Risalah Redaksi

Peluang dan Tantangan NU di Era Digital

Ahad, 3 Februari 2019 | 13:30 WIB

Peringatan hari lahir ke-93 NU pada tanggal 31 Januari 2019 berlangsung meriah. Ini merupakan tanda syukur bahwa dalam usianya yang menjelang 100 tahun, peran-peran yang dilakukan NU kepada bangsa dan umat dalam berbagai persoalan terus dapat dijalankan. Dalam usia 93 tahun ini, sekaligus kita berpikir bagaimana peran-peran NU di masa mendatang di era disrupsi digital dan revolusi industri 4.0. Perubahan teknologi menyebabkan perubahan perangkat untuk menjalankan banyak aktivitas kehidupan, yang mengubah lanskap cara-cara berdakwah dan melayani masyarakat. 

Ceramah pada zaman dahulu selalu dilakukan dari panggung ke panggung. Kini pengajian dan ceramah bisa dilaksanakan dari rumah masing-masing, dengan siaran langsung melalui media sosial seperti Youtube, Facebook, Instagram, atau media sosial lainnya. Apa yang disampaikan secara langsung tersebar ke seluruh penjuru dunia. Sejumlah penceramah kondang yang muncul belakangan ini adalah mereka-mereka yang sebelumnya sukses mengembangkan dakwah di dunia digital. Mereka memiliki kemampuan berbicara yang baik sekalipun kemampuan agamanya belum tentu memadai. Beberapa di antaranya terpaksa minta maaf kepada publik karena melakukan kesalahan dalam menafsirkan Al-Qur’an seperti adanya pesta seks di surga atau pernyataan bahwa Nabi Muhammad pernah sesat

Peluang ini yang juga harus dimanfaatkan oleh komunitas NU. Salah satu yang cukup berhasil adalah KH Musthofa Bisri. Apa yang ia lakukan harusnya menjadi inspirasi bagi generasi muda yang lahir di era digital bahwa usia tidak menghalangi pemanfaatan dakwah di ranah media sosial. Gus Mus adalah seorang pembelajar yang terus memanfaatkan keberadaan teknologi baru sebagai sarana berdakwah. Anak-anak muda NU harusnya lebih mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan teknologi karena merekalah yang hidup di zaman ini dan generasi mereka pulalah yang menjadi pengguna terbesar teknologi.

Teknologi juga telah membuat konsolidasi organisasi menjadi lebih gampang. Komunikasi dan koordinasi yang sebelumnya susah dan memerlukan biaya mahal kini menjadi sangat gampang. Aplikasi WhatsApp (WA), Line, Telegram, Skype dan sejenisnya yang bisa diunduh secara gratis membantu mengoordinasikan berbagai kegiatan dengan gampang. Ada banyak sekali perangkat lunak untuk membantu berbagai kegiatan menjadi lebih mudah.

Ketika teknologi telah tersedia dengan biaya murah, maka yang diperlukan adalah kapasitas menggunakannya dengan baik. Maka di sini, yang berlaku adalah kualitas sumber daya manusia. Prinsipnya adalah man behind the gun atau orang yang menggunakan senjata, bukan senjata itu sendiri. Betapapun canggihnya senjata, tentara yang memegangnya tidak kompeten, maka akan kalah dalam peperangan. 

Banyak orang kini mengalami kecanduan internet. Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya berselancar di internet sementara interaksi sosialnya di dunia nyata menjadi sangat berkurang. Hal ini kemudian menimbulkan depresi, kecemasan atau persoalan psikologis lainnya. Saat ongkos komunikasi hampir gratis, ternyata ada masalah lain yang muncul karena ketidakmampuan untuk mengelola secara tepat aktivitas di dunia maya. Berbagai persoalan yang sebelumnya yang menjadi konsumsi pribadi dikeluhkan di dunia maya. 

