Risalah Redaksi

Kaderisasi dan Regenerasi

Jum, 25 Maret 2005 | 14:45 WIB

Belakangan ini terdengar pemerintah Australia membuat sayembara bagi yang bisa menemukan harimau Tasmania yang langka akan mendapatkan hadiah hampir seratus miliar rupiah. Sementara kita telah lama mengalami kepunahan harimau Jawa, sehingga hanya terdengar ceritanya. Semua menjadi langka karena terjadi pemburuan liar tanpa batas. Di sini kesalahan terletak pada manusia bukan pada harimaunya, manusia sebagai khalifah Allah gagal melaksanakan amanahnya sebagai penjaga keseimbanagan bumi, sehingga binatang predator yang diciptakan untuk menjaga keseimbangan ekologi itu punah akibat tingginya laju perburuan, maka proses generatif yang terjadi secara alami menjadi terganggu, bahkan terhenti hingga punah sama sekali.

Demikian pula dalam kehidupan sosial, sebenarnya kita juga mengalami banyak kelangkaan, sejak dari kelangkaan rohaniawan, kelangkaan ulama, kelangkaan pemimpin yang berkarakter, telah demikian luas menggejala. Hal itu tidak lain karena bangsa ini lupa melaksanakan tugas kaderisasi, baik yang bersifat pendidikan formal, maupun memberikan pengalaman dan pemagangan. Karena semua bidang kehidupan telah dihayati secara politik, maka kaderisasi dianggap ancaman paling serius, bagi kemapanan kedudukan seseorang. Munculnya kader baru selalu dicurigai, kalau perlu disingkirkan agar tidak menjadi pesaing di masa depan.

<>

Padahal tugas seorang leader adalah selalu mengkader dan membuka akses para kadernya ke berbagai sumber pengetahuan, kekuasaan dan sumber ekonomi. Sebaliknya  para pemimpin yang anti kader akan selalu menutup akses para kolega dan bawahannya, agar kekuatannya tidak tersaingi, kasus yang banyak terjadi saat ini. Dengan cara itu maka akan terjadi krisis kader, baik kader keulamaan, kader kepemimpinan dan sebagainya, suatu gejala yang umum terjadi saat ini, di mana para pemimpin mempertahankan posisinya dengan membonsai para kadernya, sehingga hanya dijadikan pesuruh, yang hanya bermodal ketaatan bukan keahlian.

Dengan tidak adanya kaderisasi maka regenerasi kepemimpinan juga akan terganggu, bahkan akan terjadi peristiwa hilangnya sebuah generasi. Kemudian muncul fenomena grontokrasi (kepemimpinan orang-orang jompo). Dan kalau sebuah generasi telah hilang akan sangat sulit untuk membangkitkan kembali, akibatnya akan terjadi kesenjangan generasi, yang akan mengakibatkan keterputusan tradisi, yang itu akan mengakibatkan terjadinya pengkerdilan generasi. Dulu di NU tokoh seperti KH Abdullah Shiddiq, KH Wahid Hasyim bahkan KH Saifudin Zuhri memegang tampuk kepemimpinan PBNU dalam usia 35 tahun, sekarang orang seusia itu baru layak memimpin PMII atau Ansor.

Memang saat ini di lingkungan NU sendiri proses kaderisasi itu nyaris berhenti, hal itu akan membahayakan eksistensi organisiasi ini ke depan, demikian juga di kalangan organisiasi pemuda dan mahasiswa seperti Ansor maupun PMII proses kaderisasi hampir mandek. Padahal kedua lembaga itu merupakan organisasi kader yang akan mensuplai para pemimpin NU dan pemimpin bangsa ini secara keseluruhan. Karena itu kaderisasi di kedua lembaga itu mesti digiatkan. Kalau tidak ya akan seperti sekarang ini, banyak orang yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang NU lalu dijadikan pengurus, sementara banyak kader yang sudah disiapkan diterlantarkan.

Di situlah kaderiasi mesti dilanjutkan dengan promosi dan alokasi, sebab kader yang tidak dipromosikan akan mengalami kemerosotan, sementara bila tidak ada alokasi juga akan terjadi penumpukan bahkan pengangguran. Melihat kenyataan itu maka pemimpin manapun yang ada sekarang ini di semua level perlu mempersiapkan kader-kader NU yang tekun dan militan, agar bisa membawa nama baik NU di masa depan. Kader yang memiliki kemampuan mumpuni, punya watak punya keberanian dan punya harga diri sangat dibutuhkan dalam memimpin NU ke depan yang penuh tantangan.

Kalau tidak maka kepemimpinan Nu akan seperti harimau Tasmania atau harimau Jawa, yang secara lambat laut mengalamai kepunahan karena gagal melakukan kaderisasi dan regenerasi, karena tidak pernah dipikirkan, ketika semua orang sibuk dengan agendanya sendiri, sehingga kepentingan pribadi lebih diutamakan ketimbang kepentingan organisasi. Demikian juga kepentingan seseorang lebih diutamakan ketimbang kepentingan bangsa. Saat ini hak individu sangat ditekankan, sehingga melupakan hak publik, hak agama, hak organisasi dan hak atau kepentingan bangsa dan negara. Semua itu tidak lain kekeliruan dari pemahaman atas hak individu yang banyak digerakkan saat ini, padahal soal itu akan merusak tatanan kehidupan bersama, ketika tidak ada lagi tanggung jawab sosial dan komitmen bersama.  (Munim DZ)

***