Pustaka

Tasawuf Falsafi: Menyelami Magnum Opus KH Said Aqil Siroj

Rab, 24 Februari 2021 | 06:30 WIB

Tasawuf Falsafi: Menyelami Magnum Opus KH Said Aqil Siroj

Buku Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi karya KH Said Aqil Siroj. (Foto: NU Online/Fathoni)

Saat saya masih di Pesantren di Kediri, Jawa Timur, kitab-kitab tasawuf falsafi seperti kitab Futuhat al-Makkiyyah, sebuah karya magnum opus-nya Syekh Muhyiddin Ibn ‘Arabi dikunci rapat-rapat. Di lemari tersebut tertulis, “Kitab ini khusus untuk perumus”.


Maksudnya adalah kitab tersebut hanya diperbolehkan dibaca oleh para perumus Bahtsul Masail yang sudah tamat Aliyah. Artinya, kitab-kitab tersebut diperuntukkan bagi para ustaz. Para santri dilarang membuka apalagi membaca kitab tersebut.


Saya pribadi tidak tahu apa alasan yang mendasari pelarangan membaca kitab karya Ibn ‘Arabi. Bahkan hingga sekarang pun belum mendapatkan penjelasan resmi. Yang jelas, di atas dinding pintu masjid utama pondok, ada sebuah kalimat yang difigura ditempel di sana. Kira-kira bunyi tulisan tersebut demikian, “santri dilarang membaca atau mengaji kitab yang belum tingkatannya”.


Entah terhubung dengan larangan yang konon di-dawuh-kan oleh Kiai Sepuh tersebut atau tidak, yang pasti kitab-kitab ber-genre tasawuf falsafi dan kitab-kitab di luar empat mazhab yang dikoleksi oleh perpustakaan pondok masuk dalam kategori kitab yang hanya diperuntukkan oleh para perumus.


Pengalaman ini penting saya sampaikan dalam resensi atau review atas buku berjudul Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi magnum opus Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. Penjelasan dan pengalaman di atas juga terkait dengan buku yang merupakan hasil terjemah disertasi Kiai Said dengan judul asli Shillatul-Lah bil-Kawn fit-Tashawwuf al-Falsafi.


Mengapa Buku Tasawuf Falsafi Ini Penting?


Memang, telah banyak buku-buku tasawuf yang telah ditulis oleh para sarjana atau akademisi, baik dari kalangan Muslim Indonesia sendiri maupun dari kalangan akademisi Barat. Namun, sependek pengetahuan saya, belum ada buku tasawuf, terutama tasawuf falsafi, yang ditulis oleh seorang ulama yang juga akademisi sekaligus.


Penulis buku ini, Prof Dr KH Said Aqil Siroj, merupakan seorang kiai yang menakhodai organisasi masyarakat terbesar di Indonesia. Di sisi lain, buku berjudul Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi adalah terjemah (ekstraksi) dari karya akademik beliau.


Jadi, buku ini memiliki keunggulan dari dua aspek sekaligus. Pertama, aspek penulisnya yang otoritasnya dalam ilmu ini hampir-hampir tidak ada yang meragukan. Kedua, karya ini merupakan karya akademik tingkat doktoral di sebuah kampus ternama di Makkah, Ummul Qura.


Kedua aspek itu, terutama aspek otoritas keilmuan dan posisi penulisnya, sangat berkaitan dan hemat saya dapat memberikan kontribusi yang sangat besar, terutama di kalangan santri dan nahdliyyin. Sebagaimana pengalaman yang saya ceritakan di atas.


Keangkeran kitab-kitab tasawuf falsafi yang sampai-sampai kitabnya terkunci rapat-rapat di rak perpustakaan pesantren di mana saya belajar, buku ini bisa menjadi pemandu utama bagi para santri dalam menggumuli teks-teks tasawuf falsafi.


Artinya bahwa kekhawatiran akan kekeliruan dalam memahami kitab-kitabnya Ibn Arabi misalnya bisa ditepis dengan hadirnya buku ini. Kehadiran buku ini kelak akan menjadi acuan bagi para pembaca khususnya di kalangan santri dalam menelusuri teks-teks tasawuf yang “njlimet”.


Konteks dan Konten Buku


Ketika pertama kali saya mendapatkan tawaran kesempatan, sekira tahun 2012, untuk mengaji langsung dengan beliau, saya langsung antusias. Pengajian tersebut tidak sekadar mengaji, tapi juga melakukan penerjemahan atas disertasi tersebut. Tiga tahun lebih saya mengaji disertasi ini. Setelah terkatung-katung penerbitan terjemah disertasi ini akhirnya terealisasikan pada Januari 2021 ini.


Buku ini sebagaimana diuraikan oleh penulisnya berasal dari disertasi yang diujikan pada tahun 1994 di Universitas Ummul Qura, Makkah al-Mukarramah. Sebagai buku hasil ekstraksi dari isi dalam disertasinya ini, buku ini tidak memuat keseluruhan dari isinya. Terutama ihwal kritik-kritiknya yang dilancarkan kepada ajaran tasawuf falsafi. Menurut penuturan beliau sendiri, bagian kritik ini akan diterbitkan di kemudian hari.


Buku ini memuat tujuh bab. Semua pembahasan dalam buku ini terasa berat. Melelahkan untuk dituntaskan dalam satu kali bacaan. Terutama bagi pembaca yang tidak memiliki latar belakang studi tasawuf falsafi.


