Risalah Redaksi

Menanti Inovasi Gerakan Para Pengaji dan Penghafal Al-Qur’an

Ahad, 22 Juli 2018 | 08:45 WIB

Menanti Inovasi Gerakan Para Pengaji dan Penghafal Al-Qur’an

Ilustrasi (Reuters)

Organisasi para pengaji dan penghafal Al-Qur’an di lingkungan Nahdlatul Ulama, Jamiyyatul Qurra wal Huffadh NU (JQHNU) selesai sudah melakukan musyawarah tertinggi pada 15 Juli 2018 di Pondok Pesantren Assidiqiyah, Kerawang. Pemimpin baru sudah terpilih dengan amanat berat untuk menggerakkan organisasi pada era perubahan lingkungan sosial budaya yang sangat cepat dan kecenderungan mengerasnya pandangan keagamaan akibat masuknya ajaran Islam transnasional serta berkembangnya media sosial sebagai pilihan belajar keagamaan.

Tradisi menghafal Al-Qur’an sudah lama tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren-pesantren NU. Sejumlah pesantren secara khusus mengembangkan para menghafal Quran ini. Keberadaan JQHNU adalah untuk mewadahi tradisi yang sudah lama hidup ini. Di antara di Jawa yang sangat terkenal adalah pesantren Krapyak dan Pesantren Arwaniyah Kudus. Di dua pesantren tersebut, para penghafal Al-Quran dari seluruh Indonesia belajar dan kemudian menyebarluaskan tradisi menghafal tersebut hingga kini. Tradisi tilawah Al-Qur’an atau seni membaca Al-Qur’an kini juga berkembang luas. Banyak acara yang digelar dari tingkat lokal sampai internasional dengan intensitas yang rapat. 

Jika dulu, hanya komunitas Nahdliyin yang cukup intens dalam membaca dan menghafalkan Qur’an, kini perhatian dan minat publik untuk membaca dan menghafalkan Qur’an ini meningkat dengan pesat. Pesantren tahfidh berdiri di mana-mana dengan peminat yang luar biasa banyak, bukan hanya dari komunitas pesantren NU. Tradisi mengaji Al-Qur’an yang dikhatamkan bersama juga berkembang dalam kelompok One Day One Juz (ODOJ). Teknologi telah menembus jarak sehingga koordinasi siapa membaca juz atau surat Al-Qur’an yang ke berapa menjadi mudah dalam sebuah grup ODOJ.

Berbagai perguruan tinggi memberikan beasiswa khusus kepada para penghafal Qur’an sebagai bentuk apresiasi kepada mereka. Hanya orang-orang cerdas yang mampu menghafalkan sedemikian banyak ayat. Demikian pula, sejumlah pesantren Al-Qur’an memberikan beasiswa kepada santri yang menghafalkan Al-Qur’an. 

Satu aspek yang belum mendapat perhatian yang memadai adalah mempelajari tafsir Al-Qur’an. Belum banyak pesantren yang mengkhususkan diri dalam bidang tafsir. Pesantren tahfidh yang sudah lama dengan puluhan tahun dan melahirkan ribuan hafiz-hafizah juga belum terlihat mengarahkan kebijakannya untuk mengembangkan kurikulum dalam bidang tafsir. Bidang ini lebih banyak dikaji di perguruan tinggi Islam. 

Menghafal Al-Qur’an, bagi orang Indonesia yang berbahasa ibu bukan bahasa Arab bukan persoalan mudah dalam konteks memahami makna yang terkandung di dalamnya. Butuh kerja ekstra untuk belajar bahasa Arab dan lalu belajar metodologi tafsirnya. Jika ingin tak sekadar hafal, maka langkah-langkah tersebut harus dilakukan. Dengan perencanaan yang baik, tentu hal tersebut akan dapat dilakukan. Sangat disayangkan misalnya, sudah menghafal Al-Qur’an pada usia 20 atau 30 tahunan dan kemudian sampai usia 60 sampai 70 tahunan tetap saja berkutat pada apa yang telah dipelajari 30 tahun yang lalu. 

Penguatan aspek tafsir Al-Qur’an ini penting mengingat, belakangan ini, terdapat kelompok yang memaknai Al-Qur’an hanya secara tekstual. Memiliki semangat beragama tinggi tetapi kurang memiliki pengetahuan. Mereka berusaha menafsirkan Al-Qur’an hanya berdasarkan terjemahan saja atau sekadar menjadi jamaah kelompok pengajian. Dengan bekal sekadarnya tersebut, mereka sudah merasa paling benar dalam beragama. Adanya ahli-ahli tafsir dengan kredibilitas tinggi akan mampu menjelaskan dan menafsirkan dengan baik makna dari sebuah ayat dengan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Persoalan lain adalah upaya politisasi ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan kelompok politik tertentu untuk kepentingan mereka sendiri. Ajaran agama ditafsirkan yang menguntungkannya. Umat Islam lain, yang tidak sejalan dengan pandangan politiknya menjadi musuhnya. Para ahli tafsir bisa menetralkan penggunaan ayat-ayat untuk kepentingan politik ini kepada publik.

Penguatan kajian tafsir Al-Qur’an yang selama ini kurang menonjol sudah layaknya mendapatkan perhatian serius dalam program kerja JQHNU. Ke sanalah para penghafal harus diarahkan, menjadi intelektual agama dengan pengkhususan tafsir. Mereka akan mampu memberi pengaruh lebih besar terhadap corak keberagaman di Indonesia. Para intelektual Muslim, salah satunya para pengkaji Al-Qur’an yang mampu menanamkan pandangan agama ke isi kepala anak-anak muda yang kini rentan beralih pada kelompok radikal yang berkembang melalui dunia maya. 

Inovasi gerakan tentu bukan hal yang mudah karena membutuhkan banyak sumber daya. Tetapi hal ini akan membuat organisasi lebih dinamis, lebih menantang, dan memberi kontribusi yang lebih besar kepada pengkajian Islam di Indonesia yang kini sedang mengembangkan kekhasannya. Tafsir-tafsir baru yang lebih kontekstual diperlukan untuk menambah kekayaan kajian keagamaan seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial kemasyarakatan. 

Tentu saja, kerja-kerja besar tersebut tidak dapat dilakukan sendiri. Sinergi dengan perguruan tinggi Islam, Kementerian Agama, lembaga pengkaji tafsir, komunitas internasional dan pemangku kepentingan lainnya bisa dilakukan. Hasil yang dicapai juga tidak dapat diperoleh dengan instant atau seketika. Tidak jika upaya ini berhasil, akan memberi pengaruh jangka panjang dalam cara keberislaman di Indonesia yang moderat dan damai ini. (Achmad Mukafi Niam)