Warta

PBNU: Pengamalan Ajaran Sunni Bisa Berbeda antar Negara

Jum, 25 Januari 2008 | 04:30 WIB

Jakarta, NU Online
Kelompok Islam Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) atau disebut juga Sunni diyakini sebagai mayoritas dalam Islam dan tersebar di berbagai negara. Sementara bentuk pengamalan ajaran Sunni itu bisa berbeda-beda antar negara.

Demikian disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH A Hasyim Muzadi di sesi terakhir acara Silaturrahim dan Lokakarya organisasi-organisasi Islam Ahlussunnah wal Jama'ah se-Indonesia dengan tema "Menggagas Masa Depan Islam Nusantara," di gedung PBNU, Jakarta, Jum'at (25/1)<>.

Pengamalan ajaran Sunni, di negara-negara Timur Tengah bisa berbeda dengan di Asia Tenggara atau juga di Eropa. Perbedaan itu desebabkan pengalaman sejarah dan karakter masing-masing.

"Misalnya saja kita lihat di satu negara Indonesia ini ada sekitar 200 adat istiadat dan kebudayaan. Namun di 23 negara Arab hanya ada satu budaya saja," katanya.

Kiai Hasyim mengatakan, umat Islam perlu menghayati perbedaan itu sebagai sebuah rahmat dan tidak justru memasalahkannya.

"Khilafiyah (perbedaan: red) itu kita yakini sebagai pilihan bukan tahapan. Nah kilafiyah sebagai pilihan inilah yang dikatakan sebagai rahmat," katanya di hadapan para pemimpin organisasi Al-Wasliyah, Tarbiyah Islamiyah, Nahdlatul Wathan, Mathla'ul Anwar, Al-Khairat dan Darud Dakwah wal Iryad.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Malang itu menyatakan tidak sepakat dengan model Islam yang kaku dengan memaksakan satu budaya tertentu, misalnya kebudayaan Arab. Meski Islam diturunkan di sana tidak berarti menghapuskan semua kebudayaan yang bukan Arab.

"Saya heran misalnya perayaan Maulid Nabi, memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW kog dikatakan bid'ah dan sesat, padahal saya tahu betul kalau disana juga diadakan maulid untuk Raja Ibnu Saud," katanya.

Ketua Umum PBNU meminta dunia Islam melihat praktik ajaran Sunni di Indonesia sebagai sebuah varian tersendiri, dan berlangsung dalam proses sejarah yang panjang.

"Tradisi tahlil untuk mendoakan keluarga yang meninggal dunia awalnya berasal dari tradisi sesajen (persembahan) namun oleh para penyebar Islam sesajennya dibuang diganti doa. Nah ini model Islam di Indonesia dan tidak harus dilihat dengan sudut pandang negara Arab," kata Kiai Hasyim. (nam)