Kitab Nushushul Akhyar: Respon KH Maimun Zubair atas Polemik Idul Fitri
Sabtu, 24 Februari 2024 | 19:00 WIB
Muh Fiqih Shofiyul Am
Kolomnis
Tahun 1998 selalu ada dalam ingatan masyarakat Indonesia sebagai tahun runtuhnya rezim Orde Baru dan awal dari reformasi demokrasi di negeri ini. Selain aksi demo mahasiswa Mei 1998, tahun ini juga menyimpan catatan peristiwa dualisme penentuan hari raya idul fitri 1418 H.
Pemerintah secara tegas menetapkan hari raya Idul Fitri pada Jumat 30 Januari 1998. Begitu juga Nahdlatul Ulama satu suara dengan pemerintah pada waktu itu. Sedangkan Muhammadiyah menetapkan Idul Fitri jatuh pada hari Kamis 29 Januari 1998.
Perbedaan ini memang sudah menjadi hal yang mendasar bagi dua ormas Islam terbesar di Indonesia ini, mengingat keduanya berbeda dalam metode penentuan awal bulan antara rukyat dan hisab.
Dualisme penetapan Idul Fitri yang menjadi polemik justru terjadi dalam tubuh Nahdlatul Ulama sendiri, PBNU secara tegas menolak hasil rukyat PWNU Jawa Timur yang menetapkan Idul Fitri sama dengan Muhammadiyah, bahkan Menteri Agama dalam sidang Isbat juga menolak hasil rukyat tersebut. Sedangkan PWNU Jawa Timur menyebarkan khabar penetapan satu syawal itu di muka umum.
Polemik itu kemudian mendorong KH Maimoen Zubair menulis kitab Nushushul Akhyar sebagai respon atas sikap PWNU Jawa Timur yang mengumumkan penetapan satu Syawal yang berbeda dengan PBNU dan Menteri Agama.
Mbah Moen dalam prolognya menyebutkan:
“Terjadi perbedaan antara umat Islam Indonesia tentang penentuan Idul Fitri Tahun 1418 H antara hari Kamis dan Jumat sebagaimana terjadi di tahun sebelum-sebelumnya.
Sebagian di hari Kamis dengan puasa selama 29 hari sesuai dengan perhitungan hisab. Sebagian yang lain juga berhari raya di hari yang sama atas dasar dugaan telah melihat hilal di malamnya dan mengkhabarkan hasil itu di media cetak dan audio visual.
Mereka menjelaskan dalil dan analisis mereka dan mengajak umat untuk mengikuti keputusan mereka dan berhari raya di hari Kamis dan mengklaim tindakan dan keputusan tersebut adalah benar.
Sebagian yang lain mereka menyempurnakan hitungan Ramadhan dengan jumlah 30 hari dan berhari raya di hari Jumat”. (Maimeon Zubair, Nushushul Akhyar fis Shaumi wal Ifthar, [Rembang: Maktabah al-Anwariyah], halaman 4.).
Kitab ini selesai ditulis oleh pada hari Sabtu 1 Dzulhijjah 1418 H. Bertepatan dengan 28 Maret 1998 yang berjumlah 23 halaman dengan delapan fasal sebagai berikut:
Pasal Pertama: Penafsiran surat Al-Baqarah ayat 185.
Pasal Kedua: Interpretasi hadits Nabi tentang Rukyatul Hilal
Pasal Ketiga: Isbat dan persaksian awal bulan Ramadhan dan Syawal.
Pasal Keempat: Penyebaran khabar tentang melihat hilal.
Pasal Kelima: Kewajiban merahasiakan hari raya bagi orang yang melihat hilal Syawal sendiri tanpa isbat dari hakim.
Pasal Keenam: Htandar Isbat antara puasa dan hari raya dan isbat hari raya Idul Adha.
Pasal Ketujuh: Hukum melihat hilal setiap bulan.
Pasal Kedelapan: Ikhtiar untuk mewujudkan persatuan umat Islam dan menegaskan bahwa keluar dari perbedaan adalah sunah.
Kiai Maimoen juga menambahkan satu sub pembahasan tentang konsep penanggalan Hijriyah sebagai pelengkap pembahasan (tadzkirah) yang ditulis beliau di Jakarta hari Ahad 01 Maret 1998 Masehi bertepatan dengan tanggal 02 Dzulqa’dah 1418 Hijriyah.
Model penulisan Kiai Maimoen dalam kitab lebih pada mengutip pendapat para ulama tanpa parafrase dan menyusun kutipan-kutipan pendapat tersebut menjadi suatu wacana di setiap pasal-pasalnya, sebagaimana dalam prolognya bahwa kitab ini berisi teks-teks para pakar fiqih sebagai perbandingan untuk menyikapi polemik perbedaan penentuan hari raya tersebut.
Kiai Maimoen mengajak pembaca kitab untuk menjunjung tinggi persatuan umat Islam dalam penentuan puasa dan hari raya dan segala hal yang berhubungan dengan syiar Islam. Kiai Maimoen juga menekankan dalam epilognya bahwa keputusan hakim dalam hal ini adalah Kementerian Agama adalah sebuah keputusan yang bisa menetalisir perbedaan antara kelompok yang berbeda dalam hal penetapan hari raya.
Kiai Maimoen juga merespon bahwa keputusan Kementerian Agama tentang penetapan hilal di negara ini bersifat mengikat dan wajib untuk ditaati, karena sikap taat tersebut merupakan sikap yang paling bijaksana meskipun berbeda dengan yang ditetapkan di negara lain. Wallahu a’lam bisshawab.
Identitas Kitab
Judul: Nushushul Akhyar fis Shaumi Wal Ifthar
Penulis: KH. Maimoen Zubair Sarang
Tebal 23 Halaman
Penerbit: Maktabah Al-Anwariyah LTN PP. Al-Anwar Sarang
Tahun: Tanpa Tahun
ISBN: Tanpa ISBN
Muh Fiqih Shofiyul Am, Tim Aswaja Center PCNU Sidoarjo
Terpopuler
1
Kronologi Penembakan terhadap Guru Madin di Jepara Versi Korban
2
Prof Kamaruddin Amin Terpilih sebagai Ketua Umum PP ISNU 2024-2029
3
Silampari: Gerbang Harapan dan Gotong Royong di Musi Rawas
4
Inti Ajaran Islam, Tasawuf Jadi Pelita Masyarakat menuju Makrifat
5
Ketua PBNU Ingatkan Kader NU Harus Miliki 4 Karakter Berikut
6
Khutbah Nikah: Menjaga Kehormatan dalam Ikatan Pernikahan
Terkini
Lihat Semua