhyiikum, penggunaan kata tsumma jelas sekali menunjukan satu perubahan yang terus berjalan, tidak terdifisikan oleh lamanya waktu. Di dalam Hindu dikenal dengan sebutan Brahmande api asti yat kincit tat pinde asti sarvatho, semesta sebagai sebuah buwana tertata rapi sebagai perpaduan dari piranti keras sekaligus dengan piranti lunaknya.

Ruang dan waktu melahirkan dualitas di alam semesta. Terang dan gelap, siang dan malam, positif dan negatif, laki-laki dan perempuan, dan dualitas tersebut bukan memisahkan struktur semesta melainkan menyatukannya. Kreasi terbaik dalam proses ini yaitu kelahiran manusia. Tentu saja kita akan mengalami kesulitan dalam membongkar peristiwa yang sebenarnya berlangsung di masa milyaran hingga ribuan tahun lalu. 

Untuk memahami jalan sejarah dan kondisi  alam di masa lalu kita harus masuk ke dalam otak para leluhur manusia. Tiga agama besar di dunia meyakini bahwa leluhur berperadaban pertama adalah Adam. Faktanya, setiap keyakinan dan pengetahuan modern meyakini adanya sapiens berperadaban pertama. Kehadiran manusia berperadaban pertama berlangsung saat revolusi kognitif sebagai akibat dari perkembangan ukuran otak manusia. Di masa revolusi kognitif inilah manusia berperadaban pertama telah mampu membahasakan berbagai nama. 

Pertumbuhan ukuran otak  manusia terus berlangsung dalam kurun 60.000 tahun, peradaban baru lahir dari sebuah revolusi agrikultur. Domestikasi beragam tumbuhan dan bintang dilakukan oleh manusia. Cerita Kabil dan Habil sebetulnya mewakili dua jenis masyarakat: pengelola peternakan dan pertanian.

Perlu dicatat, perkembangan peradaban manusia dari titik awal sampai dua revolusi di atas tidak berjalan mulus. Dualitas di dalam kehidupan berperan sebagai penyeimbang, secara telaten memengaruhi perkembangan sejarah. Populasi meningkat, pemukiman tradisional terbentuk, koordinasi dilakukan oleh para leluhur, kemakmuran lahir. 

Tetapi di samping semua itu, kehidupan juga menyediakan piranti penyeimbang, dapat berbentuk bencana, wabah, hingga peperangan saat koordinasi antara klan melemah. Wabah lahir bukan tanpa sebab, dalam catatan sejarah dan kisah disebutkan ancaman ini seringkali lahir di saat manusia menempati piramida tertinggi rantai makanan. Artinya, wabah selalu menyertai kehidupan di saat manusia telah menampakkan sifat rakusnya, apa pun dijadikan bahan pokok yang harus dikonsumsi. Peningkatan kalori dan protein dalam diri manusia berbanding lurus dengan peningkatan hormon noradrenalin pemicu stress, ketakutan, ceroboh, dan ketegangan.

Beberapa wabah yang lahir sebagai akibat dari kerakusan manusia telah berlangsung sejak fajar sejarah manusia terbit. 

Wabah Sodom dan Gomorah (3500 SM)
Sodom dan Gomorah merupakan dua tempat di lembah subur Pentapolis (sekarang Yordania). Setelah peristiwa banjir besar di era Nuh, secara perlahan peradaban agrikultur lahir di lembah ini. Masyarakat di wilayah Pentapolis hidup dalam kemakmuran. Hasil pertanian meningkat dari tahun ke tahun. Sel-sel ajaran kebaikan tetap dipertahankan setelah banjir besar melanda bumi. Luth merupakan keturunan ke-12 dari Nuh. Era ini merupakan masa kejayaan umat manusia di daerah Pentapolis.

Kenaikan tingkat konsumsi terhadap hasil peternakan dan pertanian memiliki pengaruh kepada rata-rata manusia di era Luth. Peningkatan hormon noradrenalin telah memicu lahirnya sikap abnormal. Kecemasan dan ketakutan kehilangan sumber daya alam dilampiaskan oleh mereka dengan menjalin hubungan sesama jenis. Penelitian terkini menyebutkan, ketakutan dan kecemasan berlebih kerap melahirkan prilaku-prilaku menyimpang di luar kebiasaan.

