Risalah Redaksi

Salah Kaprah Memahami Islam Nusantara

Ahad, 29 Juli 2018 | 05:30 WIB

“Islam itu sudah sempurna, tidak perlu embel-embel lagi. Islam Nusantara malah mereduksi makna Islam itu sendiri”.  Demikan di antara ungkapan ketidaksetujuan atas penggunaan istilah Islam Nusantara yang banyak beredar di media sosial. Alasan ini pula yang menjadi salah satu pertimbangan MUI Sumbar yang baru-baru ini menyatakan tidak perlunya Islam Nusantara berada di wilayah Sumatera Barat

Jika alasannya karena Islam sudah sempurna, dan tidak perlu embel-embel lagi, mengapa tak ada keberatan dengan penggunaan istilah Islam Kaffah (berarti ada Islam yang tidak kaffah), Islam Berkemajuan (berarti ada Islam yang tidak berkemajuan), Islam Wasathiyah atau Islam Moderat (berarti ada Islam yang tidak Moderat), dan sederetan istilah lainnya seperti Islam Transformatif, Islam Hadhari, atau Islam Progresif yang coba dikembangkan oleh organisasi masyarakat Islam atau intelektual Muslim? 

Bahkan ada pula yang tampaknya dengan sengaja menulis Islam Nusantara sebagai agama baru. Mereka yang ikut Islam Nusantara dianggap sudah batal keislamannya sehingga harus syahadat ulang. Jelas bagi orang seperti itu, telah merendahkan dirinya sendiri di depan publik sebagai pembuat fitnah dan berita bohong belaka. Mereka yang membagikannya di media sosial tanpa alasan jelas juga menunjukkan literasi digitalnya rendah karena membantu menyebarkan informasi hoaks di dunia maya. 

Media sosial membuat semua orang menjadi setara, siapa pun bebas berkomentar atas masalah apa pun. Mereka yang mengkaji ilmu agama bertahun-tahun dikomentari oleh anak-anak muda bersemangat agama tinggi, tapi minim pengetahuan. Memiliki pengetahuan sepotong-sepotong, yang seharusnya masih harus banyak belajar, tapi mengomentari beragam permasalahan agama. Tak menyadari bahwa dirinya masih belum banyak tahu dan dengan bangganya menjadi pasukan sorak hore kepentingan tertentu. 

Tampaknya ada orang-orang tertentu yang tidak suka dengan Nahdlatul Ulama dan apa yang datang darinya. Apa saja yang datang dari NU, perlu diawasi dan dikritisi. Yang tidak disetujui bukan lagi soal idenya, tetapi dari mana ide tersebut datang. Tapi situasi itu bukan hal yang baru bagi NU. Sejak NU didirikan, beragam dinamika terhadap pandangan keislaman sudah terjadi. Toh, NU tetap tumbuh dan berkembang serta mendapat kepercayaan dari umat. Pandangan-pandangannya makin berterima di masyarakat. Metode-metode dakwahnya bahkan diadopsi oleh mereka yang dulu menentangnya.

Baca:
Sementara NU mengakui keragaman pendapat agama dalam empat mazhab, kelompok-kelompok Islam puritan merasa bahwa hanya pandangannya saja yang benar, hanya Islamnya saja yang berhak masuk surga, hanya kitab tertentu yang boleh dibaca, dan hanya pendapat gurunya saja yang dianggap otoritatif. Tampak penuh semangat dan menarik generasi muda atau orang yang baru bersemangat dalam berislam, mereka bagai meteor yang bersinar terang, tapi kemudian cepat pudar dan akhirnya padam. Zaman telah membuktikan, gerakan-gerakan seperti itu tumbuh dan hilang berganti dengan cepat. 

