Risalah Redaksi

Meneguhkan NU sebagai Lembaga Keulamaan

Jum, 16 Februari 2007 | 04:03 WIB

Persoalan keulamaan muncul kembali kepermukaan setelah ulama Yaman Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakardan dan Rais Syuriah PBNU KH Ma’ruf Amin menegaskan tentang tanggung jawab sosial para ulama. Kedua ulama tersebut mensinyalir adanya penyimpangan peran ulama yang berakibat pada penyimpangan moral, sehingga melupakan tanggung jawab sosial yang jharsu mereka emban sebagai pembimbing dan pengayom umat, terutama sebagai teladan dalam bidang moral. Berbagai bencana yang timbul, baik bersifat alama atau sosial, akhirnya diakui sebagai bencana kemanusaiaan yang diakibatkan oleh ulah manusia.

Sebagaimana sering dikatakan bahwa saat ini manusia termasuk para ulamanaya cenderung hubbud dunya (cinta materi) sehingga melupakan tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial mereka, sehingga masyarakat berjalan tanpa bimbingan. Kalaupun masyarakat menyimpang para ulama juga tidak bisa memperingatkan, karena sebagain juga terlibat dalam penyimpangan, maka kerusakan menjadi merata, tanpa ada otoritas yang mampu menghentikannya.

<>

Kritik terhadap ulama itu mau tidak mau akan mengarah pada Nahdlatul Ulama, sebab di samnping merupakan organisaasi yang menamakan diri sebagai organisasi para ulama, dan di dalamnya memang banyak tergabung para ulama. Bagaimanapun kritik tersebut harus diperhatikan oleh kalangan NU, apakah NU masih merupakan organisasi keulamaan yang dipimpin oleh para ulama yang alim zuhud dan wirai, yang masih mengemban misi dan cita-cita keulamaan.

Hiruk pikuk kehidupan sosial politik dan ekonomi yang saling berkelindan itu akhirnya juga mengaburkan sosok sebuah organisasi termasuk organisasi keagamaan bahkan keulamaan seperti NU. Organisasi yang semula bertujuan untuk menegakkan nilai-nilai moral berdasarkan agama untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang diridloi Allah SWT, bisa jadi di tengah jalan menjadi lembaga swadaya masyarakat, yang hanya bertujuan meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi dari masyarakat, tanpa disertai pendalaman kerohanian.

Ketika NU direduksi menjadi organisasi sosial, maka misi moral misi spiritual yang menjadi muatan dari gerakan sosial tersebut terabaikan, dengan demikian siapa saja bisa direkrut untuk menjadi pengurus organisasi ini walaupun tanpa memiliki kualifikasi atau kadar keulamaaan yang memadai. Tidak semua pengurus harus ulama, tetapi para praktisi, aktivis harus memehami dan mnghayati tugas keulamaan yang tidak lain adalah tugas profetik (kenabian). Di situ berorganisasi tidak hanya bekerja, tetapi berjuang, mengabdi dan bahkan beribadah.

Langkanya kaderisasi di lingkungan NU mengakibatkan rekrutmen kader berjalan asal-asalan, banyak orang yang tidak memiliki pengetahuan dan  pemahaman tentang NU serta misi perjuangan yang diemban, tetapi dijadikan pengururus. Kelompok semacam itu ketika masuk NU sering mengabaikan tugas mereka sebagai fungsionaris NU, kalaupaun menjalankan tugas mereka tidak dihayati sebagai sebuah pengabdian pada masyarakat dan menjalankan tugas keagamaan, melainkan diniati sebagai usaha mencari pekerjaan yang tujuannnya mencari keuntungan materi, atau setidaknya hanya untuk kepentingan lobi pribadi.

