Risalah Redaksi

Wali Songo, Lebih dari Sekedar Keyakinan Masyarakat

Sel, 24 Juli 2012 | 00:01 WIB

Salah satu yang berbeda dari buku “Atlas Wali Songo” adalah tidak dimasukkannya Syekh Maulana Malik Ibrahim ke dalam barisan Wali Songo atau sembilan wali penyebar agama Islam di Nusantara. Seorang warga Gresik, Jawa Timur pun dibuat risau.<>

“Tidak memasukkan Maulana Malik Ibrahim sebagai bagian Wali Songo justru merusak sendi-sendi warga NU dan merisaukan hati warga NU terutama NU Jatim, khususnya lagi NU Gresik. Saya harap buku ini bisa direvisi di edisi revisi,” kata Faisol, warga Gresik, dalam surat elektroniknya kepada redaksi NU Online tertanggal 9 Juli 2012.

Menanggapi kerisauan Faisol, penulis “Atlas Wali Songo” Agus Sunyoto menjawab enteng. Katanya, pandangan masyarakat silakan berkembang.

“Fakta sejarah itu tidak harus selalu sama dengan pandangan umum. Justru yang sekarang berkembang ini adalah pandangan masyarakat. Dan pandangan masyarakat tidak selalu berdasar fakta sejarah, jadi tidak diakui secara akademis,” tambahnya.

Menurut Agus Sunyoto, Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat pada 1419 M, dan pada Saat itu Sunan Ampel, wali tertua kedua dalam tradisi ziarah Wali Songo belum dilahirkan, atau kalau pun sudah lahir, ia masih dalam keadaan bayi. 

“Bukti sejarah menyebutkan bahwa pada tahun 1440 usia Sunan Ampel belum berumur 20 tahun,” katanya. Jadi secara nalar tidak mungkin Syekh Maulana Malik Ibrahim berada satu mimbar dengan Sunan Ampel untuk membahas strategi penyebaran Islam.

Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak masuk dalam kategori Wali Songo, namun menjadi bagian penting dari penyebaran Islam tahap pertama, seperti juga Fatimah binti Maimun, Syekh Wasil dan beberapa ulama lain semasanya. Ada banyak ulama pra Wali Songo yang dikupas dalam atlas itu. Makam para penyebar Islam itu diziarahi oleh umat Islam setiap hari.

Sejarah Wali Songo memang cukup rumit. Sunan Muria, anak Sunan Kalijaga malah hidup pada tahun 1500-an, agak jauh dari masa Sunan Ampel. Beberapa peneliti menyebutkan Wali Songo merupakan sebuah dewan yang beranggotakan sembilan ulama. Jika salah seorang meninggal, maka digantikan oleh yang lain. 

Dalam “Atlas Wali Songo” Agus berkesimpulan bahwa Wali Songo baru muncul setelah Sunan Ampel. Sebelum itu belum ada dewan atau semacamnya yang bernama Wali Songo. Dalam buku itu juga disebutkan dua orang lagi yang masuk dalam kategori Wali Songo, yakni Syekh Siti Jenar dan Raden Fatah.

Usaha Agus Sunyoto adalah menyajikan Wali Songo sebagai fakta sejarah. Adapun kepercayaan masyarakat biarlah tetap berkembang seperti apa adanya.

Ia mengaku prihatin beberapa kalangan cendekiawan muslim meragukan aspek kesejarahan para penyebar Islam di Nusantara ini. Dalam pengantar bukunya, misalnya, sejarawan ini menyangkan tidak adanya entri Wali Songo Ensiklopedi dalam Islam yang berjilid-jilid terbitan Ichtiar Baru van Hoeve.

Yang agak lucu, dan sempat disindir dalam bedah buku “Atlas Wali Songo” di gedung PBNU, Jakarta 5 Juli lalu, aspek kesejarahan Wali Songo ini juga digugat secara terang-terangan dalam berbagai karya tulis para akademisi dari kampus-kampus Islam yang memakai nama Wali Songo dan tokoh-tokohnya sebagai nama kampus mereka.

Dan barangkali perjuangan Agus Sunyoto tidak sia-sia. Tak kurang arkeolog kenamaan dari Universitas Indonesia Mundardjito memberikan apresiasi yang cukup bagus terhadap karyanya. Harian umum Kompas (6/7) juga tak segan mengebut “Atlas Wali Songo” sebagai buku pertama yang menuliskan Wali Songo sebagai fakta sejarah. 

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengaku bangga dengan sejarawan NU yang satu ini. Saat mengikuti bedah buku, ia duduk tenang dan membuka baris-perbaris “Atlas Wali Songo”. Tidak biasa ia menunggui forum diskusi sampai berjam-jam. Kang Said dikenal sangat mahir berbicara sejarah Islam, bahkan ia hapal di luar kepala genealogi (sanad) keilmuan para tokoh NU sampai ke Rasulullah, bahkan sampai Nabi Adam. Namun untuk urusan sejarah Wali Songo, ia hormat kepada Agus Sunyoto.  (A. Khoirul Anam