Mereka yang tidak setuju Islam Nusantara mengkritiknya tanpa merujuk makna yang dikembangkan NU, melainkan membuat definisi sendiri, lalu mengembangkan makna dan tafsir atas definisi yang dibuatnya tersebut. Dari situ Islam Nusantara dikritik dan dan disebutkan sederet kesalahan-kesalahannya atas nama Al-Qur’an dan Sunnah sebagai legitimasinya. Seolah-olah para ulama NU yang membuat konsep Islam Nusantara tak paham agama dan tak merujuk pada Qur’an  dan Hadits. Seolah-olah, hanya tafsirnya saja yang dianggap otoritatif. Menghakimi tanpa melakukan tabayyun atau berdiskusi terlebih dulu. Dengan bangga paling merasa sesuai Qur’an dan Sunnah, sementara para imam pendiri mazhab saja menghargai perbedaan pandangan ulama lainnya. 

Sebagian pengkritik bahkan mengaku tak paham agama secara mendalam tapi merasa menjadi tokoh yang bisa mengomentasi apa saja, termasuk masalah agama hanya berdasarkan logikanya semata. 

Unduh: Hasil Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur tentang Islam Nusantara
Spirit Islam Nusantara adalah penghargaan tradisi lokal yang tidak pertentangan dengan nilai-nilai agama. Di sini, Islam Nusantara kemudian dituduh anti-Arab. Padahal, Islam tidak identik dengan Arab sehingga tradisi lokal yang bersesuaian dengan nilai-nilai Islam harus dihargai dan dikembangkan. Hal ini sudah lama berjalan dan kemudian NU mendefinisikan apa yang terjadi dalam proses dakwah Islam di wilayah Nusantara ini sebagai Islam Nusantara.

Spirit ini layak dikembangkan dalam konteks kekinian ketika Islam berkembang ke seluruh pelosok dunia melalui proses migrasi dan kemudahan komunikasi. Beberapa negara tempat Muslim bermigrasi mengeluhkan soal integrasi Muslim dengan masyarakat lokal. Sikap tertutup seperti ini memunculkan kesan bahwa Islam itu eksklusif. Pesan bahwa Islam adalah agama yang memberi rahmat bagi seluruh alam tidak akan muncul melalui ekslusifitas tersebut 

Bagi Nahdlatul Ulama, masukan dan diskusi untuk membahas Islam Nusantara yang dilakukan dengan baik dan sopan, dengan pendekatan intelektual akan diterima dengan baik. NU memiliki tradisi bahtsul masail yang sangat kuat di lingkungan pesantren dan forum-forum resmi organisasi. Dalam forum itu, perdebatan-perdebatan tentang berbagai tema dilakukan secara terbuka.  Masing-masing menyampaikan argumentasi yang paling otoritatif. Dari situ, pendapat yang paling kuat yang akan disepakati. Kadang, ada ketidaksepakatan terhadap masalah tertentu yang disebut maukuf, yang nantinya akan dibahas lebih lanjut di kesempatan berbeda atau forum lebih tinggi. Konsep Islam Nusantara telah dibahas dalam forum tertinggi NU, yaitu dalam Muktamar ke-33 NU di Jombang, yang merupakan forum tertinggi organisasi.

Beragam konsep pengembangan Islam yang digagas oleh organisasi Islam atau intelektual Islam sesungguhnya memiliki irisan yang kuat. Nilai yang dikembangkan NU, yaitu tawassuth, juga dikembangkan oleh Islam Wasathiyah. NU juga dengan memiliki prinsip menjaga nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik, dan melakukan perbaikan secara terus menerus. Dengan demikian, NU juga mendorong kemajuan. NU juga menghargai dan mengembangkan Islam Berkemajuan. 

Kini kajian Islam Nusantara dikembangkan lebih lanjut di lingkungan perguruan tinggi supaya dihasilkan temuan-temuan baru dan mengembangkan pengetahuan yang sudah ada. Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta telah membuka jurusan pascasarjana program Islam Nusantara untuk strata magister yang sudah berjalan beberapa tahun dan pada 2018 ini, sudah dibuka program’ doktor Kajian Islam Nusantara. Dari situ, konsep Islam Nusantara akan dikaji lebih matang dan lebih komprehensif untuk memberi sumbangan pada peradaban Islam. Dari NU, untuk Indonesia, untuk dunia. (Achmad Mukafi Niam)