Pustaka

Kedudukan Perempuan dalam Islam dan Realitas Sosial Politik

Sab, 25 Februari 2023 | 20:00 WIB

Kedudukan Perempuan dalam Islam dan Realitas Sosial Politik

Kedudukan Perempuan. (Ilustrasi: NU Online/Syakir)

Perempuan kerap mendapat stigma, baik dari sisi fisiknya yang dinilai tidak lebih kuat dari laki-laki, maupun pandangan yang menganggapnya sebagai sumber fitnah. Lebih dari itu, di zaman Jahiliah dahulu, memiliki anak perempuan dianggap menurunkan derajat kedua orang tuanya.


Tak pelak banyak yang menyembunyikannya hingga menguburnya hidup-hidup karena khawatir diketahui oleh khalayak. Hal demikian direkam dalam Al-Qur’an surat al-Nahl ayat 58-59. Tidak perlu risau dengan anak perempuan, sebagaimana tidak perlu bangga juga dengan anak laki-laki. Begitu Imam Ghazali mengingatkan dalam kitabnya, Ihya Ulumiddin.


Demikian KH Ahmad Abdul Hamid mengawali kitabnya berjudul Risalatun Nisa. Setelah itu, Kiai Ahmad juga menegaskan bahwa anggapan perempuan dianggap cukup jika sudah bisa memasak tentu tidak benar. Perkara halal, haram, wajib, sunnah, makruh juga harus diketahui oleh kaum Hawa. Karenanya, orang tua penting untuk menanamkan pengetahuan tersebut kepada putri-putrinya.


Di kitab tersebut, Kiai Ahmad mengulas berbagai kewajiban perempuan terhadap Allah swt, suaminya dan sebaliknya, terhadap anak. Pun beragam problem keagamaan yang menyangkut perempuan meliputi dunia politik, seperti menjadi lurah, duduk di kursi parlemen, sampai pada hukum perempuan belajar tulis-menulis.


Sebelum melebar ke berbagai hukum perempuan dalam dunia sosialnya, Kiai Ahmad lebih dahulu menguraikan berbagai kewajiban perempuan dalam keluarganya. Di sini, tampak Kiai Ahmad sangat berhati-hati dalam arti mencoba mengambil posisi pandangan terhadap perempuan secara lebih ketat.


Demikian tentu sangat berdasar karena landasan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis. Misalnya saja dalam bepergian, perempuan tentu harus lebih dahulu mengantongi izin dari suaminya plus dibarengi dengan mahramnya. Hal ini jelas berbeda dengan era sekarang, perempuan banyak yang keluar tanpa mahram, meski sudah mendapat restu suaminya.


Pun perihal menyambung rambut, Kiai Ahmad mengedepankan kaul haram terhadapnya dengan dasar keputusan Bahtsul Masail Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kudus pada 15 Zulkaidah 1380 H/30 April 1961.


Meskipun demikian, ia tetap memberikan alternatif boleh dengan dasar pandangan KH Abdullah Faqih Gresik yang termaktub dalam majalah Soeara Nahdlatoel Oelama. Perempuan juga harus mengenakan kerudung menutupi leher dan dadanya. Bahkan, Kiai Ahmad menegaskan dalam sub judulnya, "Kaum Muslimat Wajib Kudungan (berkerudung)".


Bahkan perihal tulis-menulis, ada hukumnya tersendiri bagi perempuan. Berbeda dengan hukum berkerudung yang langsung disebut wajib dalam sub judulnya, soal tulis-menulis ini tidak demikian. Pasalnya, hukumnya dikembalikan kepada niat atau illatnya.


Perempuan boleh belajar nulis jika diperuntukkan bagi belajar agama. Bila digunakan untuk bekerja, maka dikembalikan pada hukum pekerjaannya. Pandangan ini didasarkan pada sebuah kaidah fiqih, sesuatu itu bergantung pada tujuannya.