Tentu saja langkah itu sangat merugikan NU sebagai sebuah organisasi, karena organisasi tidak akan emperoleh kemajuan yang berarti karena oleh mereka NU hanya dijadikan sebagai kendaraan atau alat untuk meraih kekuasaan dan untuik memperoleh kekayaan pribadi. Kelompok semacam itu sering tidak mempedulikan NU, kalaupun NU mengalami kemerosotan bukan urusan mereka, karena yang dilakukan hanya menjual nama NU. Sayangnya, hal itu tidak hanya dilakukan oleh orang yang tidak mengerti agama atau tugas keulamaaan, bahkan kalangan yang dikategorikan ulama sendiri juga sering tidak memahami tugas keulamaan mereka.

Dengan adanya kritik dan kenyataan seperti itu maka tidak ada lain bagi organaisiasi keulamaan, baik Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau pun Nahldatul Ulama (NU) organisai semacam itu mesti lebih tegas dalam menjalankan tanggung jawab mereka, dengan demikian diperlukan pimpinan dan pengurus yang tegas dan memang memahami visi keulamaaan. Jangan sampai dengan alas an profesionalitas justru mengabaikan karakter keulamaan yang menjadi  watak dasar organisasi tersebut. Di situlah rekrutmen tidak bisa sembaranga, harus melalui sederetan tolok ukur yang mesti dipenuhi.

Bagaimanapun tugas keulamaan yang merupakan kelanjutan dari tigas kenabian untuk menyelamatkan umat dan kehidupan ini perlu terus dipertahankan, karena itu perlu seleksi yang ketat, terutama seleksi moral bagi kader yang hendak direkrut dalam organisasi ini, baru setelah itu mempersyaratkan komitmen kemasyarakatan dan kebangsaan mereka. Kemampuan teknis keorganisasian menjadi persyaratan berikutnya, tanpa kempuan inis eseorang tidak akan mampu menunaikan tanggung jawabnya.

Tetapi sebagai organisasi keulamaan, tetntulah moralitas menjadi misi utamanya, dengan semakin menipisnya ikatan moral manusia dewasa ini, maka tugas keulamaan NU semakin mendesak, maka sangat ironis sebagaimana yang disinyalir kedua ulkama tersebut, kalau NU justeru  tidak membawa bimbingan moral, tetapi malah terlibat dalam pelanggaran moral karena dikelola oleh orang yang tidak memahami tuigas keulamaan, sehingga para ulama dan pemngikutnya terlibat dalam  melakukan berbagai penyimpangan.

Untuk meneguhkan kembali NU sebagai organisasi ulama, maka rekrutmen harus benar-benar selektif, agas tugas moral yang diemban bisa dilaksanakan, sebab dalam masyarakat pragmatis dewasa ini tugas moral menjadi berjuangan berat, karena itu hanya mereka yang memilkiki karakter keulamaan yang bisa menjalankan tanggung jawab moral keulamaan tersebut. Memang angat mengerikan kalau organisasi keulamaan sudah dijadikan alat atau tunggangan untuk meraih pangkat dan untuk meraih kekayaan pribadi, bukan untuk membesarkan organisasi. Ironisnya kecenderungan itulah yang terjadi saat ini, sehingga pantas kalau beberapa ulama, tidak hanya ulama yang ada di negeri ini, tetapi ulama di negeri seberang sana juga ikut resah. Tinggal sekarang bagai mana NU merespon kritik yang sangat berharga tersebut.

Dalam kenyataannya memang banyak fungsionaris NU yang telah kehilangan rasa dedikasinya pada organisasi, kehilangan militansi dan gairah berorganisasi, sehingga mengabaikan fasilitas dan potensi NU yang ada. Sementara saat ini tumbuh gerakan Islam yang militan dan radikal yang dengan gigihnya menanamkan pengaruhnya. Kalau NU tidak kembali memperkuat militansinya, tidak lagi memperkuat rasa pengabdiannnya maka akan mengalami kemeroisotan. Penguatan komitmen ke-NU-an terutama komitmen keulamaan itu yang seyogyanya menjadi prioritas saat ini. (Abdul Mun’im DZ)