Risalah Redaksi

Mewaspadai Terulangnya Krisis Ekonomi

Ahad, 9 September 2018 | 09:15 WIB

Mewaspadai Terulangnya Krisis Ekonomi

Ilustrasi (eadaily.com)

Nilai tukar dolar terhadap rupiah sempat mencapai level psikologis 15 ribu rupiah per dolar AS baru-baru ini. Sejumlah kekhawatiran muncul, apakah Indonesia akan kembali jatuh dalam kubangan krisis ekonomi seperti tahun 1998 lalu yang memporakporandakan kehidupan ekonomi dan sosial. Turki, salah satu negara yang dianggap berhasil dalam melakukan pembangunan, kini sedang mengalami kesulitan ekonomi. Nilai tukar mata uang Turki, lira telah turun sekitar 70 persen dari awal tahun 2018 saja. Ada keresahan bahwa situasi yang terjadi di Turki akan merembet ke Indonesia. Sekalipun sementara nilai tukar dolar terhadap rupiah bisa dikendalikan di bawah 15 ribu, suatu saat bisa bergejolak lagi.

Perubahan nilai tukar sangat mempengaruhi kondisi perekonomian terkait dengan daya beli. Jika kita memiliki uang 100 juta, saat nilai tukar dolar dengan rupiah 14 ribu, maka kita memiliki uang sebanyak 7.142,86 dolar. Saat nilai kurang dolar naik menjadi 15 ribu, maka nilai uang kita tinggal 6.666,67 dolar atau sudah berkurang sebesar 458,19 dolar, sekalipun tetap 100 juta pada mata uang rupiah. 

Jika kita punya pinjaman seribu dolar, saat kurs 14 ribu rupiah per dolar, maka hutang kita jika dihitung dalam mata uang rupiah hanya14 juta rupiah. Saat kurs dolar naik menjadi 15 ribu, utang kita menjadi 15 juta, naik 1 juta rupiah tanpa kita sadari, sekalipun tetap seribu dolar. Naik turunnya nilai tukar menyebabkan kita menjadi lebih kaya atau miskin tanpa kita terasa. 

Saat nilai dolar naik, harga barang-barang yang harus diimpor menjadi lebih mahal. Bukan hanya produk elektronik seperti laptop atau handphone, dan sejumlah barang mewah tetapi Indonesia juga mengimpor berbagai produk pangan seperti gandum, beras, garam, gula, bahkan termasuk kedelai untuk membuat tempe. Masyarakat mengeluh akibat harga barang-barang kebutuhan pokok yang tidak terkendali.

Sebaliknya, produk-produk yang diekspor ke negara lain harganya menjadi lebih mahal jika dihitung dalam mata uang rupiah, sekalipun tetap sama dalam mata uang dolar. Eksporter CPO, karet, garment, elektronik, dan produk lainnya dari Indonesia akan mendapatkan berkah keuntungan tambahan tanpa melakukan satu tindakan apapun.

Pejabat pemerintah berusaha menenangkankan masyarakat bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini berbeda jauh dengan tahun 1998 saat Indonesia mengalami krisis. Kurs saat krisis turun dengan cepat dari 2500 menjadi sekitar 8-10 ribu atau turun 80 persen. Rupiah sempat mencapai 15.500 pada 17 Juni 1998. Cadangan devisa juga dalam posisi yang jauh lebih baik, saat itu sekitar 23 miliar dollar sedangkan saat ini menjadi 118 miliar dollar. Inflasi tahun 1998 sebesar 77.6 persen sedangkan antara Januari-Agustus 2018 ini, inflasi hanya 2.31 persen. Daftar perbedaan tersebut masih bisa dibuat lebih panjang.

Berbagai perlindungan sosial juga telah diterapkan seperti adanya jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS, kartu keluarga sejahtera (KKS), biaya operasional sekolah (BOS) atau tunjangan lainnya yang diberikan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kemampuan anggaran seperti Kartu Pintar untuk para pelajar di DKI Jakarta. Hal ini membuat daya beli masyarakat tetap terjaga dari berbagai gejolak. Kualitas pelayanan publik dan keberadaan infrastruktur Indonesia jauh lebih baik dari 20 tahun lalu. Sejauh ini, situasi tetap terkendali. 

Tahun ini merupakan tahun politik. Pihak oposisi pemerintahan memanfaatkan gejolak nilai tukar sebagai bahan untuk melakukan serangan terhadap pemerintah. Jumlah utang negara yang terus membengkak juga dijadikan alasan bahwa rezim kali ini menambah pinjaman yang bisa membahayakan negara. Penurunan jumlah orang miskin yang persentasenya sangat rendah juga menjadi kritik. Selalu ada hal yang bisa menjadi bahan kritikan kepada pemerintah. 

Sementara itu, pihak pemerintah berusaha membangun persepsi bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia baik-baik saja. Permasalahan ada pada faktor eksternal seperti kebijakan penaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat. Akibatnya, dolar yang sebelumnya diinvestasikan di berbagai belahan dunia kembali balik kandang ke negari Paman Sam karena memberikan imbal hasil investasi yang lebih tinggi dengan tingkat keamanan investasi yang lebih baik. Jika dibandingkan dengan negara lain, penurunan mata uang Indonesia masih jauh lebih terkendali dibandingkan dengan negara lain seperti Argentina (- 119%), Turki (-77%), Afsel (-26%), Brazil (-25%), dan India (-12%). Mata uang Indonesia hanya turun sekitar 11 persen.

