Risalah Redaksi

Balajar dari Kemajuan dan Kegagalan Turki

Kam, 21 Juli 2016 | 12:00 WIB

Balajar dari Kemajuan dan Kegagalan Turki

Ilustrasi: Kota Istanbul (visit2istanbul.com)

Turki menjadi negara yang paling banyak diperbincangkan masyarakat Indonesia selama seminggu terakhir ini setelah terjadi kudeta, yang untungnya bisa digagalkan. Sebagai salah satu pusat peradaban Islam dan menjadi kekhalifahan Islam terakhir sebelum akhirnya runtuh pada 1924, secara emosional negara yang ada di dua belahan benua ini menduduki tempat khusus bagi Muslim Indonesia. Hubungan Turki dan Nusantara sangat panjang, sepanjang sejarah masuknya agama Islam di Nusantara. Jejak hubungan tersebut masih nyata terlihat dan terpelihara dan kini pun terus diperkuat dengan meningkatnya kekuatan nasional, baik di Turki ataupun di Indonesia.

Setelah keruntuhan kekhalifahan Utsmaniyah, Mustafa Kamal Attartuk sebagai bapak Turki modern berusaha menoleh ke Barat dalam banyak hal serta menghapus segala sesuatu yang berbau Arab yang dianggapnya kuno dan ketinggalan zaman. Salah satunya adalah menganut sistem sekulerisme. Toh upaya tersebut gagal memajukan Turki, yang selama berpuluh-puluh tahun tetap menjadi negara pariah. Berulang kali terjadi kudeta oleh militer atas nama menjaga sekularisme ala Attartuk yang menyebabkan pemerintahan tidak stabil. Sekularisme Turki bisa disebut sebagai sekularisme yang buruk saat hak-hak warga negara untuk mengekspresikan keyakinannya di publik dilarang seperti pelarangan menggunakan jilbab bagi perempuan di tempat-tempat publik sementara negara-negara sekuler Barat, malah melindungi dan memberi hak bagi Muslim untuk menjalankan syariatnya.

Perubahan signifikan terjadi setelah para aktivis Muslim melalui Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), meskipun tetap menggunakan baju partai sekuler, mengambil alih pemerintahan secara demokratis melalui pemilihan umum. Pemerintahan ini sukses secara ekonomi dan bidang-bidang lain sehingga Turki semakin disegani di Eropa atau menjadi rujukan bagi dunia Islam lain. AKP kemudian meredefinisi ulang hak-hak Muslim untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Diantaranya larangan berjilbab di tempat publik pun dicabut.
 
Sesungguhnya kemajuan yang dicapai Turki saat ini didasarkan atas prinsip-prinsip universal, seperti mengutamakan kejujuran dengan memberantas korupsi, kerja keras, dan melayani masyarakat dengan memangkas birokrasi yang berbelit-belit. Sesuatu yang kini masih menjadi persoalan klasik di Indonesia. Jika Indonesia ingin maju, hal yang sama pula yang harus dilakukan.

Di tengah sejumlah kesuksesan yang telah dicapai, kini Erdogan yang memimpin Turki juga menghadapi sejumlah masalah yang merusak legitimasinya. Pada 2013, lingkaran dekatnya dituduh terlibat korupsi sampai akhirnya tuntutan itu dicabut. Ia juga dianggap membatasi kebebasan publik dengan bersikap keras terharap para demonstran atau membuat sejumlah peraturan yang dinilai banyak pihak membatasi kebebasan pers. Setelah kudeta yang gagal, sejumlah tindakan keras juga dilakukan terhadap orang-orang yang diduga anggota kelompok yang mendukung kudeta tersebut.

Atas keberhasilannya, figur Erdogan dipuja-puja oleh sebagian masyarakat Indonesia yang memiliki kedekatan ideologis, seolah-olah jika Indonesia dipimpin oleh kelompok yang seideologi, maka Indonesia akan mencapai keberhasilan yang sama. Kampanye retoris bahwa kejayaan Indonesia akan muncul jika menganut sistem khilafah atau jika diperintah oleh partai berbasis agama tertentu sangat mengemuka. Cukup banyak pendukung militan yang percaya dan yakin dengan apa yang disampaikan tersebut.

Sesungguhnya, prinsip keberhasilan sebuah pemerintahan didasarkan bagaimana mereka melayani masyarakat, antikorupsi, pembenahan berbagai bidang dan lainnya. Hal tersebut sifatnya universal. Ideologi apa pun, keyakinan agama apa pun, bisa berhasil memerintah jika mengedepankan nilai-nilai tersebut. Di Indonesia, para pemimpin yang berhasil dan dicintai rakyat berasal dari beragam latar belakang partai atau agama. Demikian pula, mereka yang tertangkap korupsi juga datang dari seluruh jenis partai politik, baik partai yang menyatakan diri sebagai partai sekuler atau partai agama. Untuk mendapat simpati konstituen, partai-partai sekuler pun menginisiasi berbagai perda syariah.

Di sisi lain, ajaran agama yang paling substansial berupa kejujuran, memberi teladan, melayani masyarakat malah ditinggalkan, termasuk oleh partai yang menyatakan diri sebagai partai agama. Sedemikian banyak pemimpin yang dipilih oleh rakyat, mulai dari DPR, bupati, walikota, gubernur tersangkut oleh kasus korupsi. Bahkan dua ketua umum partai yang menyatakan diri sebagai agama pun tersandung kasus korupsi.

Sistem demokrasi mengidealkan mereka yang dipilih merupakan orang-orang terbaik sehingga mereka diharapkan mampu memperbaiki kondisi masyarakat. Alih-alih mendapatkan apa yang diinginkan, hasil yang diimpikan seringkali jauh dari kenyataan. Banyak pemimpin tidak kompeten. Akhirnya, rakyat yang harus menjadi korban.
 
Jika ingin berkaca pada Turki, buah kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya selama satu dekade belakangan ini berpangkal pada kemauan untuk menghindari korupsi dan memberi pelayanan kepada masyarakat dengan baik, sehingga ketika terjadi kudeta, sebagian besar membela pemerintah sipil yang dipilih secara demokratis, termasuk partai oposisinya. (Mukafi Niam)