Perempuan dan Politik

Kepemimpinan perempuan di dunia politik sudah mulai dibicarakan sejak dahulu. Didasarkan pada keputusan NU pada 15 Jumadil Ula 1381 H/25 Oktober 1961, ada perbedaan pandangan berkaitan dengan memilih perempuan sebagai kepala desa. Khas NU yang mengikuti empat mazhab fiqih, pandangan semuanya juga diketengahkan. Namun, NU menegaskan bahwa hukumnya haram kecuali dalam keadaan darurat. Hal ini dengan mengikuti mazhab Hanafi yang membolehkannya.


Sementara perempuan di parlemen, NU memutuskan boleh tetapi dengan syarat yang cukup rinci, mulai dari dapat izin, aman dari fitnah, hingga tidak melahirkan munkar syariat. Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka haram bagi perempuan menempati parlemen. Hal ini ditetapkan di Surabaya pada 17 Sya’ban 1376 H/19 Maret 1957 M.


Jika merujuk pandangan para ulama terdahulu tanpa melihat realitas masa kini, sulit untuk menemukan kebolehan perempuan menempati posisi-posisi strategis dalam politik, apalagi sampai menjabat sebagai pengambil kebijakan. Namun, Indonesia memiliki sejarah mengenai kepemimpinan perempuan dalam ranah politik dengan munculnya Sultanah Safiyatuddin sebagai perempuan yang penguasa sekaligus pengambil kebijakan dalam sebuah kerajaan di Sumatra.


Di Jawa, ada pula sosok Ratu Kalinyamat yang memimpin Jepara. Dalam masa modern juga, Indonesia sudah pernah memiliki pemimpin negara perempuan, yakni Megawati Soekarnoputri terlepas dari kontroversi keterpilihannya.


Saya jadi ingat satu kisah mengenai kebolehan perempuan menjadi polisi. Perdebatan sengit di antara para kiai yang pro dan kontra, setuju dan membolehkan perempuan menjadi polisi dan menolaknya. Pada akhirnya, kiai yang menolak tersebut menyepakati bahwa perempuan boleh menjadi polisi.


Kesepakatan itu terjadi bukan karena dalil teks, melainkan kiai yang membolehkan mengajukan sebuah pengandaian, manakala ada perempuan yang harus diperiksa secara mendetail karena suatu kasus, bagaimana hukum polisi laki-laki memeriksanya? Tentu hal ini lebih melahirkan mudharat sehingga perlu kehadiran perempuan pula guna memeriksa sesamanya. Karenanya, kiai yang menolak tersebut menyepakatinya.


Syafiq Hasyim dalam Bebas dari Patriarkhisme Islam (2010) mengungkapkan tiga alasan mengenai perempuan yang kurang mendapatkan tempat dan cenderung termarjinalkan.


Pertama, perempuan dianggap sebagai pihak yang lemah dan tertindas dalam masyarakat.


Kedua, tindakan yang melekat terhadap perempuan seperti kewajiban berjilbab dan bepergian bersama mahram merupakan sesuatu yang mudah dikontrol masyarakat.


Ketiga, adanya dukungan penafsiran agama yang konservatif dan adat. Jika demikian, tentu perempuan akan sulit untuk mendapatkan tempat yang semestinya di ranah sosial, tak terkecuali politik, seperti kepala desa atau parlemen sebagaimana yang diungkapkan dalam kitab ini.


Sayangnya memang, kitab ini tidak mengulas lebih jauh mengenai realitas yang ada di masa dahulu dan waktu penyusunan kitab itu berkaitan dengan perempuan dalam dunia politik tersebut. Sebagai sebuah risalah, tentu kitab ini memang dibuat langsung to the point, masuk ke inti persoalan dan tidak melebar ke berbagai hal di luar pokok permasalahannya.


Peresensi Syakir NF, pelayan di Perpustakaan Cipujangga, Padabeunghar, Pasawahan, Kuningan, Jawa Barat.


Identitas Buku

Judul    : Risalatun Nisa: Risalah Huquq al-Zaujain


Penulis    : KH Ahmad Abdul Hamid Kendal


Tebal    : 47 halaman


Penerbit: Al-Munawwar Semarang, Jawa Tengah