Opini

Wayang, Warisan Budaya Nusantara Era Kapitayan dan Islam

Sen, 24 Desember 2018 | 19:00 WIB

Oleh Lodji Hadi

Hari Wayang Dunia (HWD) biasa diperingati setiap tanggal tujuh november menyusul ditetapkannya wayang sebagai warisan budaya tak benda oleh Unesco pada 7 November 2003 silam. Di berbagai tempat biasanya digelar berbagai acara peringatan yang sudah barang tentu diisi dengan pagelaran-pagelaran wayang yang mengangkat tema beragam, namun dengan semangat yang sama yakni pentingnya memelihara seni budaya warisan leluhur sebagai wahana perekat sosial dan menjaga-kembangkan nilai-nilai kepribadian dan karakter sebagai entitas kebudayaan dan bangsa. Seperti contohnya di ISI Surakarta yang menggelar peringatan HWD selama empat hari berturut-turut dengan berbagai macam bentuk dan tema pertunjukan wayang.

“Kita ini sugih (kaya). Begitu kayanya ragam Wayang di Nusantara, baik yang klasik maupun kreasi”, kata Ki Jumaali, dalang wayang kreasi WolakWalik yang biasa mengangkat tema-tema kritik sosial dalam pergelarannya. “Dari Sumatra ada wayang Kulit Palembang, ada Wayang Golek Sunda, Wayang Kulit Jawa. Itu masih macam-macam bentuknya seperti Gagrak Mataram Jogja, Solo dan Jegdong Jawa Timur, Wayang Lemah Bali, Wayang Sasak, Wayang Banjar, Wayang Krucil, Wayang Topeng”, lanjutnya.

Ditanya tentang tema-tema sumber wayang, dalang yang juga pelaku seni teater ini memaparkan bahwa tak ada aturan baku dalam kreatifitas, termasuk di dalamnya wayang. “Sumbernya bisa macam-macam. Sumber dalam pakem wayang tradisional memang kebanyakan dari kisah Ramayana-Mahabarata, tapi dalam skala luas wayang bisa menampilkan cerita-cerita yang beragam diambil dari Sejarah Wali, Sejarah Majapahit, Panji, fabel, kitab agama. Itu tampak misalnya dalam cerita pertunjukan Wayang Sadat, Wayang Wali, wayang tani (yg mulai kehilangan jejak) dan lain-lain, termasuk wayang wolak-walik punya saya ini”, paparnya sembari mengelus kumisnya yang tebal. “Wayang ini seni yang kompleks dengan berbagai disiplin seni di dalamnya seperti sastra, musik, rupa dan lainnya. Sungguh luar biasa Dramaturgi Indonesia oplosan tak ada sekat tragedi dan komedi”, tambahnya.

Sementara itu dalang muda asal kota Malang dan sekaligus pengurus Lesbumi PBNU, Ki Ardhi Purbo Antono, mengatakan bahwa wayang memiliki fungsi sebagai media pendidikan maayarakat sekaligus sebgai hiburan dan ajang silaturahim. “Wayang niku sarana silaturahim antar penduduk nusantara, media dakwah bil hikmah yang tepat untuk segala jaman”, katanya. Dia juga menambahkan bahwa wayang juga merupakan sarana doa dan sarana meruwat bumi nusantara yg terbukti kemanjurannya. “Karena cerita-cerita dalam wayang nusantara adalah lelaku, suluk para ulama, wali, pujangga jawa tentang keharmonisan dan kelangsungan hidup antara manusia dengan isi alam semesta. Jadi bagi saya wayang adalah semacam manaqib para wali nusantara melalui jalur seni dan budaya”, pungkaanya.

Dwi Fungsi Wayang Era Kapitayan
Wayang merupakan warisan seni asli Nusantara. Sejak jaman pra Hindu wayang sudah dikenal dalam dua bentuk. Pertama, sebagai media dalam upacara suci memanggil arwah leluhur yang digelar pada hari-hari tertentu, terutama dalam penobatan ratu.

Dalang kumara (dalam keadaan kerasukan ruh) menuturkan kisah ratu-ratu Medang Kamulan (kerajaan awal di alam arwah, Sanghyang Dharma Kamulan i…) yang menjadi leluhur ratu yang dinobatkan. Karena ruh tidak bisa dilihat, maka digambarkan dalam wujud bayangan (hawayang, wewayangan).

Sekalipun Hindu sudah masuk, wayang tidak lantas hilang dan tetap pada fungsinya sebagai sarana upacara yg bersifat sakral. Seseorang yang sakit tidak lekas sembuh akan menggelar wayang untuk minta bantuan arwah leluhur. Karena itu sang Dalang, selain memainkan wayang dalam keadaan trance, juga menjadi penghubung manusia dengan dunia arwah.

Kedua, wayang sebagai tontonan berisi lakon-lakon humor. Tidak ada cerita pakem tertentu karena sifatnya yang hanya menghibur lewat beberapa figur tokoh Mabanyol dan Mamirus seperti Bancak, Doyok, Sangut, Santa, Prasanta. (Sampai sekarang di Jawa sebutan bagi orang yang sedang bertingkah lucu/melawak biasa disebut Mbanyol)

Di era Kediri dan Majapahit berkembang Karebet, pertunjukan wayang dari kertas yg dibeber dengan cerita panji yang memasukkan tokoh-tokoh Mabanyol dan Mamirus sebagai pelawak. Ini wayang untuk ditonton secara umum. Tapi wayang yang digelar di Kamulan tetap diteruskan sebagai sarana ritual keagamaan bersifat tertutup.

Baca juga 》  Semangat Pancasila Dalam Haul Ke-6 Mbah Liem
Wayang di Era Walisongo

Selanjutnya di era Wali Songo terjadi deformasi bentuk wayang. Figur tokoh yang digambar mirip manusia diubah menjadi gambar dekoratif yg tidak menyerupai manusia seperti bentuk hidung, mata, mulut, kepala, tangan, hiasan, dll. Deformasi bentuk ini dilakukan untuk menyiasati larangan lslam menggambar makhluk hidup.

Pakem cerita Ramayana dan Mabharata yang “diIslamkan” dijadikan kisah baku wayang pada era ini. Gamelan pun ditambah lebih lengkap. Meski sudah lslam, pertunjukan wayang tidak lepas dari anasir-anasir kuno seperti sesaji, kekutuk membakar dupa, membaca doa khusus untuk arwah sekitar yang hadir. Jadi wayang memang sudah dikenal di Nusantara sejak jaman Kapitayan kuno. Tapi wayang dalam bentuk Wayang Purwa sebagaimana kita kenal adalah sepenuhnya hasil kreasi Wali Songo. (Lodz)