Wawancara

Naikkan Harga Iuran BPJS Bukan Solusi Tepat

Sab, 31 Agustus 2019 | 16:51 WIB

Naikkan Harga Iuran BPJS Bukan Solusi Tepat

Ketua PBNU Bidang Kesehatan H Syahrizal Syarif (Foto: Abdullah Alawi)

Pemerintah berencana menaikkan harga iuran BPJS sampai seratus persen. Alasannya adalah karena saat ini keungan BPJS mengalami defisit. Kabijakan ini banyak dikritik masyarakat yang dikemukakan, terutama di media sosial. 
 
Di tengah situasi seperti itu, ada kabar bahwa BPJS akan menaikkan gaji pada jajaran direksinya. Padahal saat ini pun, mereka mendapatkan gaji yang bagi masyarakat, sangat besar. 
 
Nahdliyin, sebagai warga negara yang merupakan pengguna atau pelanggan BPJS, tidak setuju dengan kenaikkan harga itu. Hal itu misalnya disampaikan Ketua PBNU Bidang Kesehatan H Syahrizal Syarif. Sebab bagi NU, menurut lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini, bukan di situ persoalannya. Defisit dengan menaikkkan harga adalah masalah di hilir. Untuk menyelesaikan masalah itu harus dari hulu yang saling berkelindan. 
 
Untuk mengetahui apa dan bagaimana persoalan BPJS tersebut, Abdullah Alawi dari NU Online mewawancarainya di Gedung PBNU, Jakarta. Berikut petikannya:
 
Bagaimana persoalan BPJS sehingga pemerintah menaikkan harga iuran?
 
Hampir di semua negara sepakat, WHO juga mengatakan bahwa kesehatan itu adalah hak asasi dari warga tiap negara. Negara mempunyai kewajiban dan menjamin kesehatan warganya. Kita tahu bahwa suatu negara itu ada dua ukuran kemakmurannya. Yang kesatu adalah kesehatan warganya yang terkait dengan harapan hidup warganya.
 
Yang kedua adalah soal tingkat pendapatan rata-rata penduduk ya, GNP. Tapi prinsipnya di negara-negara seperti kapitalis Amerika saja, pembiayaan kesehatan itu merupakan masalah yang pelik. Seluruh negara tak mudah menanganinya sehingga di negara-negara kapitalis itu warga negara diminta untuk terlibat dalam kesehatannya sendiri dengan cara membayar asuransi. Bahkan negara seperti Amerika pun, cukup besar jumlahnya warga negara yang tidak bisa membayar asuransi. Mereka hanya mampu menanggung orang-orang yang tidak mampu bekerja. Jadi, kalau di bawah usia 15 tahun atau di atas 65 tahun ditanggung negara itu karena mereka dianggap tidak produktif. Orang yang usianya 16-65 tahun harus menanggung biaya kesehatannya sendiri dengan membayar asuransi. Jadi, bahkan negara seperti Amerika pun baru Obama saja, presiden yang memperhatikan orang-orang yang tidak mampu. Namanya Obama Care. Itu bantuan pemerintah untuk membayar asuransi bagi yang tidak mampu. Dan Donald Trump cenderung akan menghilangkannya. 

Nah, Indonesia, kita harus bersyukur ada skema pembiayaan yang dilaksanakan BPJS, ada Undang-Undang JKN, dasar undang-undangnya, itu on the track pada dasarnya. Kita kan sebetulnya ingin agar penduduk yang meninggal di bawah usia 72 tahun itu semakin sedikit. Tapi kenyataannya angka kematian ibu masih tinggi, kematian bayi sangat tinggi, itu mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat. Salah satunya kenapa mereka banyak meninggal kan ada problem kalau mereka sakit, yaitu pembiayaan. Jadi, skema BPJS ini sebetulnya kita harus lihat sebagai sebuah jalan yang tepat. Cuma pertanyaannya adalah, kan orang-orang tidak mampu ada skema yang dibantu pemerintah. Jumlahnya itu kalau hitungan di atas kertas dalam artian apakah jumlah yang diberikan untuk orang yang tidak mampu memenuhi biaya, mendapat kualitas pelayanan yang baik, maka jawabannya belum. Angka itu masih rendah. 

Lalu skema mereka yang bayar sendiri, yaitu kelas dan kelas satu, apakah yang mereka bayar itu sudah bisa menjamin bahwa mereka mendapat pelayanan kesehatan yang baik dan berkualitas? Kalau di atas kertas dalam hitungan-hitungannya, maka jawabannya tidak. Jadi, yang terjadi selama ini adalah, satu, pemerintah kemudian defisit. Itu kenyataan. 

Penyebabnya apa? 

