Wawancara

Melawan Covid-19: Kerja Sama, Disiplin Medis, hingga Turut Memantau

Ahad, 22 Maret 2020 | 03:30 WIB

Melawan Covid-19: Kerja Sama, Disiplin Medis, hingga Turut Memantau

Pakar Epidemiologi, dr Syahrizal Syarif. (Foto: NU Online/Suwitno)

Li Ting seorang pria paruh baya di China yang bekerja sebagai tenaga medis terpapar virus corona (Covid-19) setelah beberapa hari berjibaku membantu ribuan pasien di negaranya. Ia dalam kondisi sehat, tapi ada kekhawatiran dalam dirinya sehingga ia ingin ke rumah sakit saja.

Selain tidak ingin anggota kelurganya terpapar, Li Ting juga harus sadar diri dan bekerja sama untuk menjaga orang-orang di sekitarnya agar tetap sehat. Namun naas, keinginannya untuk ke rumah sakit ditolak, karena penuh. Tidak ada lagi tempat untuk pasien.

Langkah cepat dilakukan oleh Li Ting untuk tetap melakukan karantina mandiri di rumah selama 14 hari. Tujuan awal tidak ingin membuat keluarga terpapar membuat dilema besar bagi Li Ting.

Alat-alat medis disiapkan, termasuk baju atau alat pelindung diri (APD) dari virus dikenal model hazmat. Namun, hal itu tidak cukup bagi Li Ting untuk membuat keluarganya tenang. Keluarganya panik, tidak mau mendekat, hingga menangis karena harus berdekatan dengan Li Ting yang positif terjangkit virus corona.

Dengan kerja keras, disiplin medis yang tinggi meskipun kerap merepotkan, Li Ting berhasil sembuh dari virus mematikan tersebut. Kisah itu dilansir BBC melalui video yang viral di media sosial.

Li Ting merupakan salah satu contoh berharga bagi masyarakat untuk tetap bisa bekerja sama melawan virus yang penularannya dalam hitungan detik ini. Disiplin medis juga harus dilakukan seluruh masyarakat selain sadar diri untuk kepentingan orang banyak ketika mengalami sakit, dan lain sebagainya.

Turut aktif melakukan pemantauan bersama juga mempunyai peran penting dalam melawan dan mencegah virus serupa SARS dan MERS ini.

Membincang lebih jauh tentang Covid-19 yang kasusnya terus merebak di Indonesia ini, Jurnalis NU Online Fathoni Ahmad mewawancarai Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dr Syahrizal Syarif beberapa hari yang lalu di Jakarta. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana Anda melihat kasus virus Corona di Indonesia?

Ada beberapa indikator kebijakan ‘di rumah aja’, yakni belajar di rumah, bekerja di rumah, dan beribadah di rumah. Tiga indikator ini harus diterjemahkan praktiknya dalam kehidupan sehari-hari dengan pemantauan. Baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah, harus melakukan pemantauan.

Jadi, keberhasilan kebijakan menjaga jarak sesuai harapan jika kebijakan tersebut dipantau oleh masing-masing pemerintah daerah. Anak-anak sekolah diliburkan atau belajar di rumah, ini harus dipantau, apa benar anak-anak itu ada di rumah, tidak boleh justru anak-anak diajak orang tuanya untuk liburan.

Langkah yang sama juga perlu dilakukan terhadap kebijakan shalat di masjid maupun di mushola. Kebijakan meniadakan Shalat Jumat dan jamaah shalat wajib lima waktu juga perlu dilakukan pemantauan.

Lalu, seperti apa jika ibadah shalat di masjid dan mushola tetap dilaksanakan?

Jika suatu daerah terpaksa masih menyelenggarakan shalat jumat, harus membawa sajadah masing-masing, khotbah harus dipersingkat, menyediakan hand sanitizer, dan harus menjaga jarak (karena dalam kondisi darurat).

Pelaksanaan ibadah seperti ini perlu mendapat pemantauan dari pemerintah daerah dan terus berupaya memberikan pemahaman. Pemantauan tersebut juga perlu dilakukan di tempat-tempat ibadah lainnya.

Kebijakan peniadaan sementara untuk ibadah di masjid perlu diterjemahkan bahwa pemerintah daerah harus memantau, terutama provinsi-provinsi yang terjangkit. Itu harus dipantau, bagaimana pelaksanaan di masjid-masjid.

Pelaksanaan shalat jumat minggu ini misalnya, itu harus dipantau, apakah kebijakan menjaga jarak itu dilaksanakan atau tidak. Dan yang paling ekstrem adalah tidak menyelenggarakan shalat jumat.

Seperti apa seharusnya langkah pemerintah dalam pelayanan pasien corona?

