Wawancara

Nahdliyin itu Komunitas Besar, Harus Jadi Subjek Ekonomi Bukan Objek

Rab, 24 Juli 2019 | 07:45 WIB

Nahdliyin itu Komunitas Besar, Harus Jadi Subjek Ekonomi Bukan Objek

Ketua II DPP HPN Dripa Sjahbana. (Foto: Fathoni/NU Online)

Prinsip kemandirian ekonomi disadari betul oleh para kiai pesantren kala itu. Selain untuk menggerakkan visi dan misi keumatan, pemberdayaan ekonomi juga dapat mengentaskan rakyat Indonesia dari kemiskinan sehingga lepas dari kungkungan penjajah.

Para kiai melihat potensi sumberdaya komunitas pesantren sebagai kekuatan untuk membangun kemandirian umat, terutama ketika pos-pos ekonomi kolonial telah berdiri di Indonesia. Hal ini juga tergerak karena para kiai pesantren tidak sedikit yang menjadi saudagar atau pedagang.

Melihat dan menyadari sumberdaya tersebut, KH Abdul Wahab Chasbullah mendeklarasikan organisasi bernama Nahdlatut Tujjar (gerakan kebangkitan ekonomi) yang diresmikan pada tahun 1918. Organisasi ini dideklarasikan langsung oleh guru para kiai pesantren, KH Muhammad Hasyim Asy’ri. Dalam deklarasi Nahdlatut Tujjar, Kiai Hasyim Asy’ari berkata:

“Wahai pemuda putra bangsa yang cerdik pandai dan para ustadz yang mulia, mengapa kalian tidak mendirikan saja suatu badan usaha ekonomi yang beroperasi di mana setiap kota terdapat satu badan usaha yang otonom untuk menghidupi para pendidik dan penyerap laju kemaksiatan.” (Lihat Abdul Mun'im DZ, Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011).

Spirit Nahdlatut Tujjar itulah yang dijadikan Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN) untuk terus melakukan konsolidasi bisnis dan usaha dari para saudagar NU kini. Semangat berhimpun kemudian berkembang menjadi komunikasi dan interaksi bisnis yang saling meunguntungkan antarpengusaha NU.

Karena saat ini teknologi terus berkembang dan menjadi salah satu bagian penting dalam mengembangkan bisnis, HPN lalu mengembangkan penghimpunan para pengusaha NU dengan memanfaatkan keunggulan teknologi digital berbasis aplikasi dan mobile business portal. Begitu juga dalam melaksanakan transaksi usaha dengan tidak mengabaikan kekuatan sumberdaya komunitas.

Sinergi sumberdaya komunitas dan keunggulan teknologi inilah yang menjadi perhatian penting HPN untuk memperingati hari lahirnya yang ke-8 tahun pada 14 Juli 2019.

“Sumberdaya komunitas adalah sebuah keunggulan begitu juga dengan teknologi. Kalau kedua hal ini kita kawinkan, akan terjadi sinergi yang luar biasa,” ujar Ketua II Dewan Pengurus Pusat (DPP) HPN, Dripa Sjahbana.

HPN juga mengukuhkan pendirian Pengusaha Muda (PeMuda) yang berangkat dari potensi para pemuda yang saat ini telah menjalani berbagai bisnis modern. Berikut petikan wawancara lengkap jurnalis NU Online, Fathoni Ahmad dengan Dripa Sjahbana dalam peringatan Harlah Sewindu HPN, Sabtu (20/7/2019) lalu di Grand Sahid Jaya Jakarta. 

Bagaimana HPN menyandingkan antara sumberdaya komunitas dengan keunggulan teknologi?

Hasil kajian strategis di HPN, selain teknologi itu sebagai unggulan, ada satu faktor lagi yang itu bisa mengakselerasi keunggulan teknologi, bahkan ia akan berkompetisi dengan teknologi, karena selama ini kita menganggap bahwa teknologi tidak bisa dilawan, apa itu? Ialah sumberdaya komunitas.

Komunitas itu punya nilai-nilai, yang membuat dia militan, loyal dengan tujuan tertentu dan itu bisa mengimbangi atau bahkan meningkatkan keunggulan teknologi. Wujudnya ialah, kalau kita membangun berdasarkan keunggulan teknologi saja, itu tidak sebagus ketika kita menyandingkan dengan keunggulan komunitas.

