Warta

Melihat Semangat Islam Melalui Besarnya Masjid

Jum, 8 Februari 2008 | 01:40 WIB

Makassar, NU Online
Jika anda melakukan perjalanan ke Sulawesi Selatan, akan terlihat di sepanjang jalan masjid-masjid dengan ukuran yang sangat besar, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang menghuni daerah tersebut. Masjid di desa bisa seukuran masjid jami di kecamatan dan masjid di tingkat kecamatan bisa seukuran masjid di jami di kabupaten dibandingkan dengan yang ada di pulau Jawa.

Konsep awal pembuatan masjid ini memang berbeda. Saat pembangunan, masjid dibuat dalam ukuran jamaah sholat Idul Fitri atau Idul Adha yang memang selalu lebih banyak dibandingkan dengan sholat Jum’at, yang menjadi ukuran membangun masjid di pulau Jawa.

<>

“Mereka keheranan mendengar cerita di Jawa, jamaah sholat Jum’at selalu membludak, sampai masjid-masjid penuh. Ternyata bukan karena jamaahnya jauh lebih banyak, tetapi karena ukuran masjidnya yang lebih kecil dari rata-rata masjid di Sulawesi Selatan” tutur Ainun Jariah Syabri, seorang mahasiswa asal Sulsel yang sedang belajar di Jogja.

NU Online yang beberapa kali mengikuti Jum’atan di sejumlah masjid di Kab. Pangkep (Pangkajene dan Kepulauan) memang melihat bahwa saat sholat jum’at memang banyak masjid yang tidak penuh, bukan berarti masyarakat tidak sholat Jum’at, tetapi sekali lagi, ukuran masjid memang dibuat untuk menampung jamaah sholat hari raya. Rata-rata hanya menampung setengahnya dan jika masjidnya berlantai dua, lantai atasnya selalu kosong.

Untuk sholat lima waktu, jumlah jamaah bisa semakin sedikit, bahkan jika sholat subuh, satu shof saja tidak penuh. Masyarakat lebih suka menjalankan ibadah bersama keluarga di rumahnya masing-masing.

Berbeda juga dengan di Jawa Timur yang sempat penulis lihat dimana banyak kaum perempuan yang mengikuti sholat jum’atan, dari empat kali mengikuti jum’atan di sejumlah wilayah di Pangkep, jamaah perempuan mengikuti sholat jum’at belum menjadi tradisi.

Masyarakat memang memiliki ghirah atau semangat yang tinggi untuk membangun masjid. Mereka berswadaya membangun masjidnya tanpa bantuan fihak lain, cukup dari komunitasnya sendiri, tak perlu meminta bantuan di jalan-jalan seperti di Jawa yang kadangkala menganggu kelancaran lalu lintas.

Masjid Nurul Huda di desa Mattiro Kanja pulau Sabutung untuk membangun menaranya saja menghabiskan ongkos 500 juta, yang ditanggung oleh seluruh warga. Entah berapa besar jumlah biaya untuk bangunan utamanya? Jumlah 500 juta itu sudah bisa untuk membangun masjid di sebuah desa di Jawa dan untuk mengumpulkan dana senilai itu, diperlukan waktu yang sangat lama.

Terkadang, masjid yang dimiliki oleh desa lokasinya bisa berdampingan, berjarak hanya beberapa meter, karena masing-masing masjid terletak di perbatasan desanya seperti Masjid Ar-Rahman di kampung Erasa dengan Masjid H. Andi Sewang Karaeng Muntu di kampung Pallabbiang di Kec. Labbakkang Pangkep yang jaraknya hanya sekitar 200 meter. Masing-masing warga desa memang berprinsip bahwa mereka harus memiliki masjid dan harus bagus. Tak masalah rumah mereka sederhana, tetapi masjid harus bagus, sebagai wujud semangat mereka dalam menjalankan ajaran Islam.

Saat menjelang subuh atau maghrib, masjid-masjid juga mengumandangkan tarhim untuk mengingatkan masyarakat agar bersiap-siap untuk menunaikan sholat berjamaah.

Umat Islam di Sulsel memang terus berusaha meningkatkan pengamalan ajaran Islamnya. Berbagai upaya terus dilakukan. Jika di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) menyebut dirinya sebagai Serambi Mekkah, orang Sulsel menyebut dirinya sebagai Serambi Madinah. (mkf)