Pemerintah harus menyediakan dua tempat atau lokasi penting untuk segera disiapkan. Rumah sakit tapi rumah sakit ini bukan untuk merawat semua orang dengan kasus terkonfirmasi Covid-19. Kita tahu bahwa dari 100 kasus terkonfirmasi, hanya 16 orang yang membutuhkan penanganan serius.

Jadi, rumah sakit-rumah sakit sebaiknya menyiapkan pelayanan-pelayanan dengan kasus serius Covid-19. Sudah saatnya sekarang ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyiapkan pusat karantina.

Pusat karantina ini bisa dibangun dari GOR, stadion, atau bapelkes-bapelkes, atau hotel-hotel pemerintah yang kosong, itu diubah menjadi pusat karantina.

Yang berada di pusat karantina ialah kebutuhan untuk merawat orang yang sakit serius dari kasus positif Covid-19 sekaligus kasus positif Covid-19 yang tidak serius atau ringan dan sedang.

Perbandingannya ialah 1:8. Jadi kalau pemerintah menyiapkan 100 bet atau tempat tidur untuk orang yang sakit serius, maka harus disiapkan pula 800 bet untuk orang yang sakit ringan dan sedang dalam kasus Covid-19.

Jadi, pemerintah jangan menempatkan orang-orang dengan kasus terkonfirmasi Covid-19 ringan di rumah sakit-rumah sakit yang bisa menangani kasus-kasus serius Covid-19. Karena kita bisa dihadapkan pada kondisi chaos dalam hal penanganan kasus terkonfirmasi Covid-19.

Bagaimana langkah agar kasus corona menurun?

Harus dicegah salah satunya dengan pendeteksian dini terhadap setiap orang, khususnya yang pernah memiliki kontak dengan pasien positif Covid-19. Saat ini pemerintah harus jemput bola. Masyarakat juga diharapkan kerja samanya untuk selalu mematuhi protokol pencegahan Covid-19.

Deteksi dini harus dilakukan, khususnya bagi orang-orang yang pernah memiliki kontak dengan pasien Covid-19. Telusuri, tes, dan tangani adalah kuncinya. Langkah pencegahan dini juga merupakan kunci keberhasilan Korea Selatan dan Singapura dalam menghadapi serangan virus corona.

Banyak yang menanyakan bahwa virus ini sudah ada vaksinnya atau belum?

Masyarakat tak perlu berpikir tentang vaksin. Saat ini masyarakat harus melakukan pencegahan, mengikuti anjuran para ahli, dan menaati aturan pemerintah.

Tangani dan lakukan pencegahan. Untuk menemukan vaksin sebuah virus, itu membutuhkan waktu yang lama, sekitar setahun.

Kapan kira-kira wabah ini berakhir?

Badan Intelijen Negara menjelaskan, darurat nasional untuk kasus Covid-19 hingga Mei atau Ramadhan. Artinya sekitar 60 hari dan ditambah 30 hari sehingga tanggap darurat nasional dirancang 90 hari hingga 29 Mei 2020.

Saya tidak tahu bagaimana perhitungan darurat nasional diperpanjang hingga 90 hari. Umumnya, negara-negara dengan kasus tinggi seperti China, Italia, Korea Selatan, dan Iran masa puncak atau kasus tertinggi berada pada tanggal kurang dari 30 hari sejak dilaporkannya kasus pertama.

Perkiraan masa puncak sangat dipengaruhi dari langkah-langkah penanggulangan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat.

Saya hanya dapat menyatakan perkiraan pemerintah tersebut bernada pesimis dengan langkah kita sendiri. Saya berharap kasus Covid-19 bisa mulai turun kurang dari 40 hari.

Bagaimana soal rencana tes masal?

Korea Selatan bisa menurunkan kasus Covid-19 karena mereka terus berupaya melakukan diagnosa dan mendeteksi kasus dengan pemeriksaan yang masif.

Sampai 250.000 orang diperiksa di Korea. Itu bisa dilakukan karena mereka mempunyai instrumen berupa Rapid Test yang bisa memeriksa orang dalam waktu 10 menit. Setelah positif, lalu mereka diperiksa di laboratorium.

Virus corona merupakan jenis penyakit yang menular melalui orang yang sakit. Jadi, kalau pemerintah secepatnya menemukan atau mendeteksi orang yang sakit, itu artinya pemerintah sudah melakukan langkah pencegahan penyebaran virus secara luas.

Jadi nomor satu ialah, secepat mungkin menemukan orang yang sakit. Kedua menyiapkan fasilitas kesehatan serta memisahkan berbagai jenis pasien. Jangan dicampur-campur.

Jika masyarakat juga menyambut dan melaksanakan langkah-langkah medis yang telah ditetapkan, saya yakin Indonesia akan melewati pandemi ini dengan cepat tanpa harus menunggu tenggat darurat nasional yang ditetapkan pemerintah pada 29 Mei 2020.

