Risalah Redaksi

Mendekatkan Seni dan Agama

Sab, 7 April 2018 | 09:15 WIB

Puisi berjudul Ibu Indonesia yang dibawakan oleh Sukmawati Soekarnoputri menimbulkan kontroversi luar biasa di masyarakat karena dianggap menyinggung perasaan umat Islam karena salah satu baitnya membandingkan antara adzan dan kidung. Jutaan ekspresi kekecewaan diunggah di berbagai media sosial. Untungnya Sukmawati segera merespon cepat dengan meminta maaf atas puisi yang menyinggung umat Islam tersebut sehingga kasus tersebut cepat reda. 

Puisi atau seni bisa menggelorakan semangat sebuah bangsa, memperdalam spiritualitas, tetapi juga persoalan bagi masyarakat. Penyair merupakan sebuah profesi yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Pada masa Arab Jahiliyah, mereka menentukan citra baik atau buruk pada orang-orang yang disebutkannya dalam baris-baris syairnya. Di negara-negara otoriter, puisi merupakan sarana untuk untuk mengekspresikan pendapat. Terlihat sederhana, puisi memiliki peran besar dalam sejarah perkembangan manusia untuk mengekpresikan kegelisahan dan membantu menyelesaikan persoalan.

Seni merupakan sebuah ekspresi jiwa yang disampaikan dengan cara yang indah. Puisi adalah ekspresi keindahan dalam bentuk kata-kata. Tradisi berpuisi sudah tumbuh sejak zaman kuno, jauh sebelum era munculnya Islam. Al-Qur’an sendiri disampaikan dalam bentuk bahasa yang sangat indah tiada bandingan. Hingga kini, di tengah munculnya beragam bentuk baru berkesenian, menulis puisi masih menjadi sarana ekpresi banyak seniman. Dalam tradisi lokal, kita mengenal pantun, mocopat, dan lainnya.

Seniman seperti Gus Mus, Cak Nun, atau Taufik Ismail menciptakan puisi untuk mengekspresikan kecintaan kepada Allah. Karya yang mereka ciptakan mampu mendekatkan kita kepada Sang Pencipta. Allah sendiri dalam satu namanya adalah Maha Indah atau Al-Jamil dan mencintai keindahan. Ekspresi kecintaan kepada Rasulullah yang disampaikan dengan membaca beragam shalawat kini juga sangat disukai oleh masyarakat. Lantunan shalawat yang diunggah di berbagai media sosial ditonton oleh jutaan pemirsa. Ini menunjukkan bahwa seni bisa mendekatkan kita dengan tuhan dengan cara yang mengasyikkan. Menghadap tuhan tidak harus selalu dengan wujud ketakutan akan hukuman, tetapi juga bisa melalui kerinduan yang luar biasa. Dan hal itu paling mudah diekspresikan melalui seni.

Sayangnya ada pula seniman yang memaknai kebebasan berekpresi dengan menciptakan karya yang melanggar norma-norma dan harmoni masyarakat, termasuk di antaranya mengamuflasekan konten-konten pornografis sebagai seni. Ini merupakan sebuah area abu-abu yang rawan perdebatan. Bagi masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, memahami nilai-nilai kelompok lain juga sangat penting. Seniman seharusnya merupakan orang yang peka terhadap nilai, ekpresi, dan emosi sosial masyarakat di sekitarnya. Bagi kelompok ateis mengekspresikan seni dalam bentuk apa saja boleh, tapi bagi kelompok yang memegang teguh nilai-nilai agama yang kuat, selalu ada kreativitas dalam koridor nilai dan norma masyarakat.

Seni memiliki batasan yang luas dalam pandangan mazhab Islam sangat beragam. Kelompok konservatif bahkan menganggap seni tilawah Al-Qur’an itu haram. Yang masih menjadi perdebatan adalah melukis yang berwujud makhluk hidup. Rujukan-rujukan klasik mengharamkan musik, tetapi musik telah menjadi bagian yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Persoalan-persoalan seperti ini harus diselesaikan oleh para ulama. Almarhum mantan rais ‘aam PBNU Kiai Sahal Mahfudh menyatakan bahwa fiqih harus memberi solusi pada masyarakat. Panduan keagamaan yang jelas akan membantu menumbuhkembangkan bakat-bakat seni yang selama ini masih diliputi keragu-raguan atas status hukum dalam berkesenian.

Ada suatu masa bagi warga NU di mana gitar dianggap haram dan nonton film juga dilarang.  Akibatnya kini tidak banyak pelaku seni peran yang berlatar belakang NU sehingga warna-warna dakwah ala NU kurang tercermin.  Ketika dunia hiburan berkembang dan lebih mudah diakses dengan peralatan yang semakin canggih, ekpresi keislaman yang muncul cenderung konservatif seperti mencitrakan kesalehan sekadar dengan pakaian atau bahasa yang kearab-araban. Sebagian besar hiburan masyarakat kini tergantung pada televisi dan kini, dengan kemudahan membuat video yang bisa diunggah dengan gampang di media sosial, alternatifnya semakin banyak. Komunitas seniman NU saat ini harus berlari kencang mengejar ketertinggalan tersebut agar memiliki pengaruh besar dalam membentuk citra seni Muslim di Indonesia. Dengan jumlah pengikut yang besar, tentu ada banyak bakat terpendam yang siap dikembangkan. 

Upaya untuk mengembangkan seni harus terus diperkuat. Pada muktamar ke-33 NU di Jombang, telah diputuskan untuk membentuk badan otonom Ikatan Seni Hadrah Indonesia (Ishari). Proses pelembagaan untuk memberi wadah bagi para pecinta hadrah yang tumbuh subur tersebut masih terus berjalan. Jika wadah tersebut sudah terbentuk, tentu akan lebih mudah mengorganisirnya. Seni dapat menjadi sebuah strategi dakwah yang dapat dengan mudah diterima banyak pihak di tengah-tengah menguatnya ekspresi keislaman yang cenderung semakin konservatif.

Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia Nadhaltul Ulama (Lesbumi NU) dapat terus diperkuat dan dikembangkan. Wadah ini bisa menjadi sarana bagi para sineas, penyair, pelukis, penulis dan lainnya untuk bersama-sama memaksimalkan potensi yang ada. Sesungguhnya banyak sekali potensi di lingkungan pesantren yang menunggu sentuhan, bimbingan, dan pemberian tantangan agar bisa berkembang dengan maksimal. (Achmad Mukafi Niam)