Warta PENENTUAN AWAL SYAWAL (9)

Beda Penentuan tapi Tetap 1 Syawal

NU Online  ·  Sabtu, 21 Oktober 2006 | 10:43 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof Dr Said Aqil Siradj mengatakan, perbedaan penentuan waktu penyelenggaraan Hari Raya Idul Fitri seharusnya tak mesti menjadi masalah, selama ditetapkan pada 1 Syawal. “Kalau ada yang berpendapat bahwa Idul Fitri itu 2 Syawal atau 3 Syawal, itu baru masalah,” katanya kepada NU Online di Jakarta, Sabtu (21/10).

Kang Said, demikian panggilan akrab Said Aqil Siradj, mengatakan hal itu menyusul kemungkinan besar penyelenggaraan Idul Fitri tahun ini berbeda. NU, memperkirakan 1 Syawal jatuh pada Selasa, 24 Oktober, meski harus melewati proses rukyat (melihat bulan) terlebih dahulu. Sementara, Muhammadiyah, melalui metode hisab(perhitungan astronomi)-nya, jauh hari telah menetapkan 1 Syawal jatuh pada Senin, 23 Oktober.

<>

Menurut Kang Said, yang menyebabkan hal itu adalah perbedaan metode yang digunakan saja. “Muhammadiyah pakai hisab, kalau NU (menggunakan, red) rukyat. Tapi NU sebetulnya juga menggunakan hisab, yang lebih utama adalah rukyat. Jadi, jangan dikira NU nggak bisa hisab,“ terangnya.

NU, katanya, meski dalam hitungan hisab-nya sudah ada, tapi tetap memerlukan pembuktian dalam penentuannya, yakni melalui proses rukyat. Jika proses tersebut tidak berhasil, maka dilakukan istikmal, yakni menggenapkan usia bulan menjadi 30 hari. “Jadi, puasanya digenapkan menjadi 30 hari. Itu kalau tidak berhasil melihat bulan,“ ujarnya.

Perbedaan-perbedaan tersebut, menurut Kang Said, tak hanya terjadi di Indonesia saja. Di luar negeri, terutama negara-negara berpenduduk mayoritas muslim pun mengalami hal yang sama. “Di Saudi Arabia dan Yaman, itu menggunakan metode rukyat. Kalau di Mesir dan Yordania pakai metode hisab,“ jelasnya.

Oleh karena itu, lanjut Kang Said, pemerintah tak bisa memaksa NU dan Muhammadiyah serta sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam lainnya dalam penentuan awal bulan Syawal tersebut. Masing-masing ormas memiliki metode dan pola pikir yang berbeda dalam penentuan tersebut.

Peran pemerintah pun, menurut Kang Said tidak terlalu banyak. Dalam hal ijtihadiah (sifat hukum yang berkembang), seperti halnya penentuan 1 Syawal ini, katanya, pemerintah tak bisa memaksa masyarakat. Kecuali hal-hal yang bersifat qoth’iyah (sifat hukumnya pasti), imbuhnya, baru diperlukan peran pemerintah.

“Misalkan, kalau ada orang shalat dengan Bahasa Indonesia, itu qoth’iyah, perlu campur tangan pemerintah. Tapi kalau penentuan 1 Syawal, ini persoalan ijtihadiah, maka pemerintah tak bisa memaksa. Pemerintah nggak bisa memaksa masyarakat untuk sama semua,” terang Kang Said. (rif)