Bayangkan, komunitas punya nilai, budaya lalu ditabrak dengan teknologi, yang terjadi ditolak atau tertolak, karena komunitas punya value yang dirasakan dan dilaksanakan. Jadi HPN berupaya mensinergikan sumberdaya komunitas dengan keunggulan teknologi. Wujudnya ialah, HPN mengembangkan teknologi aplikasi, mempertimbangkan nilai-nilai yang ada di organisasi tersebut.

Seperti apa implementasinya?

Dalam bisnis ada banyak hal. semua orang sebelum era teknologi ini semua berbasis komunitas (community based) tapi yang belum banyak dipahami, di sini komunitas hanya sebagai pasar. Padahal potensi komunitas itu bukan hanya pasar saja. HPN ingin bahwa komunitas ini bertindak sebagai subjek yang menggerakkan.

Kita eksplor komunitas ini mau ke mana, komunitas kan punya tujuan. Kalau kita bicara komunitas warga NU (Nahdliyin), kita punya tujuan, kita punya sesuatu yang diperjuangkan. Nah itu yang harus dieksplorasi dan diimplementasikan, bukan hanya dijadikan catatan tanpa makna.

Teknologi belum semua dipahami masyarakat yang menggeluti usaha, bagaimana membiasakan para pengusaha kecil dan menengah agar terbiasa dengan teknologi?

Dulu kita berasumsi butuh bertahun-tahun untuk memahami teknologi, dengan terdisrupsinya dunia usaha dengan munculnya sejumlah startup, seperti komunitas ojek, angkutan yang berubah total, kemudian biro perjalanan berubah total. Dulu isunya semua orang bisa punya HP atau tidak, lalu HP-nya bisa internet atau tidak, sekarang bukan lagi menjadi masalah. Jadi penghambat teknologi itu bisa dikatakan sudah kecil walaupun itu di daerah.

Contoh saya ke Pacitan, Gunungkidul, sekarang sudah bisa mengakses teknologi 4G. Jadi sudah bukan problem, video sudah bisa ditonton, Youtube juga sudah bisa diakses.

Lalu seperti apa yang menjadi tantangan bisnis dari perkembangan teknologi ini?

Yang menjadi tantangan adalah model bisnisnya. Kita harus paham dan mengeksplorasi bahwa model bisnisnya bukan seperti zaman dulu. Misal kita punya barang tidak harus jual, bisa sewa pakai.

Jadi kalau dulu banyak rantainya, sekarang bisa lebih cepat. Dampak dari kemajuan teknologi tadi, rantai dari supplier dan an user bisa lebih pendek. Padahal, komunitas kita banyak yang di rantai tengah-tengahnya itu. Kalau kita tidak tidak paham, bagaimana kita mau mengerti cara mengatasinya.

Jadi HPN dalam hal ini sudah pasti tidak bisa menolak teknologi, tapi kita menyiapkan dengan perubahan yang sangat luar biasa mendasar, bisnis-bisnis apalagi yang bisa kita perbuat, apa yang sudah terdisrupsi itu, apa yang masih bisa dipertahankan. Salah satu kekuatan yang bisa dipertahankan lebih dari sekadar urusan teknologi ialah kekuatan komunitas.

Seperti apa simplifikasi sumberdaya komunitas dan keunggulan teknologi?

Semua orang bicara teknologi, tapi mereka abai terhadap kekuatan komunitas sehingga seolah tak dihargai. Semua tahu bahwa komunitas terbesar di dunia adalah Nahdlatul Ulama (NU). Jika kita berpikir apa yang dipikirkan orang lain, maka kita akan terus menjadi objek, bukan subjek. Nahdliyin itu komunitas besar, tapi harus menjadi subjek ekonomi, bukan objek semata atau hanya sekadar menjadi pasar.

Kita ini punya value dengan sumberdaya dan kekuatan luar biasa. Ini bisa menyeimbangkan dengan keunggulan teknologi. Nah bisa kita lakukan tidak hanya mengimbangi, tapi kita kawinkan. Berarti ini unggul, yang satu juga unggul sehingga terjadi sinergi yang luar biasa.

Ini harus menjadi gerakan yang disadari oleh semua elemen. Karena opportunity atau peluang bisnis itu kan tidak ada daftarnya. Kepekaan pengusaha itu ialah bisa melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat. Dalam hal ini HPN melihat bahwa gerakan komunitas sebagai sebuah sumberdaya ditambah kekuatan teknologi harus menjadi solusi dalam memberdayakan umat.

Apa yang hendak dilakukan setelah HPN berusia delapan tahun?

