Risalah Redaksi

Subsidi BBM, Anggaran Negara untuk Siapa

Sen, 26 Maret 2012 | 14:42 WIB

Adalah tugas negara untuk memberi perlindungan dan mengusahakan kesejahteraan kepada masyarakat. Undang Undang Dasar kita dengan tegas telah menyatakan bumi serta hasil kekayaan alam yang ada dalamnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pertanyaan selanjutnya, siapa yang berhak mendapatkan manfaat ini, tentu saja semuanya rakyat Indonesia berhak, tetapi kelompok masyarakat miskin yang belum mandiri, yang paling membutuhkan uluran tangan dari negara yang seharusnya mendapatkan prioritas.
<>
Dari sinilah akhirnya muncul berbagai program yang ditujukan kepada rakyat miskin dari anggaran negara dalam bentuk subsidi, stimulus, atau program pemberdayaan lainnya. Salah satu yang paling kontroversial belakangan ini adalah subsidi BBM yang sekarang sedang ramai diperbincangkan.

Ketika harga minyak dunia semakin tinggi, jumlah beban anggaran yang dialokasikan untuk subsidi BBM ini semakin besar, apalagi Indonesia sudah menjadi net importir. Persoalan mulai muncul ketika pemerintah merasa keberatan dengan alokasi anggaran yang terlalu besar ini. Timbul pertanyaan, apakah subsidi BBM ini tepat sasaran karena boleh dinikmati oleh siapa saja, termasuk pemilik mobil mewah.

Kelompok yang pro berpendapat, subsidi BBM harus dikurangi atau dicabut karena terlalu membebani anggaran negara, lebih banyak dinikmati kelompok kaya sampai alasan pemborosan energi. Lihat saja kemacetan yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia yang jalan-jalannya dipenuhi oleh mobil.

Industri mobil dari tahun ke tahun terus mengalami pertumbuhan. Pada tahun 2010 jumlah mobil yang terjual mencapai 745.390 unit. Tahun 2011 hampir mencapai 900 ribu unit atau naik lebih dari 18 persen. Tahun 2012 Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menargetkan penjualan sebesar 940 ribu unit dan dalam tahun-tahun selanjutnya, target tentu akan terus meningkat. Jika semua mobil tersebut harus minta subsidi bahan bakar negara, berapa banyak anggaran yang harus disediakan untuk mereka

Sementara itu, kelompok yang menolak kenaikan harga BBM berpendapat hal ini akan menyebabkan bertambahnya jumlah orang miskin, seharusnya ada penghematan di sektor lain, terutama birokrasi yang boros atau alasan jika antara penjualan minyak dan kebutuhan BBM digabungkan, sebenarnya Indonesia masih untung, jadi tidak ada yang namanya subsidi BBM.

Subsidi yang diberikan melalui BBM menyasar semua orang. Orang yang bermobil pun bahkan mendapat nilai subsidi lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memakai sepeda motor. Dengan biaya keekonomian 8.547 per liter, maka subsidi yang diberikan pemerintah adalah 4.047 rupiah jika bensin dijual 4.500 per liter. Para pelaju motor dari pinggiran menghabiskan sekitar 2 liter per hari dalam perjalanan kerjanya sehingga subsidi yang diambilnya adalah 8.094. Para pekerja yang menggunakan mobil dari pinggiran Jakarta menghabiskan sekitar 10 liter bensin atau mendapat subsidi 40.470.

Asian Development Bank (ADB) menyatakan jumlah orang miskin di Indonesia tahun 2010 mencapai 43.1 juta, naik 2.7 juta dari angka tahun 2008  yang jumlahnya hanya mencapai 40.4 juta. Standard pengukuran angka kemiskinan yang digunakan adalah pendapatan per hari sebesar Rp7.800, lebih tinggi dibandingkan angka yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp7.060. Ironis sekali jika ada lebih dari 40 juta rakyat Indonesia yang hidup di bawah 8 ribu perhari sementara kelompok bermobil mengambil hak orang miskin lebih dari 40 ribu per hari.