Faktor lain yang menjadi penyebab gejolak mata uang adalah kebijakan proteksionisme Trump yang mengakibatkan terjadinya perang dagang antara mitra dagang Amerika Serikat, yaitu China dan Uni Eropa. Situasi ini menyebabkan ketidakstabilan dan ketidakpastian yang menganggu sistem perdagangan terbuka yang selama ini sudah berjalan. Amerika Serikat menerapkan tarif impor barang yang tinggi pada sejumlah produk yang berasal dari China dan Uni Eropa. Kebijakan tersebut kemudian dibalas atas sejumlah item dari AS yang masuk ke masing-masing negara. 

Sekalipun perang dagang hanya berlangsung di beberapa negara besar, tetapi pengaruhnya bisa melebar ke mana-mana. Sistem produksi rantai global menyebabkan hambatan produksi di satu wilayah menyebabkan permasalahan lain. Dalam sistem ini, sejumlah item atau komponen produksi diproduksi di berbagai dunia dengan mencari ongkos produksi yang paling efisien. Komponen-komponen tersebut dirakit di satu tempat untuk menjadi produk akhir, yang kemudian didistribusikan kembali ke seluruh dunia. 

Sebuah telepon cerdas merupakan produk akhir dari berbagai komponen yang berbagai negara. Transistor mungkin berasal dari Korea Selatan, item lain bisa berasal dari Indonesia, Taiwan, Malaysia atau negara lain. China menjadi tempat produk akhir yang kemudian oleh perusahaan pemegang merek yang berasal dari Amerika Serikat, dijual ke seluruh dunia. Adanya hambatan lalu lintas produksi karena tarif menyebabkan seluruh rantai produksi dari hulu ke hilir menjadi tidak lancar. 

Situasi ekonomi dunia banyak tergantung pada China dan Amerika Serikat. China menyerap banyak bahan baku untuk barang-barang yang diproduksi di negari tirai bambu tersebut. Indonesia mengekspor batubara, pulp dan kayu, karet, produk nabati dan hewani serta lainnya ke China untuk memenuhi kebutuhan industri di sana. Saat permintaan barang hasil produksi dari China turun atau dihambat, maka permintaan bahan baku juga menurun. 

Krisis ekonomi merupakan sesuatu yang tak dapat dikendalikan sepenuhnya. Amerika Serikat sendiri pernah mengalami krisis ekonomi pada 2008 sekalipun di negeri tersebut, terdapat ekonom paling pintar sedunia. Sekalipun perangkat pemerintahan untuk mengendalikan ekonomi telah berjalan dengan baik dibandingkan dengan negara-negara lain. Mereka juga telah belajar dari Depresi Besar yang terjadi pada 1929, toh krisis tetap terjadi.

Penjaga kondisi ekonomi Indonesia yang merupakan sebuah tim yang terdiri dari Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia menentukan kebijakan moneter, Kementerian Keuangan merencanakan dan mengatur besarnya pendapatan dan belanja pemerintah, sedangkan OJK bertugas mengawasi lembaga keuangan di Indonesia. 

Mereka bagai sebuah tim yang mengendalikan kendaraan dalam sebuah perjalanan penuh liku dan jalanan yang bergelombang. Ngebut akan cepat sampai, tetapi menimbulkan risiko kecelakaan, terlalu berhati-hati, tentu akan lambat sampai di tujuan. Saat situasi ekonomi sedang kurang stabil, BI menaikkan suku bunga acuran sehingga masyarakat lebih suka menyimpan uangnya di bank dibandingkan membelanjakannya atau jika dalam denominasi dolar, maka uang tersebut tetap disimpan di Indonesia, tidak dibawa ke luar negeri. Kementerian Keuangan menentukan, mana saja proyek yang perlu ditunda dan mana yang harus tetap dilaksanakan sedangkan OJK mengawasi agar lembaga keuangan tetap terkelola risikonya. Kombinasi berbagai kebijakan tersebut menentukan arah dan kecepatan kebijakan dalam sektor keuangan.

Indonesia telah banyak belajar dari krisis 1998. Tata kelola lembaga-lembaga keuangan telah diperbaiki, tingkat risiko lebih terkelola. Kondisi perekonomian juga jauh lebih baik. Langkah-langkah antisipatif lainnya telah dilakukan. Namun kewaspadaan tinggi harus tetap dijaga. Dunia yang semakin terhubung menyebabkan krisis yang terjadi di satu tempat dengan cepat menyebar ke tempat lainnya. Amerika Serikat, Yunani, Argentina dan lainnya telah mengalami pahitnya krisis ekonomi. Siapapun dapat mengalami hal ini jika tidak mampu mengelola ekonomi dengan baik. Warga dengan pendapatan terbawah yang paling akan terdampak. (Achmad Mukafi Niam)