Dari Mukernas dua tahun lalu, dihadiri Pak Jokowi juga, setelah kita merumuskan strateginya, kita masih menjalankan perhimpunan. Tantangan organisasi yang muda adalah konsolidasi. Jadi setelah delapan tahun ini, kita akan terus ekspansi pendataan anggota yang lebih masif. Tentu bukan hanya hal itu, melainkan melakukan pendataan yang lebih tepat dan sistematis serta efektif.

Jadi sesuai dengan anggaran dasar kita ialah melakukan penghimpunan dengan berbagai inovasi. Sebetulnya setelah beberapa tahun terakhir, yang terjadi ialah bukan menghimpun tapi telah terjadi transaksi bisnis antarpengusaha NU di dalam satu sektor usaha dan satu mata rantai endimen.

Oleh sebab itu, HPN tetap akan menjalankan amanah organisasi sesuai Mukernas yaitu memperkuat konsolidasi melalui penghimpunan para pengusaha NU di seluruh daerah di Indonesia. Termasuk terus membentuk pengurus wilayah dan pengurus cabang. Saat ini HPN telah membentuk pengurus wilayah di 22 provinsi.

Bisa dijelaskan tentang Aplikasi Greenpages yang telah diluncurkan HPN?

Aplikasi ini lebih dari sekadar memudahkan penghimpunan pengusaha HPN. Kalau cuma penghimpunan data itu bisa out of active, bisa tidak update. Sementara kita harus punya data update, sebab itu data ini bukan hanya mendata saja tetapi membangun interaksi dan berkomunikasi antara anggota HPN yang mempunyai berbagai macam bidang usaha.

Dan aplikasi ini dengan platform universal, karena Insyaallah komunitas-komunitas kita yang lain juga bisa berinteraksi di sini. Sebab jika ingin membangun sebuah interaksi bisnis harus terwujud melalui teknologi tepat guna. Aplikasi kita ini juga bisa disebut mobile business portal.

Sasarannya bukan hanya para pebisnis besar, tetapi juga pengusaha kecil dan menengah. Makanya pentingnya sinergi ya di situ. Para pengusaha HPN saling bersinergi untuk menjual dan membeli produk-produk unggulan antarpengusaha HPN. Di situlah pembeda utamanya sehingga interaksi bisnis akan kuat dengan sendirinya antarpengusaha NU.

Karena kalau disuruh berkompetisi terbuka antarpengusaha besar dan kecil, rasanya kurang bijak. Kita sebagai individu pebisnis kecil mungkin tidak akan kuat, namun sebagai sebuah komunitas, itulah kekuatannya.

Bagaimana interaksi bisnis antara pengusaha besar dan pengusaha kecil di HPN?

Ya, kita berhimpun bukan karena melihat bahwa ini ingin mencari keuntungan semata, sebab kita sesama Nahdliyin, ada nilai komunitas di situ, kedua, ternyata ketika kita membutuhkan barang, ada tuh suplai dari pengusaha NU sendiri.

Contoh saya punya bisnis penyewaan kantor di Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Untuk rapat-rapat di kantor, saya mengambil suplai makanan kateringnya kepada pengusaha HPN. Itu contoh simpel aja. Dan ternyata bagus, mereka tetap menjaga kualitas karena sesama anggota.

Dalam proses interaksi bisnis tersebut, empat bulan terakhir terjadi transaksi antarpengusaha HPN senilai setengah miliar rupiah (Rp500 juta). Itu hanya satu departemen usaha. Itu menujukkan sudah terbangun sinergi usaha. Termasuk ketika kita ada acara-acara tertentu, segala perangkat dan perlengkapan disediakan langsung oleh pengusaha NU.

Bagaimana interaksi binsis yang terjadi di tingkat pengurus wilayah dan pengurus cabang?

Sudah berjalan cukup baik. Saya contohkan di Jawa Barat, ini salah satu pengurus wilayah yang kita banggakan. Mereka mendirikan koperasi yang didirikan oleh 34 pengusaha travel umroh. Apa yang mereka lakukan? Koperasi ini mensuplai baju umrohnya, menyadiakan kateringnya, dan perlengkapan lainnya.

Koperasi yang terdiri dari 34 biro perjalanan umroh ini bersepakat untuk menjalin sinergi usaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan perjalanan umroh. Proses ini bisa direplikasi dalam bidang usaha-usaha lainnya. Kan tidak harus sama. (*)