Risalah Redaksi

Mewaspadai Penyebaran Covid-19 di Pesantren

Sen, 20 Juli 2020 | 04:45 WIB

Mewaspadai Penyebaran Covid-19 di Pesantren

Relawan NU Peduli Covid-19 melakukan pemeriksaan di pesantren. (Foto ilutrasi: Media Daruttauhid Malang)

Setidaknya juga sudah lima pesantren yang para penghuninya telah terkena Covid-19 yang meliputi Pesantren Al Fatah Tembora Magetan, Pesantren Gontor Ponorogo, Pesantren Sempon Wonogiri, Pesantren di Kota Tangerang, dan Pesantren di Pandeglang. KH Majid Kamil Maimoen Zubair, putra KH Maimoen Zubair yang merupakan salah pengasuh pesantren Al Anwar Sarang Rembang juga dinyatakan meninggal setelah positif terkena Covid-19. Jika tidak ada antisipasi lebih lanjut, maka dikhawatirkan lebih banyak pesantren yang menjadi pusat penyebaran virus Corona.


Terdapat beberapa pandangan umat Islam dalam melihat fenomena pandemi Covid-19. Keragaman pandangan ini sesungguhnya juga cerminan dari opini masyarakat secara umum. Pertama pandangan bahwa Covid-19 merupakan hasil dari konspirasi pihak-pihak tertentu. Ada pihak yang bertujuan untuk menjual vaksin atau untuk memasukkan chip canggih guna mengendalikan manusia. Teori lain yang berkembang adalah adanya kelompok elite yang menginginkan populasi dunia berkurang agar beban bumi ini menjadi lebih ringan. Selain itu juga teori yang berpendapat bahwa Covid-19 merupakan bagian dari perang biologis antarnegara adidaya. 


Pembahasan soal teori-teori ini banyak beredar di internet atau disampaikan secara personal dari satu orang ke orang lain seolah-olah sebagai sebuah informasi rahasia dan hanya sedikit orang lain yang tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik pandemi ini. Mereka yang sudah terkena bius teori ini semakin kuat keyakinannya ketika mengakses informasi dari internet karena algoritma internet menyodorkan konten yang senada dengan tulisan sebelumnya yang sudah dibaca. Akhirnya terdapat proses penguatan keyakinan dengan adanya penyebaran informasi yang sama berulang-ulang di dunia maya (echo chambering). 


Pandangan kedua adalah keyakinan jabariyah. Pengasuh pesantren tertentu mungkin saja berpendapat bahwa Covid-19 diturunkan karena kehendak Allah. Oleh karena itu, hanya Allah yang mampu menghentikan penyebaran penyakit ini. Manusia sama sekali tidak mampu mencegah penghentian virus ini. Sikap yang muncul akhirnya adalah, “Jika Allah menghendaki saya terkena penyakit, maka saya tidak mampu menghindarinya, apa pun usaha yang dilakukan. Jika Allah menghendaki saya selamat, maka sekalipun tinggal di daerah yang masuk kategori merah atau daerah yang banyak korban Covid-19, ya tetap selamat.” Upaya yang mereka lakukan lebih banyak menjalankan doa agar virus ini cepat hilang di muka bumi. 


Pandangan ketiga adalah kayakinan bahwa penyebaran virus ini merupakan fenomena normal alam. Dengan demikian, virus ini bisa dicegah dengan melakukan sejumlah protokol sesuai anjuran para ahli kesehatan. Mereka memiliki pandangan yang rasional dan bertindak secara rasional pula. Pada pengasuh pesantren yang berpandangan seperti ini, mereka berusaha mematuhi protokol kesehatan. Mereka ikut mengampanyekan perlindungan diri dalam menghadapi pandemi ini. Namun, umumnya mereka memiliki keterbatasan dalam memenuhi berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mengurangi risiko terpapar Covid-19. 


Dengan melihat tiga pandangan pengasuh pesantren terhadap Covid-19, maka pendekatan yang dilakukan tidak bisa seragam. Bagi yang percaya teori konspirasi, mereka bukan hanya tidak mematuhi protokol kesehatan, tetapi juga menyebarkan pandangannya ke orang-orang lain untuk mempercayai adanya teori konspirasi mereka, juga abai terhadap protokol kesehatan. Orang-orang yang mengampanyekan pencegahan virus ini dianggap sebagai juru bicara WHO. Dengan demikian, semua omongannya tidak layak dipercayai. Perubahan pandangan hanya bisa dilakukan dengan diskusi panjang dengan membangun sikap kritis atas keyakinan yang selama ini dipegang teguh.


Pada orang yang memiliki pandangan kedua, maka langkah yang dilakukan adalah dengan membangun kesadaran bahwa manusia memiliki kewajiban ikhtiar dan peran penting dalam turut menentukan nasibnya dalam situasi pandemi ini. Ada banyak dalil agama yang menegaskan akan kapasitas individual manusia dalam menentukan nasib atas dirinya. Ada banyak bukti empiris yanga dapat ditunjukkan bahwa upaya-upaya pencegahan dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terkena virus ini. 


Pada pandangan ketiga yang merupakan arus utama pandangan para kiai dan pengasuh pesantren, langkah yang dilakukan adalah dengan menyediakan sarana dan prasarana untuk memenuhi protokol kesehatan untuk pencegahan Covid-19. Dalam hal ini, dukungan dari pemerintah sangat krusial berupa penyediaan segala perlengkapan yang diperlukan. 


Sayangnya, dukungan yang diberikan oleh pemerintah kepada institusi pesantren masih sangat minim. Pemerintah hanya mengalokasikan dana sebesar Rp2,6 triliun bagi pesantren untuk menghadapi tatanan normal baru (new normal). Bantuan tersebut diperuntukkan bagi 21,173 lembaga pesantren dan 62,153 lembaga Madrasah Diniyah Takmiliyah serta 112,008 lembaga Pendidikan Al-Qur’an. Pesantren kecil (50-500) santri mendapatkan bantuan Rp25 juta, pesantren sedang (500-1500) mendapatkan bantuan Rp40 juta, dan pesantren besar dengan jumlah santri di atas 1,500 akan mendapatkan bantuan Rp50 juta.


Bantuan pemerintah masih jauh dari kebutuhan layak para santri. Sebagai contoh, bantuan Rp50 juta untuk pesantren dengan jumlah santri 1,500 berarti setiap santri hanya mendapat alokasi bantuan sebesar 33,333 rupiah (tiga puluh tiga ribu, tiga ratus tiga puluh tiga rupiah). Pada pesantren yang menerima bantuan Rp25 juta untuk 500 santri, maka alokasi per santri hanya 50 ribu rupiah. Jumlahnya sangat jomplang jika dibandingkan dengan sektor pendidikan lainnya yang sudah mendapatkan bantuan operasional sekolah (BOS), sertifikasi guru, dan lainnya.

 
Pandemi ini merupakan bencana yang tidak dapat diselesaikan sendiri. Perlu kerja sama dari banyak pihak untuk saling memberi dukungan agar upaya perlindungan ini dapat berjalan secara maksimal sehingga pandemi ini cepat berakhir atau meminimalkan jumlah korban. Pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan layak mendapatkan dukungan dari negara dan masyarakat. (Achmad Mukafi Niam)