Risalah Redaksi

Sampah Makanan dan Makna Puasa Kita

Ahad, 12 Mei 2019 | 10:15 WIB

Sampah Makanan dan Makna Puasa Kita

Ilustrasi (via theheal.ca)

Indonesia, menurut laporan dari Barilla Center for Food and Nutrition menjadi produsen sampah makanan terbesar nomor dua di dunia setelah Arab Saudi. Setiap tahunnya, setiap orang membuat sampah sebanyak 300 kg sementara di Saudi Arabia, per orangnya membuang sampah sebanyak 427 kg. Sementara banyak orang yang kekurangan makanan, yang lainnya dengan gampangnya membuang-buang makanan.

Sampah makanan yang dibuang di Indonesia bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan negara kaya-raya Amerika Serikat dengan jumlah 277 kg per orang per tahun yang dibuang. Negara penguasa dunia ini menduduki urutan nomor tiga dalam hal membuang sampah. Urutan keempat, diduduki oleh Uni Emirat Arab dengan 196 kg.

Yang memprihatinkan bahwa Indonesia bukanlah negara kaya, tetapi menjadi kontributor kedua dalam hal produksi sampah makanan. Di negara ini masih banyak anak-anak yang mengalami stunting atau tubuh pendek karena kekurangan nutrisi. Laporan organisasi pangan dunia FAO menyebutkan 19.4 juta penduduk Indonesia masih mengalami kelaparan karena kemiskinan. Total terdapat 13 juta ton sampah makanan di Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi sebanyak 28 juta orang.  

Tiga dari empat negara yang memproduksi sampah makanan adalah negara dengan Muslim. Tentu saja hal ini bertentangan dengan ajaran Islam yang agar tidak memubazirkan sesuatu karena hal ini sama dengan berteman dengan setan. Tetapi ternyata perilaku umat Islam masih jauh dari nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam. 

Negara Muslim yang kaya terutama berlokasi di Timur Tengah yang kaya akan minyak dan gas. Namun demikian, banyak Muslim di negara lain yang masih menghadapi persoalan mendasar untuk bisa bertahan hidup. Di Yaman yang merupakan tetangga Arab Saudi, jutaan orang mengalami kelaparan karena perang yang hingga kini belum berhenti. Permasalahan yang sama dialami oleh Muslim yang tinggal di benua Afrika.  

Sewaktu kecil, anak-anak diajarkan untuk selalu menghabiskan makanan untuk menghargai pak tani yang telah bersusah payah menanam padi. Atau dikisahkan nasi akan menangis jika tidak dihabiskan. Pada intinya, anak diajarkan untuk makan sesuai dengan porsi yang dibutuhkan sehingga tidak ada yang tersisa. Namun, kini ada budaya yang kurang bagus dalam pertemuan-pertemuan sosial, menghabiskan makanan dipersepsikan sebagai serakah. Hal ini kemudian memunculkan kebiasaan menyisakan sedikit makanan atau minuman untuk memunculkan kesan sebagai orang yang beretika. 

Ukuran piring untuk menampung makanan dalam berbagai pesta atau acara juga cenderung lebih besar. Ini mendorong orang untuk mengambil makanan apa saja yang terlihat menarik, tetapi ketika dicoba ternyata tidak sesuai dengan seleranya. Akhirnya, makanan tersebut terbuang percuma. Penyelenggara pesta juga cenderung menyediakan makanan berlebih karena jika kehabisan makanan, dianggap mengalami sebagai hal yang memalukan.  

Dalam bulan Ramadhan ini, media melaporkan jumlah sampah yang dibuang di Jakarta dan sekitarnya lebih banyak lagi dibandingkan dengan hari-hari biasanya. Hal ini terus berulang dari tahun-tahun sebelumnya. Padahal, Ramadhan adalah bulan untuk menahan diri dengan ikut merasakan lapar dan dahaga sebagaimana yang dialami oleh orang miskin yang kekurangan makanan.

Ada perubahan perilaku di kalangan Muslim terkait dengan puasa. Memang betul bahwa mereka menahan diri untuk tidak makan selama waktu tertentu sebagaimana ketentuan syariat, tetapi kemudian ketika berbuka puasa, maka segala sesuatu dimakan. Seolah-olah, mereka telah mengalami kelaparan yang akut. 

Pada bulan puasa, makanan yang disajikan lebih beragam, lebih berkualitas, dan dalam porsi lebih banyak. Ramadhan telah menjadi sebuah bulan untuk berpesta dengan beragam jenis makanan. Dan ketika perut sudah tidak dapat menampung makanan yang tersedia, maka makanan tersebut berakhir di tong sampah. 

Maka, dalam bulan Ramadhan ini, penting bagi kita untuk kembali melakukan perenungan, sejauh mana kita menjalankan substansi dari ajaran Islam untuk ikut berempati terhadap rasa lapar yang dialami oleh orang miskin. Dari situ, kita akan tergerak untuk lebih peduli kepada mereka. Dan di sisi lain, bagi yang diberi kecukupan rezeki, maka mereka dapat meningkatkan rasa syukurnya kepada Allah. 

Telah ada upaya dari beberapa organisasi untuk memanfaatkan sisa makanan yang terbuang dari ritel, restoran, dan catering untuk mereka yang membutuhkan. Makanan yang dibagikan bukanlah berasal dari sisa piring, tetapi tempat yang belum di makan. Ini tentu langkah yang patut diapresiasi. Namun, yang lebih penting lagi adalah berusaha menyajikan kebutuhan makanan dalam porsi yang tepat. 

Terkait dengan budaya membuang-buang makanan, maka ada banyak hal yang harus dilakukan agar perilaku tersebut dapat dikurangi sampai pada tingkat yang minimal. Kesadaran bahwa tidak menghabiskan makanan berarti menyia-nyiakan sumber daya yang dimiliki harus ditumbuhkan. Sumber daya yang kita miliki hari ini bukan hanya untuk kita nikmati, tetapi merupakan titipan dari anak cucu kita di masa mendatang. (Achmad Mukafi Niam)