Tokoh

KH Muhammad Ilyas Ruhiat, Rais Aam Mendampingi Gus Dur Periode Ketiga

Sen, 6 Januari 2020 | 15:00 WIB

KH Muhammad Ilyas Ruhiat, Rais Aam Mendampingi Gus Dur Periode Ketiga

KH Muhammad Ilyas Ruhiat

KH Ilyas Ruhiat dilahirkan hari Ahad, 12 Rabiul Awwal 1352 H atau 31 Januari 1934. Konon namanya sebagai tafa’ul terhadap tokoh muda pesantren yang tengah naik daun saat itu, KH Muhammad Ilyas, salah seorang tokoh NU yang pernah menjabat Menteri Agama dalam tiga periode.  

Sejak kecil, Ilyas dididk orang tuanya sendiri, Ajengan Ruhiat, perintis pesantren Cipasung yang termasuk pelopor masyarakat Tasimalaya dalam menghadang imperialisme penjajahan Belanda. Sehingga  sang ayah pada 17 November 1941 beliau ditangkap dan ditahan bersama ulama terkemuka, KH Zainal Mustofa di Penjara Sukamiskin dan dibebaskan 10 Januari 1942.  

Dalam usia belia, yaitu 15 tahun Ilyas harus menggantikan ayahnya mengajar karena sang ayah dipenjara di Sukamiskin pada masa agresi Belanda II. Karena itulah Ilyas tidak pernah belajar di luar Pesantren Cipasung. Apalagi setelah ayahnya wafat pada tahun 1977 karena kepemimpinan pesantren jatuh ke tangannya. Kesempatan belajar di luar pesantren ia dapatkan melalui sejumlah kursus, kuliah jarak jauh, otodidak, dan mengikuti berbagai forum ilmiah. 

Ilyas memulai karirnya di organisasi NU sejak 1954, ketika terpilih sebagai ketua NU Cabang Tasikmalaya. Saat itu ia merangkap ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Jawa Barat. Tahun 1985-1989, ia menjadi wakil rais Syuriah NU Jawa Barat. Tahun 1989, saat muktamar NU di Krapyak, Ilyas terpilih menjadi salah seorang rais Syuriah PBNU. Puncaknya, tahun 1994, pada muktamar ke-29 NU yang berlangsung di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, ia terpilih menjadi Rais Aam PBNU mendampingi KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU. 

Selain di NU, ia juga pernah menjadi salah seorang ketua MUI Pusat dan anggota DPA. Sebelumnya ia menjadi anggota MPR sebagai utusan dari Jawa Barat. Dalam setiap acara yang diikutinya, Ajengan Ilyas selalu datang tepat waktu dan pulang setelah acara ditutup. Hanya di Muktamar Lirboyo (1999) Ajengan Ilyas tidak mengikuti kegiatan sampai selesai. Dan sejak itu beliau mulai sering sakit-sakitan.

Sejak Muktamar NU Lirboyo 1999, Kiai Ilyas atau Ajengan Ilyas memilih kembali mengajar di pesantrennya di lereng Gunung Galunggung, Cipasung. Pesantren tersebut, di Jawa Barat adalah salah satu kiblat pendidikan. Sejak didirikan pada 1931 oleh Ajengan Ruhiat, menggunakan sistem ngalogat Sunda. Pengajian untuk santri, baik dalam membacakan makna kata per kata dalam kitab berbahasa Arab maupun dalam penjelasannya, menggunakan bahasa Sunda. Padahal pada saat itu, hampir semua pesantren di tatar Priangan menggunakan bahasa Jawa. Menggunakan bahasa Sunda adalah memperkuat rintisan yang sudah dimulai oleh Ajengan Sobandi Cilenga Singaparna. Alumni Cipasung bisa dipastikan memiliki dua ciri yaitu ngalogat Sunda dan NU. Maka, tidak mengherankan kalau Cipasung menjadi basis pendukung NU hingga sekarang. 

Ajengan Ilyas adalah sosok yang sangat santun, lembut, mengayomi, dan menebarkan aura kesejukan. Kepribadiannya mencerminkan tipikal ulama NU sejati: penuh toleransi, bersahaja, dan gandrung pada kedamaian. Ada dua hal yang sangat dicintai Ajengan Ilyas, pesantren dan NU. Oleh karena itu, istrinya, almarhumah Dedeh Fuadah, sering berseloroh bahwa dirinya hanyalah istri yang ketiga. 

Ajengan Ilyas adalah pejuang yang sederhana. Ia bukan orator yang bisa membakar massa di podium. Ia bukan pula penulis yang piawai merangkai bunga-bunga kata. Ia berbicara secara bersahaja. Ia pun menulis dengan kalimat sederhana. Ia adalah guru yang ingin agar murid-muridnya mudah menangkap apa yang diterangkannya. Dengan ketulusan dan kesederhanaan itulah dia berjuang. Ajengan KH Muhammad Ilyas Ruhiat wafat pada Selasa 18 Desember 2007 M dalam usia 73 tahun.
 
Penulis Abdullah Alawi
Editor: Alhafiz Kurniawan