Rif'an Haqiqi
Kolomnis
Bagi kebanyakan orang, empat kitab Sunan, Sunan An-Nasa’i, Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzi, dan Sunan Ibn Majah) berada pada strata yang sama. Namun, bagi pengkaji ilmu hadits, Sunan An-Nasa’i terkesan berada di level yang berbeda dengan tiga kitab Sunan lainnya. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam An-Nukat-nya membuat kesimpulan demikian:
وفي الجملة فكتاب النسائي أقل الكتب بعد الصحيحين حديثا ضعيفا ورجلا مجروحا ويقاربه كتاب أبي داود وكتاب الترمذي ويقابله في الطرف الآخر كتاب ابن ماجه فإنه تفرد فيه بإخراج أحاديث عن رجال متهمين بالكذب وسرقة الأحاديث
Artinya, “Secara umum, kitab An-Nasa’i adalah kitab paling sedikit memuat hadits dan perawi lemah setelah Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Kitab Abu Dawud dan At-Tirmidzi kualitasnya mendekati kitab An-Nasai dalam hal ini. Kitab Ibn Majah berbanding terbalik dengan kitab An-Nasa’i, karena Ibn Majah meriwayatkan hadits-hadits dari perawi yang dicurgai sebagai pendusta dan mencuri hadits.” (Ibn Hajar, An-Nukat ‘ala Ibnish Shalah [Madinah: Kerajaan Arab Saudi, 1984], juz 1, halaman 484-485).
Bahkan beberapa ulama pakar hadits secara terang-terangan mengatakan bahwa An-Nasai lebih ketat dalam menilai kredibilitas perawi dibanding Al-Bukhari dan Muslim. Di antara pakar tersebut adalah Adz-Dzahabi dalam Siyar-nya. Hal ini menambah rasa penasaran dan ketertarikan untuk menelusuri profil An-Nasa’i. (Adz-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’ [Beirut: Mu’assasah Ar-Risalah, 1983], juz XVI, halaman 131).
Kelahiran Imam An-Nasai
Pakar hadis besar ini bernama Ahmad bin Syu’aib. Ia lahir di kota Nasa, Khurasan. Mengenai tahun kelahirannya, An-Nasa’i memperkirakan bahwa ia lahir sekitar tahun 215 Hijriah seperti yang dikutip dalam Tahdzibul Kamal. Setelah selesai belajar tentang dasar-dasar agama, ia memulai pengembaraan ilmunya dengan pergi ke Baghlan pada usia 15 tahun. Di sana ia belajar kepada Qutaibah bin Sa’id selama satu tahun dua bulan. Setelah itu An-Nasa’i berkeliling ke berbagai negeri muslim seperti kota-kota di Khurasan, Hijaz, Iraq, Syam, dan Mesir, di tempat inilah akhirnya An-Nasa’i tinggal dan para ulama pakar hadits dari berbagai negeri datang untuk belajar padanya. Di sana, ia didaulat menjadi seorang Qadhi, jabatan yang juga ia emban ketika di Homs, Syiria. Hal ini sekaligus menunjukkan kedalaman ilmu An-Nasa’i dalam bidang fikih.
(Al-Mizzi, Tahdzibul Kamal [Beirut: Mu’assasatur Risalah, 1980], juz 1, halaman 338).
(Adz-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’, juz 14, halaman 125, 127-128, 132).
Guru dan Murid
An-Nasai dikenal sebagai ulama yang banyak keliling ke berbagai negeri. Karena hal ini serta karena ketokohannya, beberapa ulama penulis kitab sejarah kota dan negeri tertentu, memasukkan biografinya sebagai bagian dari sejarah kota atau negeri tersebut. misalnya Ibn Yunus dalam Tarikhul Ghuraba’ alladzina Nazalu Mishra, Al-Maqrizi dalam Al-Muqaffal Kabir, Al-Hakim dalam Tarikh Naisabur, Ibn An-Najjar dalam Tarikh Baghdad, dan Taqiyuddin Al-Fasi dalam Al-‘Iqduts Tsamin.
Dalam pengembaraannya tersebut, ia belajar banyak ilmu -khususnya yang berkaitan dengan hadits- pada banyak ulama. Syarif Hatim Al-‘Auni mencatat total guru An-Nasa’i mencapai 457. Banyak nama-nama besar yang tercatat menjadi gurunya. Ia belajar ilmu kritik hadits (naqdul hadits) pada Al-Bukhari, Abu Dawud, Abu Hatim Ar-Rozi, Abu Zur’ah Ar-Rozi, Ishaq bin Rohuwaih, dan selainnya. Belajar ilmu qira’at pada Ahmad bin Nashr An-Naisaburi dan Shalih bin Ziyad As-Susi. Belajar ilmu lughat pada Abu Hatim As-Sijistani. Ia juga belajar fikih dari murid-murid para imam mujtahid, seperti Muhammad bin Abdul Hakim dan Yahya bin Abdul Hakim (murid Imam Malik), Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, Yunus bin Abdul A’la (murid Imam Syafi’i), dan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, murid sekaligus putra Imam Ahmad bin Hanbal.