Ya, karena defisit disebabkan karena sekarang begini, untuk skema yang dibayar pemerintah, tidak ada persoalan. Tapi yang jadi masalah skema mereka yang untuk membayar sendiri, jadi mereka dianggap mampu membayar, mereka bisa memilih kelas dua kelas satu, ini kan buat mereka-mereka yang bekerja di sektor yang formal, pegawai negeri misalnya, cicilan premium bisa langsung ditarik dari gaji. Persoalannya, berapa persen mereka yang seperti itu? Yang banyak itu kan mereka-mereka yang bekerja di sektor informal. Nah, kesadaran untuk memenuhi pembayaran itu yang masih kurang. Sehingga pengeluaran lebih besar daripada pendapatan karena ada sekitar 30 persen dari mereka anggota, kalau mereka sakit, setelah mereka berobat, lalu mereka tidak bayar lagi, dan angka ini besar jumlahnya. 

Jadi, ada problem rutinitas asuransi bagi mereka yang memang membayar sendiri. Itu problem. Kesadaran untuk membayar, mereka kan merasa sehat, ngapain mesti membayar? Kesadaran ini problem terbesar. Pemerintah harus memastikan bagi peserta BPJS yang membayar sendiri harus dipastikan membayar. Itu tidak mudah. 

Sebetulnya bagaimana skema pembiayaan BPJS saat ini sehingga mengalami masalah keuangan?

Jadi, sekitar 79 juta penduduk dibayar pemerintah. Jumlah penduduk kita kan 265 juta, nah, ada 100 juta sekian yang harus membayar sendiri asuransi kesehatannya. Mereka yang bekerja di sektor formal di pemerintahan atau di swasta itu ada jaminan mereka bayar. Tapi mereka yang bekerja di sektor informal, mereka pedagang, bagaimana mereka supaya terjamin, pedagang-pedagang di Tanah abang misalnya, mereka mampu, punya pendapatan, dan bisa membayar iuran BPJS, tapi apa mekanismenya supaya mereka ada jaminan bahwa mereka bisa membayar terus setiap bulan; ini yang menyebabkan pendapatan tidak sama dengan pengeluaran. Pengeluarannya yang lebih besar sehingga akhirnya pemerintah defisit. Defisit ini terus bertambah dan terus bertambah. 

Lalu rencana menaikan harga BPJS di tiap kelas itu adalah solusi? 

Jadi begini, pertanyaannya apakah rencananya meningkatkan seratus persen pembayaran dari kelas dua menjadi 75 ribu, kelas satu menjadi seratus sekian, apakah pemerintah menjamin bahwa tidak terjadi defisit? Itu saya ragu. Jadi selama kewajiban tidak ada jaminan mereka di sektor informal membayar secara rutin, saya ragu. 

Lalu bagaimana untuk mengatasi hal itu? 

Oleh sebab itu, solusinya kemudian dikaitkan dengan banyak hal, misalnya ketika mereka memperpanjang STNK bisa saja dikaitkan apakah mereka sudah membayar iuran BPJS. Tapi hal ini harus menggunakan payung hukum. Jadi, menurut saya menaikkan iuran itu akan mengurangi beban pemerintah, tapi itu tidak dengan sendirinya memberikan jaminan bahwa mereka-mereka yang tidak rutin membayar itu akan menjadi rutin. Itu tantangan besar. Saya yakin defisitnya akan tetap. Jadi, tantanganya bagaimana pemerintah memastikan yang BPJS mandiri membayar dengan rutin. 

Persoalan kedua, yaitu persoalan-persoalan yang terkait dengan mutu dan pelayanan, apalagi ketika iuran dinaikkan, maka masyarakat akan lebih menuntut. Dengan iuran yang sekarang saja, kualitas pelayanan masih kurang baik, apalagi dengan iuran yang lebih besar, maka masyarakat akan menuntut lebih banyak pelayanan lebih baik. 

Nah, di sini, kembali saya ragu dengan menaikkan iuran, tidak akan dengan sendirinya kualitas pelayanan akan lebih baik. Kenapa? Karena kita lihat, kenapa antrean menjadi panjang karena memang tidak memenuhi ketersediaan petugas kesehatan. Kebutuhan tidak sebanding dengan tenaga kesehatan. Nah, peningkatan ini kan tidak akan berdampak terhadap tenaga kesehatan. Saya kira pemerintah harus bisa menjawab bagaimana pelayanan kesehatan bisa ditingkatkan.  

Masalah ketiga, BPJS ini kan pelayanan yang baru melayani untuk tindakan-tindakan, orang yang sudah sakit, kemudian membutuhkan pelayanan. Padahal kita berharap angka-angka penyakit ini bisa kurangi dengan upaya-upaya yang sifatnya promosi meningkatkan daya tahan tubuh agar bertambah sehat sambil dengan upaya-upaya pencegahan seperti imunisasi, pencegahan angka kecelakaan, anak-anak supaya tidak gizi buruk, pencegahan penyakit menular, atau orang-orang dewasa tidak diabetes. Nah, ini anggaran tidak dengan sendirinya peningkatan anggaran itu akan bisa meningkatkan promosi dan prevensi kesehatan. Bahkan dengan peningkatan beban ini saya khawatir akan menurun, mereka-mereka dalam membayar. 

