Pustaka

Metode Penyusunan Nahwu Ta’limi

Kam, 27 Agustus 2020 | 11:00 WIB

Metode Penyusunan Nahwu Ta’limi

Cover buku Ensiklopedi Nahwu. (Dok. pribadi)

Maraknya buku-buku pembelajaran nahwu praktis (tatbiqi) di Indonesia, bahkan di dunia Arab, merupakan penanda bahwa perkembangan dan minat terhadap bahasa Arab cukup pesat. Ini juga menunjukkan banyak orang baik, muslim maupun non-muslim atau Arab maupun non-Arab, yang ingin belajar bahasa Arab dengan cara yang mudah dan cepat.


Namun demikian, buku-buku tersebut didominasi kaidah-kaidah nahwu klasik yang disederhanakan (tabsit) atau dipermudah (taisir). Ini memang tidak salah, tetapi ditinjau ranah keilmuan, bahasa Arab (baca: nahwu) bisa diasumsikan mengalami kemunduran karena tidak ada inovasi dan kreasi kaidah-kaidah baru di dalamnya. 


Kehadiran buku Epistemologi Nahwu [Pedagogis] Modern bisa diletakkan dalam frame (kerangka) mengkritisi problem di atas. Menurut buku ini, nahw, seperti ilmu-ilmu lain, seharusnya tidak stagnan (statis). Jika melihat realitas bahasa Arab berkembang mengikuti perubahan kebudayaan penutur dan kemajuan teknologi secara otomatis gramatika Arab (nahwu) sepatutnya juga berkembang.


Meski tidak banyak, bahkan dituduh hanya simplifikasi dan redefinisi, ada beberapa linguis Arab yang meneliti dan mengembangkan teori dan kaidah nahwu. Misalnya, Syauqi Ḍaif (w. 2005) dan Tammam Ḥassan (w. 2011). Dua linguis modern yang diteliti secara komprehensif dalam buku ini. Linguis pertama menghasilkan nahwu mahsusi-ta‘limi dan linguis kedua menyusun nahwu wazhifi-ta’limi.


Syauqi adalah dosen, sastrawan dan linguis Arab yang pernah menjabat sebagai ketua Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah Mesir. Ia juga merupakan pen-tahqiq (filolog) kitab kontroversial Ar-Rad ‘Ala an-Nuhah karya Ibn Madha al-Qurtubi (w. 1196) yang mengilhami, hampir seluruh pembaru linguistik Arab modern. Kitab ini menganggap kaidah-kaidah nahwu tercampur dengan filsafat sehingga harus direkonstruksi.


Sementara Tammam adalah dosen dan linguis Arab yang mengintegrasikan nahwu klasik dengan linguistik Barat terutama aliran fungsional. Ia menolak teori ‘amil dan menggantinya dengan teori tadafur al-qarain. Selain itu, karena karyanya yang monumental, Al-‘Arabiyyah Ma‘naha wa Mabnaha, di kalangan pembaru, ia diberi julukan Sibawaih Modern (hlm. 8). 




Buku ini menjelaskan bahwa dalam menyusun nahwu jadid, Syauqi langsung berorientasi pada ta’limi. Karena menurutnya, bentuk ini merupakan nahwu yang kali pertama dikembangkan pencetusnya, Abu Al-Aswad Ad-Duali (w. 688). Sedangkan Tammam, tidak langsung mengembangkan nahwu ta’limi, melainkan menyusun nahw ‘ilmi dahulu. Berdasarkan pembacaan komparatif terhadap kedua linguis ini, penulis buku, Khabibi Muhamamd Luthfi, mengonstruksi metode menyusun nahwu, terutama yang digunakan untuk pendidikan (hlm. 324-356).


Pertama, naqd ushul an-nahw, yaitu metode untuk mengkritik alur metodologis penyusunan naḥwu. Dalam menyusun nahwu ta’limi, metode ini mengarahkan agar tidak langsung menggunakan naḥwu yang disusun ulama klasik. Karena, di dalamnya banyak kaidah-kaidah yang tidak mencerminkan realitas bahasa Arab.


Kedua, tashnif al-qawaid adalah metode memilih dan menyusun kaidah-kaidah naḥwu deskriptif (apa adanya) yang akan dipakai dalam rangka pembelajaran. Karena, nahwu klasik banyak tercampur dengan filsafat, maka pada tahapan ini harus dinetralisasi dan diseleksi ulang, dan bila perlu mengkonstruksi kaidah-kaidah baru.


Ketiga, tansiq an-nahw at-ta‘limi li an-naṭiqin adalah metode mengorganisasi kaidah-kaidah nahwu agar bisa dipakai pembelajar bahasa Arab sendiri. Pengorganisasian ini didasarkan pada sistem bahasa ibu dari peserta didik, faktor pembelajaran, pengajaran, dan konteks. Dengan bahasa lain, selain linguistik, ilmu pendidikan juga digunakan sebagai pondasi.


Keempat, tansiq an-nahw at-ta‘limi li gair an-natiqin, yaitu metode penyusunan naḥwu ta’limi yang didasarkan atas perbedaan dan persamaan antara sistem bahasa Arab dan non-Arab (baca: Indonesia) yang menjadi bahasa ibu pembelajar bahasa Arab.


Ini berangkat dari asumsi analisis kontrastif yang mengatakan jika antara bahasa yang dipelajari dengan bahasa pembelajar sama maka akan mudah, dan sulit jika keduanya berbeda. Untuk itu yang mudah harus didahulukan dan yang sulit diakhirkan.


Kelima, ta‘rid al-mawad adalah metode penyajian nahwu ta’limi dengan teknik tertentu agar mudah diapresiasi, dipahami, dan dipraktikkan peserta didik bahasa Arab.


Kendati sudah menjelaskan tahapan metode-metode penyusunan nahwu ta’limi, buku ini belum menyuguhkan nahwu yang diidealkan. Buku ini hanya menyajikan kerangka teoritik sebagai pintu masuk untuk menyusun nahwu baru yang disertai beberapa contoh. Barangkali ini disebabkan, kajian dalam buku ini yang secara gradasi mengintegrasikan tiga keilmuan, yaitu filsafat, linguistik dan pendidikan sehingga berat, yang akhirnya belum sampai pada tataran nahw praktis.
 

Terlepas dari itu, buku ini laik dibaca oleh siapa pun yang suka terhadap bahasa Arab, terutama para santri yang setiap harinya bergelut dengan nahwu atau kitab kuning. Apalagi jika dikaitkan dengan ushul an-nahw yang sampai saat ini masih terasa asing bagi orang Indonesia, khususnya santri. Selamat membaca!
 

Judul        : Epistemologi Naḥwu (Pedagogis) Modern
Penulis     : Dr. Khabibi Muhammad Luthfi, S.S., M.Hum.
Penerbit   : Zahir Publishing, Yogyakarta
Tahun       : Cet. Ke-1, Agustus, 2020
ISBN        : 978-623-7707-09-7
Ukuran     : 15.5 x 23 cm
Tebal        : xvi + 441

Peresensi : Furaida Ayu Musyrifa, Mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa Arab Pascasarjana UIN Malang