Dididik oleh nama-nama besar, menjadi orang besar, dan mencetak nama-nama besar, sehebat itu silsilah keilmuan An-Nasa’i. Tercatat beberapa muridnya yang menjadi ulama besar. Seperti Abu ‘Awanah, Al-‘Uqaili, Abu Ja’far Ath-Thahawi, Abu ‘Ali An-Naisaburi, Ibn Yunus, dan masih banyak lagi. Bagi pengkaji ilmu hadits, nama-nama tersebut tentu cukup populer. Kita dengan mudah akan mendapati kesaksian tentang kehebatan para murid An-Nasa’i tersebut dalam kitab-kitab biografi para tokoh, seperti Siyar-nya Adz-Dzahabi, semua nama yang telah penulis sebut diberi gelar Al-Hafizh oleh Adz-Dzahabi. (Hatim Al-‘Auni, Tasmiyyatu Masyayikhin Nasa’i [Makkah: Daru ‘Alamil Fawa’id, 2002], halaman 10-13).
Strata Ilmiah
Untuk mengetahui tingkat keilmuan An-Nasai dapat kita telusuri melalui kesaksian ulama yang satu kurun atau ulama yang mendalami karya-karya An-Nasa’i sendiri. Adz-Dzahabi mengutip sebuah kisa yang menunjukkan tingginya tingat keilmuan An-Nasa’i dalam bidang hadits. Suatu ketika An-Nasai mengunjungi kota Tarsus, di sana telah berkumpul para pakar hadits dari Baghdad, di antaranya adalah Abdullah, putra Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu mereka berunding menentukan siapa yang akan melakukan intiqa’usy syuyukh (menyeleksi hadits-hadits dari para perawi terdahulu) untuk kemudian dibacakan dan diperdengarkan bersama-sama. Lalu para ulama tersebut sepakat menunjuk An-Nasa’i.
Kepakaran An-Nasai dalam ilmu hadits tidak berhenti pada meriwayatkannya saja, namun mencakup seluruh ilmu yang berkaitan dengan hadits, termasuk fiqhul hadits yang telah penulis singgung sebelumnya. mengenai fiqhul hadits, Al-Hakim mengomentari:
كلام النسائي على فقه الحديث كثير، ومن نظر في سننه تحير في حسن كلامه
Artinya, “An-Nasai banyak berbicara tentang fiqhul hadits, siapapun yang membaca Sunan-nya akan takjub dengan keindahan kalamnya.”
Kitab Sunan sendiri adalah bukti nyata dari kepakaran An-Nasa’i dalam melakukan istinbath dengan sebuah hadits dari berbagai arah. Ad-Daruquthni juga berkomentar “Pendapat An-Nasa’i dalam bidang hadits lebih unggul daripada pendapat siapapun ulama yang semasa dengannya”. Bahkan, Adz-Dzahabi tanpa ragu membuat sebuah statemen:
هو أحذق بالحديث وعلله ورجاله من مسلم ومن أبي داود ومن أبي عيسى وهو جار في مضمار البخاري وأبي زرعة
Artinya, “An-Nasai lebih mahir dari Muslim, Abu Dawud, dan Abu ‘Isa (At-Tirmidzi) dalam bidang hadits, ilmu ‘illat hadits, dan ilmu rijalul hadits. Dia (An-Nasa’i) satu level dengan Al-Bukhari dan Abu Zur’ah”. (Adz-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’, juz 14, halaman 130-133).
Wafat
Suatu hari, An-Nasai melakukan perjalanan, ia singgah di Damaskus. Pada waktu itu, banyak penduduk Damaskus yang berpaham Nashibi (pendukung Mu’awiyyah). Ia diminta meyebutkan hadits hadits keutamaan Mu’awiyyah, namun An-Nasai menjawab:
ألا يرضى رأسا برأس حتى يفضّل
Artinya, “Apakah Mu’awiyyah tidak rela hingga harus diutamakan?”
Jawaban itu spontan menyulut amarah orang-orang yang bertanya, lalu mereka memukuli An-Nasai. Sampai di sini, kemudian ada dua versi cerita. Pertama, menurut Ad-Daruquthni, setelah mendapatkan siksaan, An-Nasai meminta dibawa ke Makkah, kemudian ia wafat di Mekkah dan dimakamkan di antara Shafa dan Marwah. Kedua, menurut Ibn Yunus (murid An-Nasa’i), setelah disiksa kemudian An-Nasa’i dibawa ke Ramla, Palestina dan wafat di sana. Adz-dzahabi menilai versi kedua ini lebih sahih karena dituturkan oleh murid An-Nasa’i langsung yang mana lebih tahu tentang gurunya. Pakar hadits terkemuka ini menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 303 H. (Adz-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’, juz 14, halaman 132-133).
Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menerima dan Menghargai Hasil Pilkada Sebagai Musyawarah Besar Rakyat
2
Khutbah Jumat: Daerah Berkah dengan Karakter Memimpin Ala Rasulullah
3
Gus Hilmy dan NU Online Gelar Lomba Menulis Khutbah Jumat, Berikut Link Pendaftarannya
4
Kronologi Penembakan terhadap Guru Madin di Jepara Versi Korban
5
Penentuan Wilayah Hukum dalam Awal Bulan Hijriah Harus Bisa Dipertanggungjawabkan Secara Ilmiah
6
Prof Kamaruddin Amin Terpilih sebagai Ketua Umum PP ISNU 2024-2029
Terkini
Lihat Semua