Risalah Redaksi

Muslimat NU, Soko Guru Nahdlatul Ulama

Ahad, 27 Januari 2019 | 10:30 WIB

Di antara badan otonom NU, yang kegiatannya paling aktif dan masif adalah Muslimat NU. Mulai dari pengajian hingga kegiatan sosial seperti pengelolaan lembaga pendidikan tingkat RA, klinik kesehatan sampai dengan panti asuhan, semuanya dilakukan oleh Muslimat NU. Dalam berbagai acara pengajian, yang memastikan bahwa berbagai kebutuhan untuk menyukseskan acara tersebut juga atas peran-peran para ibu Muslimat NU. Ibaratnya, tanpa peran mereka, berbagai aktivitas NU tidak akan seaktif saat ini karena merekalah yang menghidupkannya.

Para pengurus Muslimat NU memang berbeda. Secara umur mereka lebih matang dibandingkan dengan organisasi perempuan di lingkungan NU dan kematangan itu disertai pula dengan kapasitas ekonomi yang lebih mapan untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Apalagi para suami juga mendukung istrinya terlibat dalam kegiatan yang positif bersama dengan ibu-ibu yang lain, daripada terlibat pada kegiatan yang tidak jelas orientasinya. Maka lengkaplah modal untuk membuat organisasi ini bisa aktif bergerak. 

Dengan sumber daya besar yang dimilikinya, sudah selayaknya Muslimat NU semakin memperhatikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh perempuan dan anak. Di antara persoalan perempuan dan anak adalah kesehatan reproduksi, pernikahan anak, stunting dan gizi buruk.  Keterlibatan Muslimat NU dalam bidang ini secara lebih intens akan akan membantu mengurai permasalah yang sudah lama  belum terurai ini. 

Tekait dengan kesehatan reproduksi, dari target 106 kematian ibu melahirkan menurut Millenium Development Goal (MDG), maka yang terjadi masih 305 dari 100.000 kelahiran. Ini artinya banyak kematian yang terjadi akibat melahirkan yang harusnya dicegah. Banyak hal bisa dilakukan untuk mencegah kematian seperti meningkatkan pemahaman kehamilan yang baik, sampai memahami risiko-risiko yang terjadi pada kehamilan yang bermasalah. 

Perkawinan anak masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Beruntung Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pasal dalam UU Perkawinan yang menyatakan bahwa usia pernikahan perempuan adalah 16 tahun. Dengan dinaikannya batasan usia nikah, maka terbuka kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jika mereka terburu-buru dinikahkan dengan cepat, maka mereka kehilangan masa remaja dan kehilangan masa belajar. Banyak risiko yang ditimbulkan akibat pernikahan dini ini, seperti ketidaksiapan fisik dan emosional. Yang selanjutnya mereka tidak mampu mendidik anak-anaknya dengan baik. Di sinilah terjadi lingkaran permasalahan yang tak putus-putus. Para orang tua yang memiliki anak gadis 

Stunting dan gizi buruk masih menjadi persoalan di Indonesia. Akibatnya, kita kehilangan potensi generasi-generasi baru yang cerdas mengingat stunting dan gizi buruk yang terjadi pada usia emas bisa menyebabkan berkurangnya kecerdasan anak. Ini berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam jangka panjang. 

Persoalan stunting tentu terkait dengan ketersediaan makanan yang bergizi dan prioritas penggunaan pendapatan yang dimiliki oleh keluarga. Mungkin saja, penghasilan keluarga mencukupi tetapi karena ketersediaan gizi tidak menjadi prioritas karena ketidaktahuan akan pengaruh jangka panjang yang diakibatkannya. 

Pada persoalan-persoalan tersebut, para tokoh Muslimat NU bisa menyelipkan pengetahuan terkait dalam berbagai pengajian di majelis taklim atau pertemuan lainnya yang dihadiri pada anggota Muslimat NU.  Dan dengan mengaitkannya pada ajaran Islam, maka saran-saran tersebut lebih mudah masuk dan dilaksanakan. Para ibu menjadi anggota Muslimat NU umumnya karena keinginan untuk menjalankan agama dengan lebih baik. Sayangnya, pesan-pesan agama yang disampaikan dalam banyak pengajian masih berputar pada masalah fiqih sehari-hari. Padahal, persoalan keseharian yang dihadapi oleh para perempuan juga merupakan tanggung jawab para pengurus Muslimat NU untuk membantu mengatasinya, tentu dengan pendekatan agama. 

Kita selama ini masih memisahkan seolah-olah agama hanya urusan ubudiyah semata, sementara persoalan lain, seperti kesehatan, ekonomi, dan pendidikan, yang mempengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan juga merupakan persoalan agama. Keduanya tak dapat dipisahkan. Bagaimana meramunya dengan baik untuk disampaikan kepada jamaah, para daiyah Muslimat NU tentu sudah memahami dengan baik. 

Perayaan hari lahir ke-73 Muslimat NU yang diselenggarakan secara meriah di Gelora Bung Karno Jakarta pada Ahad, 27 Januari 2019 tentu bagian dari rasa syukur untuk atas kerja-kerja kepada masyarakat yang selama ini dilakukan. Tentu tak boleh puas atau merasa sudah sukses dengan perayaan besar tersebut. Pekerjaan besar lainnya telah menunggu untuk dikerjakan.  

Muslimat NU telah membuktikan diri menjadi soko guru bagi NU dengan aksi-aksi nyata mengatasi berbagai persoalan. Mereka telah melaksanakan perintah agama yang sebelumnya hanya disuarakan dari panggung ke panggung lainnya, menjadi retorika yang terus diulang-ulang tanpa aksi nyata yang menghasilkan perubahan masyarakat. 

Apa yang sudah dicapai, tentu layak kita dukung agar aktivitas dan program yang mereka lakukan mampu menjangkau lebih banyak orang yang membutuhkan. Keberhasilan dan kepercayaan yang diperoleh merupakan modal besar untuk melangkah kepada upaya penyelesaian persoalan yang lebih besar yang menunggu, yang tak dapat diselesaikan sendiri, baik oleh Muslimat NU atau pemerintah, tetapi dengan sinergi berbagai pihak. (Achmad Mukafi Niam)