Terlepas apakah saat ini kemunculan homoseksualitas dipandang sebagai isu gender dan hak asasi manusia, prilaku seksual menyimpang di zaman Luth telah menimbulkan wabah dengan tingkat penularan sangat masif. Penyebaran wabah ini telah mengubah etika sosial masyarakat, orang-orang yang terkena wabah di zaman Luth menunjukkan prilaku agresif. Dalam kisah biblical diceritakan, orang-orang Gomorah dan Sodom memaksa Luth untuk menyerahkan tamu yang berkunjung. Perubahan perilaku kaum Luth melahirkan berbagai potensi kejahatan. Psikologi manusia yang sedang tertekan itu melahirkan varian perilaku menyimpang lainnya.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa Pentapolis, untuk mencegah penularan wabah yaitu dengan cara  membumihanguskan Sodom dan Gomorah. Ilustrasi sebuah kota yang dihuni oleh wabah perusak mental dan jiwa manusia dapat kita saksikan dalam film I am Legend. Sodom dan Gomorah dibakar. Dalam kisah-kisah prophetik  peristiwa ini diilustrasikan sebagai  hukuman dari Tuhan berbentuk hujan api. 

Kenapa Luth dan para pengikutnya selamat dan tidak terpapar wabah? Luth mengimbau kepada para pengikutnya, selama dua kota dipenuhi oleh manusia pembawa wabah, agar tetap tinggal di dalam rumah. Hal ini mirip dengan kebijakan social and physical distancing zaman modern. Sebelum dua kota dibumihanguskan, Luth bersama pengikutnya meninggalkan kota terlebih dahulu.

Sodom dan Gomorah meninggalkan puing-puing setelah dua kota itu menemukan puncak kejayaannya. Dari data penelitian, di era keemasannya, penghuni kota  memiliki kemapuan membangun gedung dengan ketinggian sampai 7 meter dan melengkapi setiap bangunan dengan basement persembunyian agar mereka terlindungi dari penularan wabah. Peristiwa ini terjadi di zaman perunggu awal (3500 SM). Konon, pada zaman itu juga seorang raja bernama Nimrod terpapar wabah yang dibawa oleh Drosophila Melanogaster (rametuk, lalat kecil).

Wabah Hamin Mangha (3000 SM)
Peradaban Sungai Kuning yang berlangsung sejak tahun 5.000 SM secara perlahan dan pasti menginjak masa puncak kejayaannya pada tahun 3000-1500 SM. Pada kurun waktu sepuluh abad inilah masyarakat Tiongkok kuno telah mengenal tulisan. Pengenalan terhadap tulisan merupakan salah satu tonggak kemajuan kehidupan di berbagai bidang terutama dalam kebudayaan. Pembuatan produk rumahan merupakan salah satu unsur kebudayaan paling khas dihasilkan oleh peradaban ini. Konsekuensi yang terjadi dengan semakin berlimpahnya hasil-hasil produk kebudayaan mengakibatkan mobilitas atau pergerakan manusia semakin tinggi. 

Di sisi lain, acap kali kemajuan membawa satu masyarakat pada sikap permisif. Jika sebelumnya domestikasi dan konsumsi terhadap daging hanya mengandalkan ikan-ikan yang didapat di sepanjang aliran sungai. Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat melakukan domestikasi binatang-binatang lainnya seperti babi hutan, ayam, dan unggas. Satwa-satwa tangkapan atau buruan dimasukkan ke dalam kandang-kandang, dipasarkan, dan diperjualbelikan telah membawa petaka. Bakteri mematikan ditularkan kepada manusia melalui binatang-binatang domestikasi ini. 

Sebuah catatan dari live science menyebutkan, epidemi yang diakibatkan oleh bakteri  dari binatang domestikasi ini telah menelan korban ribuan nyawa dalam hitungan hari. Hamin Mangha sebuah desa kuno lenyap oleh sebuah epidemi. Ribuan mayat dimasukkan ke dalam rumah mereka kemudian dibakar untuk mengurangi penularan. Dengan epidemi ini sama sekali tidak ada kelompok umur yang selamat, tua, muda, paruh baya, lelaki, dan perempuan meninggal tanpa pemakaman yang tepat. Tradisi kremasi mayat pun konon dilatarbelakangi oleh peristiwa ini.

Perkembangan selanjutnya, bakteri yang ditularkan dari binatang domestikasi tersebut menulari  tikus. Dengan adanya transaksi perdagangan, jalur sutra, mobilitas dan interaksi sosial semakin tinggi, bakteri bernama Yersenia Petis semakin meluas dan menyebar ke wilayah Mediterania dan Eropa yang menjadi penyebab timbulnya wabah beberapa abad berikutnya.
 
Penulis adalah guru MTs-MA Riyadlul Jannah, Cikundul, Kota Sukabumi.