Risalah Redaksi

Guru dan Tantangan Menghadapi Teknologi Digital

Ahad, 25 November 2018 | 06:00 WIB

Teknologi telah memperluas, bahkan menggantikan peran guru. Jika kita ingin belajar sesuatu, tinggal membuka Google atau Youtube. Hampir semua hal yang perlu dipelajari, mulai dari matematika sampai dengan beragam ketrampilan unik bisa dipelajari dengan mudah di internet, baik di web, media sosial atau aplikasi berbasis Android atau Apple iOS. Dan sebagian besar bisa diakses secara gratis. Enaknya lagi, materi bisa diputar ulang kapan saja jika merasa belum paham.

Perluasan peran guru bisa terjadi karena kita bisa belajar secara langsung kepada para pakar kelas dunia yang mengajar di berbagai universitas ternama di dunia yang pengajarannya disampaikan secara daring. Nama-nama besar peraih Nobel, para penemu atau ilmuwan kelas dunia yang dulu hanya kita dengar, kini bisa kita serap ilmunya dari mana saja, selagi kita terhubung dengan internet atau materi tersebut sudah terunduh. Guru, dosen, atau penceramah yang populer memiliki banyak pengikut yang jumlahnya bisa mencapai jutaan akun. 

Peran tradisional guru mengalami ancaman disrupsi oleh teknologi sebagaimana profesi yang lainnya. Google dan McKinsey menegaskan adanya disrupsi ini dengan membuka lowongan kerja yang tidak mensyaratkan ijazah sekolah apapun, yang penting mereka memenuhi kualifikasi keahlian yang dibutuhkan. Para pengajar yang tidak mampu mengembangkan dirinya, akan tertinggal karena para pembelajar memiliki banyak pilihan pembelajaran di internet yang mendukung proses pembelajaran mereka.

Secara keseluruhan, terdapat 3.2 juta penduduk Indonesia yang berprofesi sebagai guru. Ini bukanlah jumlah yang sedikit. Revolusi digital ini mensyaratkan perubahan untuk tetap bisa bertahan atau mereka akan tergilas oleh zaman. Dari jumlah sebanyak itu, kualitas, usia, motivasi, dan lainnya dari para pengajar tersebut sangat beragam. 

Pada guru yang sudah berusia tua, mereka merupakan golongan digital imigrant, yaitu kelompok manusia yang mengenal internet setelah mereka berusia dewasa. Karena itu, mereka merasa asing dengan dunia baru tersebut. Mereka mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan dunia baru ini. Pada generasi milenial yang dari kecil sudah terkoneksi dengan internet, mereka adalah kelompok digital native. Mereka mudah menyesuaikan diri dengan teknologi digital. 

Sementara itu, para peserta didik masa kini merupakan generasi Z yang kehidupan sehari-hari sudah terhubung dengan teknologi digital. Generasi yang menginginkan segala sesuatu dengan cepat, narsis, tapi juga kreatif. Ada kesenjangan generasi antara mereka yang mengajar dan peserta didiknya. Gaya dan cara mengajar kuno sudah tidak sesuai dengan cara anak-anak masa kini belajar.

Situasi inilah yang menjadi tantangan besar dunia pendidikan Indonesia. Para guru harus terus belajar menyesuaikan diri dengan teknologi terkini dan psikologi peserta didik yang sudah banyak berubah. Ilmu yang diajarkan tidak cukup lagi dari apa yang mereka pelajari semasa mereka belajar di perguruan tinggi.

Ada banyak masalah terkait dengan guru dan kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan kondisi kekinian. Pada masa lalu, guru digaji kecil sehingga ada pameo guru merupakan pahlawan tanpa tanda jasa. Amandemen UUD 1945 kemudian menegaskan pentingnya dunia pendidikan bagi kemajuan bangsa dengan alokasi anggaran 20 persen. Kesejahteraan guru diperbaiki dengan pemberian sertifikasi guru. 

Sayangnya, banyak pihak belum puas dengan kondisi saat ini sekalipun terdapat peningkatan anggaran pendidikan. Berbagai indikator kualitas pendidikan yang dirilis oleh lembaga-lembaga internasional menunjukkan posisi medioker pada Indonesia. Penambahan tunjangan ternyata tidak secara maksimal meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Tambahan tunjangan digunakan untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif, bukan untuk peningkatan kapasitas keilmuan. 

Belum lagi, guru-guru yang saat ini masih berposisi sebagai guru honorer atau belum mendapatkan tunjangan sertifikasi. Problem yang mereka alami jauh lebih mendasar dibandingkan dengan mereka yang sudah menjadi PNS dan atau mendapatkan sertifikasi. Pada akhirnya, upaya untuk menyesuaikan diri dengan teknologi digital menjadi semakin berat. 

Di luar peran sebagai pengajar yang kini tergantikan oleh teknologi digital, ada peran yang menjadi semakin penting, yaitu sebagai pendidik yang mengajarkan nilai-nilai agama, moral, dan etika. Posisi ini tidak bisa digantikan oleh teknologi digital. Untuk bisa dipatuhi, guru harus memberikan teladan dari perilaku yang ditunjukkan di hadapan siswa dan dalam kehidupannya sehari-hari. 

Peran ini manjadi semakin strategis karena internet yang tanpa batas telah membawa serta beragam nilai dan ideologi yang dapat  diakses oleh siapa saja yang ingin membukanya. Teladan anak-anak masa kini bukan hanya orang tua, guru, atau orang yang ada di sekitar mereka, tetapi pahlawan super imajinatif atau para pesohor yang memiliki pengaruh luas di internet tetapi secara fisik tidak hadir. Warganet mengikuti media sosialnya atau informasi yang mereka sebarkan di internet. Mereka mempercayai, mendukung, dan membantu menyebarkan pendapat dari tokoh idolanya. 

Jaringan kelompok radikal atau ajaran agama transnasional yang belakangan marak di Indonesia, tumbuh dengan cepat salah satunya melalui kemudahan saluran informasi di internet. Sikap permisif terhadap perilaku menyimpang dengan mengatasnamakan HAM yang sebelumnya hanya berkembang pada budaya-budaya tertentu juga berkembang karena internet. 

Di sinilah peran strategis guru, untuk memberi panduan kepada peserta didik, apa saja yang baik untuk kehidupan mereka di masa mendatang. Saat satu peran mereka tergantikan oleh teknologi digital, peran lain sebagai pemberi keteladanan dalam era kebebasan di internet menjadi penting. Namun, hal ini menuntut para guru untuk terus menjadi pembelajar dan pemberi teladan. (Achmad Mukafi Niam)