Warta

Ketua MK: Idealkan Demokrasi tapi Tak Suka Perbedaan Pendapat

Sab, 16 Juni 2007 | 11:56 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan, perilaku berdemokrasi bangsa Indonesia belum sesuai dengan demokrasi itu sendiri. Ia menilai, bangsa Indonesia belum bisa menerima adanya perbedaan pendapat sebagaimana syarat utama tegaknya demokrasi itu.

“Kita ini mengidealkan demokrasi, tapi kita nggak suka perbedaan pendapat,” kata Jimly saat menjadi narasumber pada Diskusi Interaktif di Kantor Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Sabtu (16/6).

<>

Diskusi bertajuk “Implementasi Reformasi Konstitusi terhadap Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia” itu juga dihadiri Anggota DPR RI Lukman Hakim Saifuddin dan Ketua Umum PP GP Ansor yang juga mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Saifullah Yusuf.

Menurut Jimly, proses berdemokrasi yang belum mapan tersebut, salah satunya merupakan akibat masih adanya jarak yang cukup lebar antara hukum yang ada dengan dengan perilaku rakyat Indonesia sendiri. Pengetahuan dan kesadaran rakyat di negeri ini terhadap aturan hukum yang ada, belum sesuai.

Karena itu, tambahnya, agenda besar yang harus dilakukan oleh seluruh elemen bangsa, adalah pendidikan dan sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan tersebut, utamanya atas Undang-undang Dasar (UUD) 1945 setelah empat kali diamandemen.

“Kalau peraturan perundang-undangan lain, seperti Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, boleh diserahkan pada ahlinya; sarjana hukum atau pakar hukum. Tapi kalau UUD tidak bisa, karena itu berkaitan dengan kontrak sosial. Setiap individu rakyat Indonesia, berkepentingan dan berhak tahu,” terang Jimly.

Dalam kesempatan itu juga, ia menjelaskan, terdapat perbedaan yang cukup berarti antara UUD 1945 hasil amandemen dengan UUD 1945 sebelum amandemen. Menurutnya, UUD 1945 hasil amandemen jauh lebih konkret dan terperinci serta mengatur semua kepentingan masyarakat.

“Kalau konstitusi yang dulu ‘kan terlalu indah untuk diterangkan dan dijelaskan, sulit untuk diterapkan. Konstitusi yang sekarang jauh lebih konkret,” jelasnya.

Meski demikian, ia kembali menegaskan, proses atas reformasi konstitusi tersebut belumlah selesai. Amandemen terhadap UUD 1945 baru saja selesai. Sementara, lanjutnya, hal yang lebih penting adalah bagaimana reformasi konstitusi tersebut dipahami dengan cara yang sama, terutama oleh para penyelenggara negara. (rif)