Pustaka

Tanya Jawab Masalah Agama Beraksara Pegon

Kam, 30 Maret 2023 | 22:00 WIB

Tanya Jawab Masalah Agama Beraksara Pegon

Kitab Tanya Jawab Agama Beraksara Pegon. (Foto: istimewa)

Inilah sebuah contoh apik kitab pegon yang mengurai soal jawab masalah agama Islam. Ditulis oleh KH Bisri Mustofa. Ayahanda dari KH Mustofa Bisri atau Gus Mus, kakek dari Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf dan Menteri Agama, H.Yaqut Cholil Qoumas. Kitabnya tipis, agak kecil, tetapi padat dan penuh makna isinya.


Pegon yang dimaksud di sini adalah beraksara Arab, tetapi bahasanya Jawa. Ditulis oleh Kiai Bisri pada tanggal 12 Juli 1976 M atau 14 Rajab 1396 H, dua hari menjelang hari lahir ke-52 NU. Kitab ini diicetak pertama kali oleh Penerbit Raja Murah Jalan Hayam Wuruk, Pekalongan.


Mungkin karena ditulis pada tanggal itu, bisa diperkirakan Kiai Bisri menulis kitab tersebut sekaligus dalam rangka menyambut harlah NU. Apalagi yang dibahas di kitab itu banyak seputar masalah yang terkait Ahlussunnah wal Jamaah. Rasanya mengangkat kembali kitab ini semakin relevan mengingat tahun ini yang jatuh 1444 H juga menandai Peringatan 1 Abad NU yang mengusung topik Fiqih Peradaban. Sehingga mengurai masalah yang terkandung di dalam kitab ini sangat penting, menyangkut jati diri warga NU.


Adapun masalah-masalah yang dibahas di kitab juz 1 yaitu sebagai berikut.

  1. Apa yang dimaksud mujtahid?
  2. Apa yang dimaksud taqlid?
  3. Apakah yang dimaksud mazhab?
  4. Umat Islam Tuhannya satu, Nabinya satu, Al-Qur’annya satu, mengapa mengenai masalah hukum pendapatnya berbeda?
  5. Apakah kini pintu ijtihad telah ditutup?

Menjawab pertanyaan tersebut, Kiai Bisri menjelaskan bahwa akar kata mujtahid ini diambil dari kata ijtihad yang artinya sungguh-sungguh. Menurut bahasa ialah mengerahkan segala daya upaya untuk dapat memahami sesuatu yang sulit. Ijtihad menurut definisi ushul fiqih yaitu mengerahkan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqih unutk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’.


Pengertian-pengertian di atas jelas memberikan pandangan yang mendasar bahwa ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dan mendalam yang dilakukan oleh individu atau sekelompok untuk mencapai atau memperoleh sesuatu hukum syariat melalui pemikiran yang sungguh-sungguh bersandarkan Al-Qur’an dan Hadits. Orang-orang yang mampu menetapkan hukum suatu peristiwa dengan jalan ini disebut Mujtahid. Mujtahid adalah orang yang mengerahkan segala daya dan upayanya untuk hal tersebut.


Adapun syarat melakukan ijihad:(1) Mampu Bahasa Arab, termasuk Nahwu, Sharaf dan Balaghoh; (2) Menguasai dan memahami Al-Qur’an; (3) Menguasai Hadits Rasulullah saw, baik dari segi riwayat hadits (derajat rawi, tsiqah dan lainnya), membedakan antara hadits yang sahih, mutawatir, ahad, hasan dhaif dan lainnya; (4) Mengetahui Ijma’ (kesepakatan hukum) para Sahabat Nabi; (5) Mengetahui Qiyas; (6) Mengerti ikhtisar pendapat para imam madzhab dan qaul para ahli fiqih (fuqoha); (7) Mengerti dinamika perbedaan pendapat yang ‘am, khas, makhsus, mukhassish, mujmal dan mubayyan, muthlaq, dan muqayyad, nash, dan dzohir, nasikh, dan mansukh, muhakkam dan mutasyabih, muawwal atau bukan? Bagi yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak bisa disebut hasil ijitihad, dinilai tidak mu’tabar.