Sejarah, teks, dan pemikiran tokoh-tokoh tasawuf menjadi bahan atau konten dari isi disertasi ini. Dimulai dari pembahasan mengenai definisi tasawuf yang seabreg jumlahnya, kemudian pembahasan inti tentang bagaimana para sufi memahami dan mendefinisikan berbagai konsep utama dalam kajian tasawuf falsafi seperti Tauhid, Ma’rifatullah, Hulul, Fana’, Ittihad hingga Wahdatul Wujud.


Banyak hal menarik yang diulas dalam buku ini. Di awal-awal pembahasan dalam buku ini misalnya dijelaskan secara rinci bagaimana definisi tasawuf yang seabrek jumlahnya. Definisi-definisi yang ratusan jumlahnya ini adalah para sufi yang memiliki sisi keilmuan yang luar biasa.  Para pembaca buku ini akan dibawa oleh penulisnya untuk menggumuli sejarah awal bagaimana tasawuf muncul, berkembang, sampai pada periode keemasannya di tangan Ibn Arabi.


Konsep-konsep utama dalam ajaran tasawuf falsafi dijelaskan secara runtut dan terperinci. Sumbangsih setiap tokoh dalam pengembangan ilmu tasawuf juga dihadirkan dalam buku ini. Kekayaan literatur yang dirujuk dalam buku ini juga sungguh mengagumkan.


Sebagai perbandingan, pembaca bisa melihat referensi yang digunakan penulis buku ini dengan karya Simuh berjudul Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Bandingkan rujukan yang digunakan oleh keduanya.


Meskipun demikian, bukan berarti buku ini tanpa celah untuk dikritik. Sebagaimana banyak diuraikan oleh para pembedah buku ini yang sudah berkali-kali didiskusikan di berbagai tempat, buku ini menyisakan banyak pertanyaan. Sebagai orang yang ikut terlibat dalam proses penerbitan buku ini tentu saya amat sangat senang mendapatkan banyak masukan, saran, dan kritik konstruktif yang diajukan oleh para pakar.


Salah satu lubang yang menganga yang cukup nampak dalam buku ini adalah penggunaan istilah tasawuf falsafi. Di dalam buku ini tidak ada penjelasan mengapa penulis lebih memilih menggunakan istilah ini? Kapan dan siapa yang mulai menggunakan istilah ini? Dan apa definisinya? Mengapa tidak menggunakan istilah tasawuf wujudi(yah) yang justru lebih “nyambung” dengan tradisi tasawuf yang berkembang di Nusantara melalui Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin dan sufi-sufi lainnya yang secara keilmuan juga terhubung dengan ajaran Ibn Arabi?


Meskipun tidak secara tersurat dijelaskan definisi tasawuf falsafi, akan tetapi serpihan-serpihan penjelasannya dapat ditemukan di hampir setiap bab pembahasan di dalamnya.


Abul Wafa At-Taftazani, yang sebenarnya seringkali dikutip dalam disertasi ini, memberikan penjelasan maksud dari istilah Tasawuf Falsafi. Menurutnya, tasawuf falsafi adalah sebuah tasawuf selain dari tasawuf sunni. Tasawuf yang oleh para pelakunya mendasarkan pengalaman spiritualnya dengan penalaran-penalaran logis serta menggunakan istilah-istilah filosofis yang bersumber dari berbagai macam literatur.


Sementara menurut Hasan Abdul Hakim, tasawuf falsafi adalah sebuah fase pemikiran yang sulit untuk didefinisikan. Ia menggunakan perangkat akal manusia untuk memahami hakikat sesuatu (wujud) yang bertujuan untuk menikmati hubungan intim antara dengan Allah SWT. Ia memiliki dua aspek utama. Pertama, sisi filosofis. Kedua, sisi agamis (ad-diniy). Aspek pertama bersifat pemikiran dan perenungan, sedangkan aspek kedua adalah aktivitas atau kegiatan (amaliy).


Ala kulli hal, penulis buku ini juga sangat terbuka kepada seluruh pembaca karyanya untuk dapat memberikan saran dan kritik konstruktif sebagaimana didawuhkan beliau di berbagai forum bedah buku ini.


Terakhir, dalam catatan ini saya ingin kutipkan penjelasan dari seorang Indonesianis asal Belanda tentang mengapa tasawuf falsafi menarik minat mereka menelusuri teks-teks yang “njlimet” itu.


Karel A. Steenbrink pernah ditanya oleh mahasiswa asal Indonesia. “Mengapa orang Barat (orientalis) memiliki perhatian besar kepada muslim pinggiran atau muslim sempalan, yang mana mereka tidak mengikuti garis besar ajaran Islam, atau bahkan justru menyimpang dari ajaran yang benar?”


Steenbrink menjawab, ada beberapa alasan mengapa sarjana Barat memiliki perhatian cukup tinggi terhadap ajaran tasawuf. Pertama, ajaran tasawuf adalah ajaran yang paling universal, yang paling mudah diterima oleh orang-orang yang tidak dibesarkan dari ajaran Islam. Kedua, keindahan bahasa”.


Peresensi: Idris Masudi, editor buku “Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi”, alumnus Pesantren Lirboyo, Pengurus Lakpesdam PBNU


Identitas buku

Judul: Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi

Judul asli: Shillatul-Lah bil-Kawn fit-Tashawwuf al-Falsafi

Penulis: Prof Dr KH Said Aqil Siroj

Penerjemah: Ahmad Baso

Penerbit: Yayasan Said Aqil Siroj (SAS)

Cetakan: Pertama, Januari 2021

ISBN: 978-623-95849-0-0

Tebal: x + 396 halaman