Orang-orang mengejar popularitas di dunia maya dengan melakukan hal-hal yang kontroversial. Yang dulu menjadi tabu dalam masyarakat kini menjadi biasa dilakukan. Menghina orang lain dengan kata-kata kasar kini dengan gampang ditemui di media sosial. Remaja yang belajar agama hanya di internet membantah pendapat ulama bidang tertentu yang kompeten. 

Penyebaran hoaks merupakan tantangan serius lainnya yang muncul dalam era digital. Berita bohong sudah ada sejak dahulu. Kini, hoaks bisa dengan gampang menyebar dari satu grup ke grup media sosial lainnya, diamplifikasi oleh tokoh tertentu sehingga menimbulkan kepanikan di masyarakat. Literasi digital yang rendah menyebabkan tidak ada upaya pengecekan informasi yang diterima sebelum disebarkan. Informasi yang sesuai dengan pendapatnya, hanya dengan ujung jari sudah menyebar ke mana-mana. Belum ada budaya malu di masyarakat bahwa dirinya telah menyebarkan berita bohong sehingga tidak kehati-hatian dalam menyebarkan informasi.

Publik saat ini banyak membahas revolusi industi 4.0 yang mana peran-peran manusia dalam dunia kerja akan digantikan dengan otomatisasi mesin. Pekerjaan-pekerjaan kasar dan berulang akan digantikan dengan teknologi digital yang lebih akurat dan efisien. Tanpa terasa, sesungguhnya, banyak pekerjaan sudah tergantikan dengan mesin. Di pintu masuk tempat parkir, sudah jarang yang menempatkan penjaga untuk mencatat nomor kendaraan yang masuk. Pengunjung tinggal menekan tombol masuk untuk mendapatkan tiket. CCTV mengurangi kebutuhan penjaga keamanan. Perangkat lunak penerjemah otomatis atau perangkat lunak pengubah suara dari teks juga ada. Itu merupakan bagian-bagian kecil inovasi yang terus tumbuh dan terakumulasi. 

Para inovator di seluruh dunia melalui perusahaan-perusahaan rintisan saling bersaing menemukan hal-hal baru yang ditawarkan kepada masyarakat. Temuan baru yang sangat canggih dalam dua atau tiga tahun kemudian sudah dianggap usang karena kecepatan inovasi tersebut. Semua pihak berusaha saling mengantisipasi perubahan atau menciptakan trend baru, menciptakan aturan baru untuk memenangkan persaingan.

Situasi seperti ini biasa disebut volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity (VUCA) atau volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas. Jika para inovator harus selalu berpikir keras agar selalu kompetitif terhadap para pesaingnya, bagaimana nasib buruh tani dan petani kecil di daerah-daerah pedesaan. Pengetahuan, akses informasi, dan ketrampilan yang dimiliki terbatas. Tanpa disadari, mereka sesungguhnya korban paling besar dari perubahan dahsyat ini. Saat ini para pedagang konvensional, baik yang berskala besar atau kecil, yang menjajakan dagangannya melalui toko-toko sudah banyak bertumbangan berhadapan dengan mereka yang berjualan di dunia maya. Para petani sejak lama telah termarginalkan dan semakin susah untuk mengatasi persoalan ini tanpa upaya luar biasa dari banyak pihak. 

Menyiapkan diri warga NU dalam menghadapi perubahan teknologi dan revolusi digital yang memberi banyak kemudahan tetapi sekaligus mengancam peran-peran kemanusiaan inilah tantangan yang harus dipikirkan oleh NU. Bagaimana menumbuhkan literasi digital dan menyiapkan jutaan petani, buruh, dan kelompok masyarakat yang terpinggirkan menghadapi perubahan yang semakin meminimalisasi peran-peran mereka. Nasib jutaan orang, tergantung pada apa yang kita lakukan hari ini. Inilah peluang sekaligus tantangan NU yang harus kita siapkan hari ini agar dapat terus berperan di masa mendatang. (Achmad Mukafi Niam)