Risalah Redaksi

Menata Ulang Kuota Haji secara Lebih Berkeadilan

Jum, 9 September 2016 | 14:00 WIB

Menata Ulang Kuota Haji secara Lebih Berkeadilan

Ilustrasi (yahoo)

Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib bagi mereka yang mampu. Dengan meningkatnya kemakmuran Muslim dan kemudahan transportasi, dalam beberapa dekade belakangan, minat umat Islam dari seluruh dunia untuk menjalankan ibadah haji meningkat pesat. Pada tahun 1920, hanya terdapat 58.584 jamaah; tahun 1950, terdapat sekitar 100 ribu jamaah; sedangkan tahun 2015 lalu, mencapai jumlah dua juta jamaah. Puncak jumlah jamaah haji terjadi pada tahun 2013 dengan jumlah 3.161.573 tetapi kemudian dikurangi. Dengan dua juta jamaah, berarti hanya dalam 60 tahun, jumlah jamaah haji naik 20 kali lipat. Di sisi lain kapasitas Masjidil Haram tidak bisa ditambah sebesar 20 kali lipat. Mau tidak mau, untuk menjaga kenyamanan dan keamananan dalam menjalankan ibadah, maka jumlah jamaah haji dibatasi menjadi dua juta per musim.

Pada pertemuan tahun 1997, Organisasi Konferensi Islam (OKI) menyepakati masing-masing negara mendapat kuota satu per mil atau 1:1000. Indonesia mendapat jatah sekitar 211 ribu sesuai dengan jumlah penduduk Muslimnya yang berjumlah sekitar 211 juta. Sayangnya dalam tiga tahun terakhir, terdapat pemotongan kuota sebesar 20 persen mengingat adanya renovasi dan perluasan lokasi yang bisa digunakan untuk beribadah di Masjidil Haram sehingga jatahnya tinggal 168 ribu jamaah haji.

Minat Muslim Indonesia untuk menjalankan ibadah haji sangat besar. Secara kultural, ibadah haji dianggap penyempurna rukun Islam. Bisa berangkat ke Makkah merupakan salah satu cita-cita terbesar dalam hidup karena itu, mereka yang sudah berhaji juga mendapat status sosial yang lebih tinggi mengingat tak semua orang bisa berangkat ke sana akibat mahalnya biaya. Tapi kini, Indonesia semakin makmur dan minat berhaji juga semakin besar. Tak heran, kini ada 3.2 juta antrean untuk ibadah haji. Akibat tidak seimbangnya, antara peminat dan kuota, maka antrean untuk mengikuti ibadah haji semakin panjang. Di sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan, pendaftar tahun 2016 baru berangkat 35 tahun lagi atau pada 2051, bukan waktu yang pendek. Jika usia sekarang 30 tahun, maka pada usia 65 tahun baru berangkat haji. Padahal banyak calon jamaah haji yang baru bisa mendaftar pada usia 40-50 tahun karena harus mengumpulkan uang dulu untuk bisa mendaftar. Jika demikian, artinya baru bisa berangkat pada usia 75-85 tahun. Dalam usia seperti itu, tentu tidak ideal dari sisi kesehatan. 

Dengan kondisi seperti ini, akibatnya, banyak orang yang berusaha naik haji dengan jalan pintas, salah satunya dengan pergi ke negara-negara yang kuota hajinya tidak terpakai seperti di Filipina. Di sini sejumlah pihak, baik dari Indonesia dan Filipina “bermain” untuk memanfaatkan kesempatan bagi orang-orang yang ingin menjalankan ibadah di tanah suci tersebut. Akibatnya, terjadi sejumlah pelanggaran imigrasi yang menyebabkan sejumlah orang gagal berangkat ketika kasus tersebut terungkap.

Bukan hanya Indonesia yang mengalami masalah terkait panjangnya antrean haji. Malaysia juga mengalami hal yang sama. Dengan warga yang lebih makmur, makin panjang antrean hajinya. Konon antreanya mencapai 63 tahun, sepanjang usia hidup satu orang. 

Saudi Arabia sebagai tuan rumah penjaga dua masjid suci memiliki jatah yang sangat besar meskipun jumlahnya dari tahun ke tahun terus dikurangi. Pada 2010 jatah haji lokal mencapai 989.798. 2011 (1.099.522), 2012 (1.408.641), 2013 (700.000), 2014 (700.000), dan pada 2015 (615.059), yang mencerminkan sekitar 30 persen lebih kuota haji keseluruhan yang sebesar 2 juta jiwa. Jika dibagi berdasarkan persentase penduduknya yang berjumlah sekitar 31 juta jiwa, maka jatah hajinya adalah 1.99 persen. Jadi perbandingannya, 1.99:100 sedangkan kuota Muslim internasional hanya 1:1000. 

Dengan kondisi yang tidak adil tersebut, tentu sangat layak jika kesepakatan kuota haji tersebut ditata ulang. Ibadah haji merupakan salah satu kewajiban bagi Muslim, di manapun ia tinggal. Saudi Arabia secara politik kebetulan menjadi penjaga dua masjid suci tersebut, tetapi tidak dapat sepenuhnya mengambil kuota yang menguntungkan dirinya. Masyarakat Muslim tentu memahami jika warga Saudi mendapat kuota yang lebih banyak, tetapi jika melihat realitas Muslim negara-negara lain harus menunggu puluhan tahun untuk bisa menunaikan ibadah haji, tentu ini sebuah kezaliman. 

Penataan ulang juga meliputi kuota negara-negara yang saat ini kurang terserap maksimal sebagaimana terjadi di Filipina dan negara lainnya. Pemerintah Indonesia bisa melakukan lobi tripartit, yang melibatkan Indonesia, Saudi Arabia, dan negara yang kuotanya tidak terpakai tersebut. Berapapun kuota tambahan yang berhasil diberikan, merupakan kebahagiaan tersendiri bagi mereka yang berhasil berangkat karena jatah kuota tersebut. 

Untuk menata ulang kuota ini, pemerintah Indonesia bersama dengan komunitas Muslim internasional harus bekerja sama agar pembagian kuota haji tersebut bisa dilakukan dengan adil, termasuk mendorong Saudi Arabia untuk lebih proporsional dalam mengambil jatah haji lokal bagi warganya. (Mukafi Niam)