Tetapi di sisi lain, jika subsidi dicabut, harga-harga berbagai kebutuhan pokok akan meningkat drastis. Jumlah orang miskin atau yang sekarang ini berada pada garis kemiskinan akan terus meningkat dan berbagai persoalan lain akan menyertainya.

Rakyat bukannya tidak mau diajak berhemat jika situasi memang sulit. Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia menunjukkan rakyat bahu-membahu berjuang, bukan hanya harta benda, tetapi rela mempertaruhkan nyawa demi sebuah cita-cita bersama mencapai kemerdekaan karena para pemimpin juga memberi teladan. 

Perilaku para pejabat negara saat ini yang memamerkan gaya hidup mewah dan hedonis di tengah-tengah kemiskinan membuat rakyat tidak percaya akan janji-janji alokasi subsidi BBM benar-benar dimanfaatkan untuk rakyat miskin. Berbagai kasus korupsi dan sandiwara penyelesaiannya menyebabkan rakyat skeptis penguasa bekerja untuk rakyat.
 
Demikian pula, berapa banyak orang kaya yang membayar pajak untuk mendukung pembiayaan anggaran negara. Sampai akhir 2011, tercatat 22 juta wajib pajak, terdiri dari 19,8 juta wajib pajak pribadi, dan sekitar 2 juta badan usaha. Jumlah total kurang dari 10 persen penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta. Terungkapnya kasus mafia pajak menunjukkan upaya wajib pajak menghindar dari kewajibannya. Sungguh ironis, mereka yang miskin semakin sengsara sementara kelompok yang kaya semakin mendapat fasilitas dari negara dan alpa akan kewajibannya.

Inti persoalan adalah bagaimana agar anggaran negara ini mengalir pada kelompok yang tepat, yaitu kaum fakir miskin yang tidak berpunya. bukan pada hitung-hitungan kekurangan dari dana yang sudah dianggarkan tersebut bisa diambilkan dari efisiensi birokrasi, yang mau tidak mau harus dilakukan, atau dari otak atik menyatukan antara penjualan minyak mentah kita dengan konsumsi BBM. Jika sebagian besar kembali mengalir kepada kelompok kaya, apa manfaatnya bagi puluhan juta rakyat miskin.

PBNU pernah mengusulkan penggunaan kartu cerdas untuk menyeleksi mereka yang layak dan tidak layak mendapat subsidi atau berapa kuota yang pantas diperoleh agar tidak muncul pemborosan dalam penggunaan subsidi. Pemerintah juga pernah mewacanakan penggunaan sistem yang sama, tapi tampaknya tidak ada persiapan sehingga dibatalkan dan kembali ke mekanisme lama, menaikkan harga BBM. Pemerintah selalu reaksioner dalam menghadapi situasi global yang tentu berubah-ubah. Jika ada perencanaan jangka panjang untuk mengalokasikan subsidi BBM agar tepat sasaran, tentu ada proses kemajuan yang bisa dievaluasi terus menerus sampai akhirnya penghilangan subsidi kepada yang tidak berhak ini bisa dijalankan dengan lancar dan tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.

Jika alokasi distribusi subsidi tepat sasaran, akan besar sekali manfaat yang bisa diterima oleh rakyat. Ini adalah sebuah pilihan. Bagaimana mencari manfaat terbesar dari dana sebesar 30-40 trilyun dan bagaimana menumbuhkan kepercayaan rakyat agar dana tersebut tersalurkan dengan benar, bukan sekedar dibakar bagi kenyamanan kelompok bermobil, tetapi untuk membiayai sekolah dan pesantren, membangun infrastruktur pertanian dan hal lain yang dianggap bermanfaat.

Menjadi tugas pemerintah untuk melakukan redistribusi yang adil agar harta kekayaan negara tidak berputar-putar di kalangan orang kaya saja. (Achmad Mukafi Niam)