Risalah Redaksi

Suramnya Penjelasan Kenaikan BBM

Sab, 19 Februari 2005 | 12:26 WIB

Benarkah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akan diumumkan pemerintah dalam waktu tidak lama lagi itu  akan berdampak pada menurunnya jumlah penduduk miskin? Kita tidak membutuhkan jawaban yakin atau tidak yakin. Sebaliknya kita harus bertanya bagaimana rapat kabinet terbatas, Jumat (18/2) bisa  menghasilkan pernyataan seperti itu. Kita patut menanyakan kembali penjelasan yang terkesan akademis, tapi cenderung memanipulasi akal pikiran kita. .

Betapa tidak,  Menko Perekonomian Aburizal Bakrie menyatakan, bahwa dengan dana kompensasi atas kenaikan BBM Rp 10 triliun, 36 juta penduduk miskin per orang akan mendapatkan Rp 250 ribu, dan bila dalam satu keluarga penduduk miskin terdiri dari tiga orang, mereka akan  menerima Rp 750 ribu.

<>

Kita tentu mafhum, pernyataan itu tidak dimaksudkan bahwa setelah BBM dinaikkan dalam semester ini, sebanyak 36 juta penduduk miskin akan menerima pembagian uang nominal masing-masing  sebesar Rp 250 ribu secara langsung. Sebab, skema pemerintah dalam mendistribusikan Rp 10 triliun itu bisa dalam bentuk  kompensasi kesehatan untuk orang miskin, atau pendidikan. Dengan skema kompensasi itu,  kita bisa akur alias mendukung. Skema yang seakan berpihak kepada mereka yang tidak berpunya itu tentu menguatkan tujuan utama  kenaikan BBM, yang dinyatakan pemerintah  untuk memindahkan subsidi dari orang kaya ke orang miskin. Terhadap tujuan yang mulia ini tentu saja kita mendukung.  

Namun, kembali kita diusik pertanyaan, apakah uang 250 ribu rupiah tersebut dapat menggantikan tambahan biaya hidup penduduk miskin yang ditekan lonjakan harga – harga kebutuhan hidup  akibat kenaikan harga BBM. Bila dihitung secara seksama, uang sebesar itu tentu tak akan mendongkrak biaya hidup selama 365 hari atau setahun. 

Dampak kenaikan BBM sekali lagi tidak seringan penjelasan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, bahwa bagi orang orang miskin yang berpenghasilan  Rp 1 juta per bulan hanya tinggal mencari tambahan hidup sebesar Rp 20 ribu  per bulan. Jelas tidak!

Kendati demikian, kita justeru menemukan asumsi dasar atas pernyataan pemerintah bahwa kenaikan BBM hingga 50 persen yang disertai kompensasi sebesar 10 triliun rupiah  mendatang akan mampu menurunkan angka kemiskinan dari 16,43 persen menjadi 13,87 persen. Asumsi ini tentu saja dapat dibenarkan bila memang kenaikan biaya total penduduk miskin masing-masing hanya sebesar 2 persen. Kalau hanya 2 persen tentu saja uang kompensasi sebesar 250 rupiah lebih dari cukup selama setahun bagi mereka yang berpenghasilan Rp 1 juta per bulan.

Tapi asumsi dasar yang serba matematis dan akademis itu bukan hanya tidak tepat, melainkan  salah kaprah dan cenderung menipu kita. Karena sebenarnya dampak kenaikan BBM, meski minus minyak tanah, spektrumnya tetap saja luas.

Dengan kenaikan harga komponen energi itu, biaya produksi sektor pertanian akan naik. Beras, jagung, tepung juga akan naik. Lauk-pauk, seperti ikan, tahu, tempe, dan telur pasti naik.  Sayur-sayuran, seperti cabe, labusiyem, daun singkong, kubis, tomat, kacang-kacangan, dan palawija juga akan naik seiring naiknya komponen transportasi, pupuk, pengairan, bibit dan buruh tani. Akibatnya, untuk 1 porsi makanan paling sederhana, sayur sop, dan tahu tempe, kita bisa perkirakan dari Rp 4 ribu mungkin akan naik menjadi Rp 5 ribu, itu pun untuk makan di Warteg, bukan di rumah makan menengah ke atas.

Tukang becak, yang mungkin banyak tidak mengerti hitungan matematis kenaikan BBM, kalau biasa makan 1 porsi hanya dengan mengganti  Rp 4 ribu, kemudian harus naik Rp 5 ribu, ditambah dengan naiknya harga sabun mandi, dan sabun cuci tentu saja tanpa disuruh, mereka akan menaikkan ongkos becaknya, dari 3 ribu rupiah jarak dekat jadi 4 ribu rupiah.

Juru bicara Electronics Marketer Club (EMC) Stefanus Indrayana malah mengatakan kenaikan harga BBM sekitar 30 persen akan memicu  harga produk elektronika naik 4 hingga 5 persen. Padahal, rencana kenaikan BBM sebagaimana dimuat di Harian Bisnis Indonesia akan mencapai hingga 50 persen. Selain elektronik, menurut pengakuan Direktur PT Food Station Tjipinang Jaya, kenaikan harga beras tak akan terelakkan begitu harga BBM naik. “Kami kira biaya transportasi untuk kepentingan distribusi akan naik, sehingga akan memberikan dampak kenaikan harga beras,” katanya.

Sektor perikanan, menurut Presdir PT Perikanan Samodra Besar H.M.P. Batubara, kenaikan harga BBM akan memukul usaha perikanan karena sumbangan BBM untuk sektor ini mencapai 60 persen. Bahkan, bila kita amati, hampir semua iklan yang dipajang pengembang perumahan rakyat, telah merencanakan kenaikan harga rumah untuk tanggal 15 Februari dan 22 Februari, dengan kenaikan rata-rata 20-30 persen. 

Dampak