Risalah Redaksi

Mengapa Haul Gus Dur Diperingati Bulan Desember?

Rab, 25 Desember 2013 | 09:02 WIB

Jika ada yang mengatakan peringatan tahunan meninggalnya ulama atau haul adalah bid’ah, maka keluarga KH Abdurrahman Wahid dan Gusdurian yang menyelenggarakan haul Gus Dur di bulan Desember berarti telah melakukan bid’ah dua kali: Bid’ah pertama adalah haul itu sendiri, dan bid’ah kedua menyelenggarakan haul berdasarkan kalender Masehi. <>

Dalam tradisi NU, haul para kiai atau ulama yang diniatkan sebagai acara untuk ibadah, berdoa dan mengambil teladan dilaksanakan berdasarkan kalender Hijriyah. Gus Dur meninggal pada 30 Desember 2009, jika dikonversikan dalam kalender qamariyah atau Hijriyah tanggal itu bertepatan dengan 14 Muharram 1431 H. Mengapa haul Gus Dur tidak diperingati di bulan Muharram saja?

Barangkali ada dua jawaban sederhana. Pertama, generasi ketiga dan keempat dari para tokoh pendiri NU, termasuk keluarga Gus Dur lebih akrab dengan sistem pendidikan yang dalam istilah kurang tepatnya disebut “sekolah umum”, yang lebih identik dengan kalender Masehi. Kedua, figur Gus Dur juga dianggap milik publik dan lagi-lagi masyarakat Indonesia lebih akrab dengan penanggalan Masehi. Apalagi Gus Dur meninggal di penghujung tahun, akhir bulan Desember, sehingga mudah diingat karena pada saat itu banyak orang melakukan refleksi dan perenungan.

Namun dua jawaban itu terlalu sederhana jika dikaitkan dengan pergeseran cara pandang orang NU dalam menyikapi sistem penanggalan. Lihat bagaimana hari lahir (Harlah) NU 31 Januari 1926 lebih sering disebut dari pada Hijriyahnya, 16 Rajab 1344. Juga pada saat NU lepas dari politik praktis atau kembali menjadi organisasi keagamaan yang bersifat sosial disebut dengan momen kembali ke Khittah 1926, bukan Khittah 1344.

Beberapa momen penting NU seperti Resolusi Jihad, beberapa Muktamar dan  Munas paling bersejarah, serta Rapat Akbar NU juga lebih ditulis tanggal Masehinya. Dalam bahasa yang lebih akademis barangkali sejak NU menyetujui berdirinya sebuah negara (Islam) bernama Indonesia, selanjutnya NU mengintegrasikan diri ke dalam pergerakan nasional; menuliskan sejarah pergerakannya dalam sistem kalender nasional.

Bukan saja dalam hal berorganisasi, dalam hal ibadah kalangan NU juga tidak terlalu mensakralkan hari dan tanggal. Lihat pelaksanaan khususi tarekat, manakib, tahlil, istighotsah, maulid, atau ziarah kubur tidak harus diselenggarakan di malam Jum’at yang diyakini sebagai hari terbaik dalam Islam (sayyidul ayam), atau di tanggal yang baik menurut kalender Hijriyah. Tradisi keagamaan NU itu malahan juga sering diselenggarakan di hari Ahad (Minggu), bahkan di hari-hari libur nasional.

Lagi-lagi dengan bahasa yang lebih akademis, pola dakwah NU dalam mengena hati para jamaah belakangan ini semakin renyah dan longgar. Dan selain artikel ini juga tidak ada yang menyoal pelaksanaan haul Gus Dur di bulan Desember, tidak ada yang melarang orang berdoa di penghujung tahun 2013 Masehi. (A. Khoirul Anam)