Warta

PBNU: Kepastian Awal Ramadhan Masih Menunggu Hasil Rukyat

Kam, 21 September 2006 | 07:07 WIB

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Lajnah Falakiyah NU (LFNU) belum bisa memberikan kepastian datangnya awal Ramadhan 1927 H. Penetapan tanggal 1 Ramadhan baru bisa dilakukan setelah dilakukan rukyatul hilal (melihat bulan) pada Jum’at petang tanggal 22 September 2006 M bertepatan dengan tanggal 29 Sya’ban 1927.

Bardasarkan hasil hisab (perhitungan astronomis) dalam Almanak PBNU Tahun 2006 M yang diterbitkan oleh LFNU, pada Jum’at Pahing, 22 September 2006, pukul 18:41, tinggi hilal (bulan) hanya -1o 07’ 30” (min satu derajat 7 menit dan 30 detik).

<>

Sementara dalam rukyatul hilal, bulan dikatakan terlihat atau sudah mencapai visibilitas pengamatan (imkanur rukyat) hanya jika berada pada 2 derajat atau lebih. Berdasarkan perhitungan ini, awal Ramadhan jatuh pada hari Ahad Wage, 24 September 2005, dan umat Islam pada hari itu wajib memulai puasa.

“Namun kita tidak bisa memberikan keputusan sebelum rukyatul hilal yang dilakukan di berbagai titik di Indonesia. “Pos Informasi utamanya tetap di PBNU atau LFNU,” kata Nahari Muslih, Sekretaris Pengurus Pusat LFNU, dihubungi NU Online di Jakarta, Kamis (21/9).

Jika dalam rukyatul hilal ditemukan bahwa tinggi bulan mencapai dua derajat lebih maka awal Ramadhan jatuh pada hari Sabtu (23/9), berarti bulan Sya’ban tahun ini hanya 29 hari. Namun, dikatakan kemungkinan ini sangat kecil sekali.

Menteri Agama (Menag) M Maftuh Basyuni sebelumnya menyatakan, berdasarkan metode hisab, semua ormas Islam seperti NU, Muhamadiyah dan Persis sepakat bahwa tanggal awal bulan Ramadhan itu jatuh pada hari Minggu, tanggal 24 September 2006.

Namun demikian, lanjut Menag, karena  penetapan 1 Ramadhan maupun 1 Syawal 1427 Hijriah (Idul Fitri) dilakukan dengan dua cara yakni sistem hisab dan ru’yah (melihat hilal atau bulan baru) maka pemerintah melaksanakan sidang itsbat melalui perpaduan sistem hisab dan ru’yah.

Beberapa ormas Islam di Indonesia seperti Muhammadiyah dan Persis hanya memakai metode hisab sebagai penentu awal bulan.

Menag menambahkan, jika terjadi perbedaan pun sebenarnya tidak ada masalah dan tidak mengurangi kekhidmatan bulan Ramadhan. “Tetapi pemerintah mengharapkan tidak ada perbedaan,” katanya ketika menjawab pertanyaan wartawan di kantor Wakil Presiden, Senin (18/9) lalu. (nam)