Risalah Redaksi

Arus Balik para Pendatang

Sel, 23 Oktober 2007 | 04:20 WIB

Usai Lebaran ini arus balik setara dengan arus mudik, tidak hanya  kepadatan kendaraan, dan kemacetan jalan, tetapi juga tingkat ramainya wacana yang dikembangkan. Derasnya arus balik itu mengundang para pengamat dan pejabat berkomentar, terutama pandangan negatif terhadap para pencari kerja ke Ibu Kota. Mereka itu dianggap orang yang nekad mencari kerja ke Jakarta. Tetapi anehnya yang disoroti hanya rakyat bawah yang berjubel naik bis dan kereta ekonomi atau naik sepeda motor.

Tetapi bagaimana yang naik bis dan kereta eksekutif termasuk yang naik pesawat atau mobil pribadi. Mereka juga pencari kerja di Jakarta, yang kalau ditimbang juga turut membebani dan memadati Jakarta. Tetapi seolah kelas atas ini yang menghidupkan dan menyangga Ibukota Sementara kelas rakyat hanya membebani. Tentu pandangan para pengamat dan pejabat ini sangat tidak adil bahkan menyesatkan.
<>
Apalagi mereka dengan sinis menyitir lagu Siapa Suruh datang Jakarta, pernyataan itu seolah bagus, tetapi tidak bertanggung jawab. Sebab berduyunnya rakyat dari berbagai daerah ke Jakarta, karena sistem pembangunan dan pemerintahan yang sentralistik, semua sektor kekuasaan, pengetahuan dan ekonomi dipusatkan di Jakarta. Sehingga bagi warga negara Indonesia yang ingin memiliki akses ketiganya harus datang ke Jakarta. Mereka datang ke Jakarta bukan suka rela, tetapi dipaksa oleh sistem yang dibangun. Anehnya para pejabat dan pengamat tidak pernah mempersoalkan sistem yang ada, setiap tahun hanya mencaci pendatang, padahal mereka juga pendatang.

Dalam pembangunan yang dilakukan Orde Baru maupun sistem pemerintahan sekarang tetap tidak memperhatikan pemerataan, monopoli dan pemusatan terus dilakukan. Dengan kenyataan itu maka tidak aneh urbanisasi masih berlangsung besar-besaran. Kalau hal itu sempat berkurang hanya karena runtuhnya industri dan sektor riil pada umumnya. Tetapi karena di daerah tidak memiliki potensi ekonomi yang memadai, mereka terpaksa kembali lagi ke Jakarta.

Banyak kader daerah sebagai pegawai di pemerintahan daerah, di perguruan tinggi atau di lembaga swadaya masyarakat atau di sektor bisnis. Untuk memperoleh kemampuan lebih tinggi mereka harus belajar ke Jakarta, magang atau kuliah. Ketika di Jakarta mereka dengan sangat mudah memperluas akses di segala bidang, akhirnya mereka bisa membentuk jaringan  dan mencari posisi sendiri. Kemudian mereka menetap di Jakarta tugas utamanya sebagai penggerak keilmuan, pemerintahan dan perekonomian daerah ditinggalkan. Maka daearah juga mengalami brain draining (penguapan tenaga terpelajar).

Sementara bagi kalangan bawah  buruh tani dan kuli, mereka tidak memiliki sarana usaha dana alat produksi, sehingga di desa tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu mereka terpaksa pergi ke kota sebagai kuli dan kerja apa saja, asal bisa hidup. Dan mereka lebih bisa hidup di kota, ketimbang di desa tidak menentu, yang roda ekonominya hampir tidak berputar karena kelangkaan modal dan sumber daya manusia.

Melihat kenyataan itu pengamat dan pemerintah mesti proporsional dalam menyikapi perkembangan urbanisasi. Tidak hanya menangani ekses, tetapi semestinya dicari akar-akarnya, baik pada kebijakan pembangunan yang sentralistik, maupun dengan memberikan lapangan kerja dan ketrampilan kerja. Dan yang lebih penting lagi memberikan perlindungan pada rakyat dari tekanan perusahaan besar, perusahaan asing lagi, yang dikenal tidak memiliki rasa belas kasihan dan persaudaraan. Sementara mereka mulai menguasai sektor swasta dan badan usaha milik negara.

Hadirnya perusahaan asing yang sangat agresif menggasak usaha kecil sampai saat ini belum pernah dicegah oleh pemerintah, bahkan difasilitasi, dengan alasan untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi. Padahal kehadiran mereka hanya mengeruk keuntungan, tidak memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi. Apalagi mereka berusaha tanpa memberi imbalan bagi pemerintah dan negara apalagi rakyat. Paling hanya menguntungkan beberapa oknum pemerintah.

Sistem pembanguan dan pemerintahan perlu dirumuskan kembali agar kepentingan rakyat dilindungi dan dikembangkan, kalau tidak semua pergi ke Ibu kota, kalau terus akan mengalami ledakan penduduk, sehingga akan mudah terjadi kerusuhan sosial. Pemerintah harus berfikir jauh kedepan, jangan hanya mendapatkan keuntungan sepintas dari fee yang diperoleh dari setiap transaksi. Pemerintah mesti memiliki perencanaan jangka panjang untuk mengatasi persoalan sosial ekonomi, dengan demikian problem urbanisasi bisa teratasi. (Mun’im DZ)