Risalah Redaksi

Raja Salman dan Perilaku Wahabi Lokal

Jum, 10 Maret 2017 | 08:33 WIB

Kunjungan Raja Salman dari Arab Saudi baru-baru ini mendapat sambutan antusias dari berbagai lapisan masyarakat. Media melakukan liputan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh sang Raja. Dari situlah terlihat bagaimana ia berperilaku atau bagaimana ia merespon beragam sambutan dari masyarakat luas. Secara umum, terlihat bahwa sikapnya moderat, tidak sebagaimana gambaran yang tercipta pada pengikut Wahabi yang terkesan kaku dan memandang segala sesuatu dari sudut halal-haram. Tak heran kunjungan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk mengembangkan Islam moderat. Dalam MoU tersebut bahkan ada kata-kata yang menyatakan bahwa keragaman tetap bisa dijaga termasuk juga perbedaan dalam paham keagamaan.

Sebagai pemimpin tertinggi dari negara yang menganut wahabisme, tentu tindak-tanduknya mencerminkan sebagian keyakinan yang dianutnya. Kelompok Wahabi di Indonesia selalu merujuk Saudi Arabia sebagai Islam paling otentik, yang mencerminkan tafsir mereka atas teks Al-Qur’an dan Hadits. Tapi ternyata, ketika melihat perilaku Raja Salman, dalam banyak hal, perilakunya tidak jauh berbeda dengan kebiasaan Muslim Indonesia secara umum. Pakaian yang dikenakannya isbal atau sampai di bawah lutut. Wahabi dan Salafi garis keras selalu menekankan haramnya isbal dengan menyertakan sejumlah dalil untuk menguatkan pendapatnya.

Juga tidak terlihat adanya tanda hitam di dahinya sebagaimana terlihat pada kelompok Wahabi di Indonesia. Sudah jamak di Indonesia, shalat selalu menggunakan sajadah. Lalu bagaimana bisa muncul tanda hitam tersebut? Itu yang masih menjadi pertanyaan. Para kiai NU yang menghabiskan malam-malamnya dengan tahajud pun nyaris tidak terlihat ada tanda hitam di keningnya.

Hal lainnya, Raja Saudi Arabia ketujuh ini pada saat pertemuannya dengan Jokowi menyampaikan maksudnya ingin bertatap muka dengan cucu Soekarno. Ia memiliki kenangan indah dalam perjumpaannya dengan presiden pertama RI ini dengan kalimatnya saat berpidato, yaitu “saudara-saudara”. Saat dipertemukan dengan Puan Maharani dan Megawati Soekarnoputri, mereka pun bersalaman dan menerima permintaan untuk berswafoto tanpa canggung. Foto itu akhirnya viral karena mampu menunjukkan sisi kemanusiaan di antara para pemimpin, bukan foto formal berjajar bersama di antara para tokoh yang merupakan sesi resmi dalam setiap kunjungan antar pemimpin pemerintahan. Bagi kelompok Wahabi dan Salafi, bersentuhan tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dianggap berdosa.
 
Apakah Raja Salman tidak cukup memahami ajaran Islam sehingga berperilaku seperti itu? Tentu naif jika mempertanyakan hal tersebut. Ia diajar oleh ulama-ulama istana nomor satu dalam sekolah khusus untuk para pangeran. Bahkan pada usia 10 tahun ia sudah mampu menghafalkan Al-Qur’an 30 juz. Satu prestasi istimewa yang bagi orang Timur Tengah sebagai pengguna bahasa Arab pun susah dicapai.

Jika Arab Saudi berusaha menjadi lebih moderat dan membuka diri dengan dunia luar, kelompok-kelompok Wahabi di Indonesia ingin menjadikan Indonesia seperti Saudi Arabia yang konservatif. Indonesia yang secara alamiah merupakan wilayah terbuka akan dijadikan wilayah yang secara sosial tertutup dan tersegregasi. Laki-laki dan perempuan dipisahkan, ada pemisahan identitas antara kami dan mereka untuk atas dasar perbedaan pemahaman agama. Jika di Saudi Arabia berusaha memperluas akses perempuan terhadap kehidupan publik, kelompok Wahabi di Indonesia berusaha mengurangi akses perempuan dalam kehidupan publik dengan berbasis tafsir-tafsir agama yang di Saudi Arabia sendiri kini dipertanyakan keabsahannya. Visi Saudi 2030 salah satunya mendorong keterlibatan perempuan dalam dunia kerja dari 22 persen menjadi 30 persen.

Saudi yang lebih moderat dalam pandangan keagamaan mulai muncul dalam pemerintahan Raja Abdullah (2005-2015). Ia melakukan sejumlah reformasi seperti mengangkat perempuan sebagai anggota majelis syuro atau MPR-nya Saudi Arabia. Ia mendorong pendidikan bagi rakyat Saudi dan mendirikan King Abdullah University of Science and Technology (KAUST). Di universitas tersebut mahasiswa laki-laki dan perempuan dalam satu kelas. Hal ini merupakan satu yang baru kerena di seluruh Arab Saudi, siswa laki-laki dan perempuan dipisah. Ulama senior Saudi Arabia Syaikh Dr Saad bin Abdul Aziz bin Nassir Shitri dipecat karena secara publik berkomentar bahwa pencampuran laki-laki dan perempuan dalam kelas adalah haram. Raja Abdullah semasa pemerintahannya mengeluarkan dekrit bahwa hanya ulama senior dan mendapat izin raja yang bisa mengeluarkan fatwa. Hal ini sebagai upaya untuk menghentikan adanya fatwa tidak jelas yang dikeluarkan oleh ulama. Pemerintah Saudi sendiri tampaknya kerepotan dengan keberadaan ulama garis keras.

Jika pemerintah Saudi berusaha memoderatkan negerinya dari para ulama konservatif, para pengikutnya di Indonesia dengan leluasa bergerak dan memanfaatkan keluguan Muslim awam bahwa segala sesuatu yang datang dari Saudi Arabia adalah Islam yang otentik. Pemerintah Indonesia bersikap canggung atas keberadaan ulama-ulama garis keras ini: atas nama demokrasi, seoalah setiap orang boleh berbicara apa saja, termasuk mempertanyakan dasar negara atau membahas masalah khilafiyah dengan cara yang tidak santun. Mereka menghakimi bahwa segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ajarannya sebagai bid’ah, sesat, bahkan kafir.

Kini banyak khutbah di masjid-masjid di perkotaan atau di perkantoran bernada keras. Mereka, para pengikut Islam konservatif ini, secara perlahan berusaha menguasai ruang-ruang publik keagamaan. Para pengambil kebijakan di masjid perkantoran, entah tidak sadar atau sudah menjadi pengikutnya, memfasilitasi kelompok tersebut. Pejabat negara memfasilitasi orang-orang yang merongrong negara dan mempertanyakan dasar-dasar paling fundamental dari negara. Sungguh ironis. (Mukafi Niam)