Perihal taqlid, Kiai Bisri mendefinisikannya sebagai sebuah praktik mengamalkan ibadah berdasarkan pendapat mujtahid, dengan tanpa mengetahui dalilnya. Dasar taqlid bagi yang tidak memenuhi syarat melakukan ijtihad sendiri adalah antara lain di dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 43 perintah Allah swt, ”Bertanyalah kalian semua kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.” 


Adapun pengertian mazhab secara bahasa memiliki makna jalan atau metode, sedangkan secara istilah adalah sesuatu yang menjadi pendapat imam yang bersifat ijtihadiyah tentang hukum-hukum yang digali dari sumbernya. Ada empat mazhab fiqih yang boleh diikuti, yaitu (1) Imam Hanafi; (2) Imam Maliki; (3) Imam Syafi’i; dan (4) Imam Hanbali. Pendapat imam-imam mazhab sudah terbukukan. Kitab-kitabnya itu menjadi pedoman yang diikuti.


Contoh Mazhab Syafi’i yaitu Kitab Al-‘Um  karya Imam Syafi’i. Diringkas oleh Abu Ibrahim Al-Mishri dalam Kitabnya Mukhtashor al-Muzany. Berkali-kali diringkas, kemudian oleh Imam Ghozali dalam kitab Al-Wajiz. Kemudian diringkas lagi oleh Imam Rofi’i (Mujtahid Fatwa) dalam kitab Al-Muharrar. Kemudian diringkas oleh Imam Nawawi (Wafat tahun 676 H) dalam kitab Minhajut Thalibin. Selanjutnya diringkas oleh Zakariya Al-Anshori dalam kitab Manhajut Thullab, kemudian kitabnya itu disyarahi sendiri diberi nama Kitab Fathul Wahhab. Syekh Zakariya wafat di Mesir tahun 926 H/1520 M. Menurut informasi yang diterima, sosok yang digelari Syaikhul Islam ini juga merupakan guru Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, Cirebon. 


Sementara itu, terkait pertanyaan keempat, berkaitan dengan perbedaan pandangan di antara mazhab, padahal Tuhan, nabi, dan Al-Qur’an satu, dijawab Kiai Bisri bahwa hal tersebut justru menjadi rahmat bagi umat. Adalah sunnatullah satu negara dengan lainnya berbeda iklim, kebiasaan, kebudayaan. Hal itu mempengaruhi cara berpikir mereka, Dengan memahami akar perbedaan itu tidak akan menimbulkan benih perang saudara. 


Pertanyaan selanjutnya, apakah benar pintu ijtihad sudah ditutup? Jawaban Kiai Bisri persoalannya bukan sudah ditutup atau dibuka. Namun kenyataannya sekarang ini belum muncul mujtahid, sebagaimana persyaratan ijtihad yang mesti dipenuhi.


Hal yang termaktub di atas hanyalah sekelumit dari berbagai persoalan yang dibahas Kiai Bisri di dalam kitab tersebut. Tentu jauh dari kepadatan atau kedalaman isi kitab itu sendiri. Karenanya, kitab ini penting untuk dikaji, dipelajari, dan diteliti secara lebih jauh oleh para alim atau ahli.


Peresensi Abdullah Hamid, Dosen STAI Al-Hidayat, Lasem; Anggota Dewan Pembina BAZNAS Kab.Rembang.


Identitas buku

Judul: Masalah-Masalah kanti Soal Jawab 
Penulis: KH Bisri Mustofa Rembang
Tahun: 1976 M
Cetatan 1 juz 2
Tebal: 27 halaman (13 x 19 cm)
Penerbit: Raja Murah Pekalongan