Risalah Redaksi

Menilik Kualitas Manusia Indonesia

Ahad, 15 Desember 2019 | 07:30 WIB

Menilik Kualitas Manusia Indonesia

Secara umum, kualitas manusia Indonesia belum dapat dikatakan sebagai kelompok unggul jika dibandingkan dengan negara-negara lain.

Terdapat dua laporan penting indeks internasional yang dirilis baru-baru ini yang menggambarkan perkembangan dan posisi Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Pertama adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mulai tahun ini menempatkan Indonesia dalam kategori negara dengan IPM tinggi. Kedua, Programme for International Student Assesment (PISA) yang mana Indonesia mengalami penurunan dari skor sebelumnya. Laporan ini dapat menjadi bahan evaluasi sejauh mana capaian dan apa yang harus dilakukan di masa mendatang.

 

Laporan IPM tahun 2018 yang dirilis oleh United National Development Program (UNDP) memberi skor Indonesia dengan angka 0,707. Capaian ini disambut dengan gembira oleh banyak kalangan mengingat Indonesia masuk pada jajaran negara dengan IPM tinggi yang batas terendahnya adalah 0,7. Sejak dirilis pertama kali tahun 1990 telah terjadi peningkatan yang signifikan dari 0,525 menjadi 0,707 atau setara dengan 34,6 persen. Terdapat beberapa Indikator untuk penilaian tersebut. Berikut indikator dan perbandingan capaian Indonesia antara tahun 1990 dengan 2018. Pertama, tingkat harapan hidup naik dari 62,3 tahun menjadi 71,5 tahun. Kedua, rata-rata lama sekolah meningkat dari 3,3 tahun menjadi 8 tahun. Ketiga, harapan masa sekolah meningkat dari 2,8 tahun menjadi 12,9 tahun. Dan terakhir, gross national income meningkat dari $4,399 menjadi $11,259.

 

Sementara itu, PISA mengukur kemampuan dalam hal membaca, matematika, dan sains. Indeks ini diinisiasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) yang diselenggarakan setiap tiga tahun sekali, yaitu pada 2018, 2015, 2012, dan seterusnya. Yang diukur adalah kinerja pendidikan menengah, yaitu anak berusia 15 tahun. Pada survei 2018, terdapat 600 ribu siswa di 79 negara yang terlibat. Pada kategori membaca, Indonesia urutan ke-6 dari bawah (74) dengan nilai 371 turun dari survei sebelumnya 397. Pada kategori matematika, 379, turun dari survei sebelumnya 386. Dan sains, 396, turun dari survei sebelumnya 403. Rata-rata dunia pada kategori bahasa 487, matematika 489, dan sains 498. China menjadi peringkat pertama dengan skor bahasa 555, matematika 591, dan sains 590. Secara rata-rata posisi Indonesia berada di urutan lima terbawah, yaitu 75 dari 80 negara yang disurvei.

 

Sekalipun kedua indeks tersebut dibuat secara terpisah oleh institusi yang berbeda, tetapi dapat digunakan untuk melihat gambaran kualitas manusia di Indonesia. IPM dikembangkan oleh Amartya Sen, seorang ekonom peraih Nobel yang merasa bahwa Indikator Produk Domestik Bruto (PDB) yang sebelumnya digunakan tidak cukup memadai untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara. Namun IPM perlu diperdalam untuk mengetahui secara lebih detail kualitas manusia di suatu negara. Untuk bidang pendidikan, indeks PISA dapat membantu menganalisis lebih dalam kualitas sumber daya manusia di masa mendatang mengingat kualitas pendidikan mempengaruhi capaian pada usia dewasa.

 

IPM hanya mengukur lama sekolah dan harapan lama sekolah sedangkan PISA mengukur kemampuan para siswa dalam memahami materi-materi penting. Rata-rata lama sekolah yang sama belum tentu menunjukkan kualitas manusia yang sama karena adanya perbedaan kualitas pendidikan. Sebagai contoh, menurut laporan The Need for a Pivot to Learning: New Data on Adult Skills from Indonesia kualitas sarjana Indonesia kita setara dengan kemampuan anak SMA di Denmark.

 

Tingkat melek huruf di Indonesia dapat menjadi gambaran. Persentase buta huruf di Indonesia sebagaimana laporan yang dirilis oleh BPS sudah sangat kecil, tetapi kemampuan membaca belum mengarah kepada keinginan masyarakat untuk memperkaya pengetahuannya dengan banyak membaca. Padahal rendahnya literasi berefek pada rendahnya sikap kritis dan analisis. Laporan World's Most Literate Nations yang dirilis oleh Central Connecticut State University (CCSU) pada 2016 menempatkan Indonesia di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia hanya menang di atas Botswana.

 

Terkait dengan aspek ekonomi dalam IPM, tingkat kesejahteraan secara umum memang meningkat, tetapi UNDP juga memberi catatan, jika faktor ketimpangan dimasukkan dalam pengukuran, maka IPM indonesia anjlok sampai 17,4 persen. Alat ukur kesenjangan ekonomi biasanya menggunakan Rasio Gini. Rasio ini diukur dari 0-1. Jika angkanya 0 maka pemerataan sempurna, sedangkan jika nilai 1, maka terjadi ketidakmerataan yang sempurna. Pada 2019 Rasio Gini Indonesia mencapai 0,382. Dalam dalam beberapa tahun terakhir ini terus mengalami penurunan. Indonesia pernah mencapai Rasio Gini 0,414 pada 2014.

 

Jika dikaitkan dengan indeks persepsi korupsi yang dirilis oleh Transparansi International, posisi Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan perbaikan. Pada 2018 skor Indonesia 38, naik 0,1 poin dibandingkan dengan tahun 2017. Hal ini menjadikan Indonesia berada pada peringkat ke 89 atau naik 7 poin dari posisi sebelumnya di 96 dari 180 negara yang disurvei. Tetapi perlu dicatat bahwa capaian kita masih di bawah rata-rata negara Asia Pasifik yang mencapai 44. Ini juga yang menjadi faktor mengapa pembangunan tidak berjalan dengan efektif karena besarnya kebocoran dana.

 

Berbagai persoalan ini tidak bisa diselesaikan dengan cara sulapan yang dalam waktu seketika. Tetapi membutuhkan komitmen jangka panjang. Apalagi pada negara sebesar Indonesia dengan jumlah penduduk 269 juta jiwa. Namun demikian, kinerja sebuah pemerintahan dapat dinilai dari seberapa jauh kemampuannya dalam memperbaiki indikator-indikator yang dirilis secara internasional tersebut dari tahun ke tahun atau dari periode pemerintahan sebelumnya. Dengan indikator tersebut, kita dapat membandingkan posisi dengan negara lain, provinsi atau kabupaten/kota dapat membandingkannya dengan daerah lainnya.

 

Secara umum, kualitas manusia Indonesia belum dapat dikatakan sebagai kelompok unggul jika dibandingkan dengan negara-negara lain. NU dengan institusi pendidikan dan kesehatan yang dimiliki serta struktur organisasinya yang sampai ke level paling bawah, menjadi bagian penting dalam proses peningkatan kualitas manusia Indonesia. Generasi baru harus memiliki kualitas setara atau bahkan lebih baik dibandingkan dengan bangsa lain. Tak mudah untuk melakukannya, tetapi kita memiliki potensi besar untuk mencapainya. Kerja sama antara seluruh komponen bangsa menjadi salah satu kuncinya. (Achmad Mukafi Niam)