Risalah Redaksi

Memberi Peran Lebih Generasi Milenial untuk Berdakwah

Ahad, 9 Desember 2018 | 09:00 WIB

Setiap zaman melahirkan generasinya masing-masing. Generasi milenial merupakan generasi baru yang alam pikirnya jauh berbeda dari generasi-generasi sebelumnya. Lompatan teknologi digital telah mengubah banyak hal, menyebabkan ada kesenjangan yang lebar dengan generasi sebelumnya. Strategi dakwah untuk mereka tentu saja harus menyesuaikan diri dengan karakternya. Saatnya mereka pula yang berdakwah untuk generasinya sendiri.

Dalam banyak hal, strategi pemasaran dapat digunakan untuk membantu strategi dakwah. Keduanya membahas masyarakat yang akan menjadi sasaran dakwah atau pasar produk dan jasa. Para ahli pemasaran menggunakan pendekatan segmentasi untuk kelompok sasaran tertentu. Salah satunya adalah dengan pendekatan segmentasi kelompok usia yang masing-masing memiliki ciri kepribadian yang berbeda-beda.  

Para ahli membuat lima kategori generasi dalam seratus tahun belakangan ini. Pendekatan untuk tiap generasi berbeda-beda karena mereka tumbuh dan berkembang dalam suasana dan lingkungan sosial yang berbeda. 

Generasi pertama adalah Tradisionalis (1900-1945). Mereka terlahir dalam masa perang dunia I dan II dengan segala kesulitan hidup yang diakibatkan olehnya. Karena itu, mereka adalah orang-orang yang memiliki patriotisme tinggi, berdedikasi, pekerja keras dan bertanggung jawab. Komunitas dan keluarga merupakan hal yang sangat penting. Tak banyak yang masih bertahan hidup dari generasi ini atau mereka sudah tidak aktif lagi dalam kehidupan sosial. Bagi pemeluk Islam yang taat, mereka memfokuskan diri untuk beribadah guna mempersiapakan diri bagi kehidupan selanjutnya.

Generasi berikutnya disebut Babby Boomers yang terlahir pada 1946-1964. Dalam konteks Indonesia, generasi ini tumbuh setelah perang kemerdekaan. Masa ekonomi yang masih sulit. Perang dingin dan pertentangan ideologi yang menjadi warna dalam kehidupan sosialnya. Mereka yang sukses merupakan orang-orang yang sangat rajin dan bekerja keras. Di lingkungan NU, mereka kini menjadi tokoh-tokoh paling berpengaruh karena kematangan dan pengalaman hidupnya.

Selanjutnya adalah Genarasi X yang lahir pada 1965-1976. Di Indonesia, mereka besar dalam masa Orde Baru yang mengutamakan pembangunan fisik tetapi tertutup dalam kehidupan sosial politik. Mulai banyak di antara mereka yang menempuh pendidikan tinggi dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Karena itu, untuk bisa berhasil, mereka bekerja lebih pintar bukan lebih lama. Dengan usia 41-52, banyak di antara mereka sedang dalam puncak karirnya. Termasuk di antaranya para aktivis NU yang kini menjadi gubernur, bupati, DPR dan jabatan publik lainnya.  

Sesudah itu, muncul Generasi Y, yaitu mereka yang telahir pada 1977-1995. Mereka mulai mengenal teknologi digital dengan segala kemajuannya. Dengan teknologi baru ini, banyak yang berhasil mengembangkan potensinya menjadi prestasi, percaya tinggi, dan toleran mengingat keterbukaan dengan dunia luar. Mereka merupakan orang-orang yang ambisius dan multitasking. Pada aktivis NU, kini mereka sedang menapaki puncak karirnya yang berkembang pesat. 

Terakhir adalah Generasi Z atau generasi Milenial, merupakan generasi yang lahir mulai 1996 sampai sekarang. Mereka sangat terpengaruh teknologi, internet dan media sosial, tumbuh dalam keberagaman dan kebebasan politik di Indonesia. Beberapa karakternya adalah kreaktif, multitasking, narsis, kritis terhadap fenomena sosial. Ada keluhan bahwa generasi ini hidup konsumtif, serba instan, kesopanan dan rasa hormat yang mulai luntur, lebih memperhatikan komentar orang lain dibandingkan orang tua. 

Pengguna internet saat ini sebagian besar adalah generasi Y dan Z. Dan generasi inilah yang akan  menjadi pemimpin dan pengambil keputusan di waktu mendatang. Akan jadi apa Indonesia pada  20-30 tahun mendatang sangat ditentukan  oleh generasi yang tumbuh saat ini. 

Lalu bagaimana bisa menyasar dakwah kepada kelompok usia tersebut dengan efektif? Tentunya adalah orang-orang yang memahami karakteristik mereka. Dan yang paling tahu adalah mereka yang satu generasi. Hal tersebut bisa tercermin dari munculnya ustadz-ustadz muda dengan gaya kekinian. Para ustadz tidak lagi harus terkesan tua dan berwibawa tetapi berjarak dengan jamaahnya. 

Pola keterlibatan anak-anak muda NU dalam ranah dakwah sudah saatnya diperluas dengan menempatkan mereka pada garis depan dakwah. Generasi yang lebih tua, memberikan pengarahan dan bimbingan. Generasi muda yang kini ada di IPNU/IPPNU atau Ansor/Fatayat NU sesungguhnya mampu menjalankan peran yang lebih besar dibandingkan dengan yang mereka jalankan saat ini. 

Generasi  awal para pemimpin NU seperti KH Wahid Hasyim menjadi pemimpin dalam usia sangat muda. Pada usia 26 tahun ia sudah menjadi ketua Mejelis Islam A’la Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Umur 31 sudah menjadi menteri agama. Dan beliau meninggal saat menjadi ketua umum PBNU pada usia 38. Usia-usia ketika banyak anak muda belum mendapatkan peran yang memadai.

Secara kapasitas, lebih berpendidikan dan pintar, dan lebih akrab dengan teknologi. Saatnya mereka  mendapatkan kepercayaan lebih untuk memaksimalkan potensinya. Mendampingi anak-anak muda yang haus belajar agama di internet atau media sosial. Membimbing mereka layaknya sebagai teman sebaya atau dalam hubungan yang lebih setara.  (Achmad Mukafi Niam)