Pemerintah harus menelusuri orang-orang yang mempunyai riwayat kontak dengan kasus terkonfirmasi positif Covid-19. Pemerintah sudah melakukannya kepada menteri-menteri, termasuk Presiden dan Wapres sejak Menhub Budi Karya Sumadi ditetapkan positif corona.

Kenapa menteri-menteri dilakukan tes, tetapi kepada masyarakat dan wartawan yang mempunyai kontak tidak dilakukan tes? Mestinya juga dilakukan.

Bagi masyarakat, saya mengajak untuk bersama-sama memahami kenapa harus melaksanakan kebijakan menjaga jarak. Kalau bisa di rumah ya di rumah, kalau terpaksa pergi, jangan lupa menggunakan masker, sedia hand sanitizer terutama kalau kita menggunakan transportasi publik.

Apa yang harus dilakukan warga NU di tengah pandemi ini?

PBNU melalui seluruh perangkat organisasinya harus membuat warga NU, pertama, mengerti bahwa penyakit ini menular.
 
Kedua, nahdliyin harus mengerti bahwa virus ini menularnya dari orang ke orang salah satunya melalui bersin. Sebab itu, orang yang bersin harus memakai masker.

Ketiga, warga NU harus paham bahwa penyakit ini menular dari benda yang terkena bersin orang yang sakit. Ini dibutuhkan berarti kita harus cuci tangan dengan sabun atau menggunakan hand sanitizer.

Keempat, semua warga NU harus tahu bahwa jika datang ke kerumunan orang banyak itu membuka risiko tinggi penularan Covid-19. Risikonya bisa meningkat jika seseorang banyak bepergian. Juga kalau seseorang datang ke kerumunan orang banyak. Harus mengatur jarak dengan orang lain, minimal 1 meter kalau terpaksa keluar rumah.

Kelima, warga NU harus tahu jika demam dan batuk, istirahat di rumah selama tiga sampai empat hari, jangan panik karena penyebabnya bisa apa saja.

Jadi kalau demam dan pilek saja tanpa sesak napas, tidak perlu pergi ke dokter, jangan panik. Beli obat penurun panas dan pilek, tinggal di rumah selama 3 hari.

Keenam, kalau ada yang sakit dan terkonfirmasi positif Covid-19, tidak boleh dikunjungi sampai orang itu sembuh. Dan jika harus dikarantina, mereka harus rela selama 14 hari tidak boleh dikunjungi atau tidak boleh bersentuhan.
 
Di sinilah letak pentingnya peranan lembaga dan banom-banom NU untuk menyebarkan langkah-langkah pencegahan Covid-19.

Masyarakat tidak perlu panik. Tidak perlu berpikir bahwa semua orang demam, batuk, pilek, pasti terkena corona, tidak boleh menuduh seperti itu. Karena penyebabnya bisa banyak sekali. Kecuali kalau sudah sesak napas, itu beda. Kalau seseorang ada sesak napas, tidak perlu pikir panjang, langsung bawa ke dokter.

Namun, berbeda dengan seseorang yang sudah berumur di atas 60 tahun. jika demam, batuk, pilek, istirahat di rumah 2 hari, jika belum reda, bawa ke dokter. Karena seorang dengan rentang umur di atas 60 bisa ke arah serius.

Bagaimana memaksimalkan peran ormas Islam?

Ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan lain-lain mempunyai peran menyadarkan masyarakat untuk melakukan langkah-langkah pencegahan secara medis, seperti memakai masker, rajin mencuci tangan dengan sabun, memakai hand sanitizer, menjaga jarak, membersihkan masjid-mushola, dan lain sebagainya. Selain itu, ikut aktif melakukan pemantauan situasi di masyarakat.

Di NU sendiri, saya mengharapkan semua jajaran sampai ke tingkat desa, misal anggota Muslimat di sebuah desa melakukan pemantauan. Anggotanya 100 orang misalnya, tidak ada salahnya pengurus Muslimat di tingkat desa itu, sederhananya membuat WA grup.

Lalu setiap hari, cukup melaporkan keluarga yang dipantaunya. Misal masing-masing relawan mengawasi tiga keluarga. Dan melaporkan kondisi keluarga-keluarga tersebut setiap hari.

Langkah seperti ini bisa dilakukan setiap hari dan dipantau terus-menerus, paling tidak hingga lebaran tiba. Pemantauan-pemantauan ini juga bisa dilakukan di sekolah-sekolah ma’arif dan pesantren-pesantren. Salah satu pesantren bisa menjadi koordinator bagi tiga pesantren misalnya.

Indikator yang paling sederhana demam. Meskipun tidak semua demam berarti terjangkit corona, tetapi demam bisa menjadi salah satu indikator pemantauan situasi di masyarakat. (*)