Risalah Redaksi

Ekonomi dan Kemandirian Pesantren Kita

Sen, 29 Mei 2006 | 11:18 WIB

Pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang melahirkan ulama di berbagai bidang keilmuan, tetapi satu hal yang menjadi karakternya adalah integritas moralnya. Dengan watak dasar itu, ulama beserta pesantrennya memiliki kepribadian yang tangguh serta kemandirian yang kuat baik secara moral dan material.

Ketika seluruh sistem pendidikan sudah di-“Belanda”-kan pada masa kolonial, pesantren di bawah pimpinan para kiai masih tetap mampu mempertahankan dan mengembangkan sistem pendidikannya sendiri, yang ditegakkan berdasarkan hikmah ilahiyah maupun hikmah insaniyah. Seluruh sistem itu juga ditopang kemandirian ekonomi mereka, sehingga keberlangsungan hidupnya tidak tergantung pada lembaga lain. Termasuk dana besar yang ditawarkan Belanda ditampik.

<>

Baru ketika pesantren dimodernisir, dengan sistem pendidikan modern, kebutuhan semakin meningkat, tidak hanya tenaga pengajar, tetapi kebutuhan gedung dan peralatan lain menjadi besar. Saat itu pesantren mulai membutuhkan banyak dana dari luar, baik dari masyarakat maupun pemerintah. Hanya sedikit pesantren yang tetap bertahan dengan kemandiriannya.

Munculnya program pemberdayaan pesantren era 1980-an yang berusaha membangun perekonomian pesantren dalam batas tertentu memang menunjukkan keberhasilan, tetapi karena konsentrasi pada proses pendidikan, maka gerakan sosial-ekonomi yang dirintis kurang berkembang. Karena setelah dimodernisir, pesantren telah berubah menjadi madrasah yang kurikulum dan jadwalnya ketat, tidak bisa disesuaikan dengan kondisi santri dan pesantren.

Kemandirian ekonomi pesantren yang diharapkan memang belum terjadi, bahkan semakin tidak mandiri. Di tengah iklim ekonomi politik semacam itu, maka tawaran pemerintah untuk membangun supermarket Alfamart di pesantren diterima dengan senang oleh kalangan pesantren. Tidak peduli pihak lain sangat mengkhawatirkan langkah itu.

Sesuai dengan pantauan NU Online, memang pada umumnya kiai merasa bahwa proyeknya itu tidak menganggu ekonomi para usaha kecil sekitar pesantren, demikian juga para pedagang setempat juga merasa belum terganggu usahanya, sehingga Alfamart berjalan lancar dan tetap diharapkan mampu mengangkat kesejahteraan pesantren. Termasuk kesejahteraan para pemimpinnya.

Statemen keras Ketua PBNU, Masdar F Masudi yang menyebut Alfamart sebagai “predator” yang akan menggulung ekonomi rakyat di sekitar pesantren baru-baru ini, cukup membuat orang kaget dan kembali tersadar bahwa bagaimanapun usaha yang bersifat monopoli itu akan merusak sistem koperasi dan usaha kecil yang sudah ada.

Jauh sebelumnya, beberapa pengurus PBNU telah menolak rencana itu, karena jelas hal itu akan membuat NU berpihak pada usaha besar dan akan mematikan ekonomi warga nahdliyin sendiri. Tetapi peringatan itu lenyap begitu saja ketika dana untuk pembuatan supermarket itu cair.

Suatu hari, sedang berada di sebuah apartemen kawasan elite di Cassablanca seorang teman berkomentar, berapa persen gedung di kawasan ini yang masih menjadi milik bangsa Indonesia. Yang lain, ya, paling hanya lima persennya. Yang dimiliki orang Indonesia sekarang tinggal masjid dan pesantren. Tetapi tampaknya jawaban itu tidak sepenuhnya akurat, sebab dalam kenyataannya pesantren mulai terancam kemandiriannya.

Masuknya Alfamart ke pesantren, berarti aset ekonomi pesantren akan segera menjadi milik asing korporasi kapitalisme global, sebab bagaimanapun Alfamart adalah milik korporasi raksasa Phillip Morris, yang keuntungannya akan dibawa ke negeri asal mereka. Hadirnya Alfamart dengan manajemen kapitalisme yang rapi, efektif dan agresif, tidak menutup kemungkinan akan turut memepengaruhi manajemen pendidikan dan pengajian pesantren.

Hadirnya para pemimpin dunia seperti Perdana Menteri Ingris Tony Blair, Menteri Luar Negeri AS, dan sebagainya, ke pesantren memang berusaha membantu dalam penataan ulang pendidikan pesantren sesuai dengan pola modern Barat. Ironisnya penataan dari luar tersebut diterima sebagian pesntren, padahal hanya orang pesantren dan ulama lah yang tahu bagaimana mengembangkan keilmuan Islam dan mengkader ulama muda.

Langkah itu persis seperti yang dilakukan oleh Snouck Horgraonje ataupun yang dilanjutkan oleh muridnya, Van der Plaas, yang sangat intensif mengunjungi pesantren untuk mempengaruhi sistem pengajaran pesantren agar tidak berseberangan dengan sistem kolonial, bahkan disesuaikan dengan sistem kolonial.

Beruntung saat itu banyak ulama dan kiai besar yang memiliki keteguhan dan integritas seperti Kiai Hassan Besari, Kiai Khalil dan Kiai Hasyim Asy’ari, walaupun dianugerahi berbagai gelar, diberi jabatan tinggi dan dana yang banyak, mereka tetap menolak bekerja sama dengan Belanda, akhirnya mampu menjadikan pesantren sebagai lembaga pembina ulama dan menjadi pusat gerak