Jadi, harus ada skema dimana mereka bisa, ada kebijakan-kebijakan bagaimana mereka bisa membayar rutin. Mau tidak mau harus dikaitkan dengan hal-hal lain itu agar bisa membayar rutin. Harus komfrehensif. Artinya, harus dikaitkan dengan berbagai hal. Diintegrasikan, ketika berkaitan dengan sistem. Soal mutu juga harus ditingkatkan.   

Jadi, harus ditingkatkan dulu mutunya sebelum meningkatkan iuran? 

Iya. Pemerintah harus bekerja keras untuk menaikkan mutu sebelum menaikkan, terutam sekarang kenaikan awal ya, primer, itu jelek sekali. Bahkan pada pelayanan rujukan pun ada kasus-kasus yang sangat memprihatinkan. Contoh soal bagini. Pasien yang datang dengan penyakit kanker stadium 1. Kanker itu kan kalau diooperasi dengan cepat, maka dia kemungkinan dia survive, lebih besar. Tapi karena proses pemeriksaan dan proses waktu tunggu untuk operasi sampai menunggu 6 bulan, ketika dilakukan operasi, stadium yang tadinya 1, bisa bergeser ke stadium 3. Ini kan kalau dioperasi juga kemungkinan survive pasien menjadi menurun. Kan sayang, karena persoalan begini, pasien dirugikan. 

Jadi, menurut saya, pemerintah harus mampu memilah-memilah mana kasus-kasus yang membutuhkan tindakan yang cepat. Dalam seperti kanker, pemerintah harus berupaya agar tidak memberikan pelayanan dalam waktu  tunggu seperti itu.

Ada kabar di tengah situasi seperti itu, akan ada kenaikan gaji kepada pengelola BPJS, bagaimana tanggapannya? 

Kita prihatin dengan kenaikan gaji. Soal gaji, jangan kemudian teman-teman yang berada pada jajaran direksi, gajinya besar. Memang besar, mereka mengelola uang dalam jumlah triliunan. Agak berbeda kalau kita mengacu kepada sistem gaji direktur bank misalnya. Gaji direktur bank itu, uang yang dia kelola harus mereka upayakan agar itu bisa bertambah. Itu kegiatan profit. Nah, BPJS kan bukan kegiatan profit dan mereka tidak ada tugas untuk memutar uang. Hanya menjaga dan bagaimana caranya pengeluaran itu sesuai dengan peraturan. Nah, sekarang kalau mereka menuntut gaji besar, sebenarnya tidak seimbang dengan badan-badan yang mengelola uang yang memang untuk kebutuhan fungsi profit ya. Jadi, kan mereka hanya melihat besarnya uang yang mereka kelola. Tidak wajarlah kalau menurut saya. 

Namun, kita juga harus melihat BPJS secara seimbang. Betul BPJS itu perlu ada perbaikan di sana-sini, harus ada peningkatan mutu, masyarakat belum ada pelayanan yang baik, itu benar, tetapi kita juga harus melihat, sedemikan banyaknya orang yang sangat tertolong BPJS. Mereka-mereka yang harus operasi jantung misalnya itu ibaratnya masyarakat, kalau tidak dibantu BPJS ada yang jatuh sampai miskin. Jadi, kita juga harus berimbang. Gagal ginjal dibantu untuk cuci darah. Itu sangat terbantu. Jadi sebetulnya kalau pelayanan BPJS ini baik, orang juga akan memberikan respons yang seimbang dengan membayar rutin. Logikanya bagaimana cara membangun agar mereka membayar rutin BPJS. Ketika pelayanannya kurang baik, lalu iurannya dinaikkin. Nah, ini kan sesuatu yang menurut saya, pemerintah harus bisa memberikan respon positif dari keluhan masyarakat akan pelayanan yang kurang baik. 

Dari sisi manajemennya bagaimana? 

Di sana-sini ada manajemen yang belum standar, kan bervariasi sehingga, bahkan ketika uang yang disediakan untuk pelayanan rujukan tu pada dasarnya masih kurang dari yang seharusnya dibutuhkan untuk pelayanan yang baik. Nah, di sini, akhirnya masing-masing rumah sakit melakukan manuver-manuver dengan berbagai cara agar uang itu dicukupkan. Ini juga masalah yang tidak begitu bagus. 

Kondisinya sudah defisit, kenaikan iuran bukan solusi, supaya BPJS ini sehat bagaimana? 

Ada jangka panjang dan jangka pendek. Saya tidak menolak kenaikan, tapi saya merasa tidak setuju dengan kenaikan pada saat ini. Jadi maksud saya dalam situasi begini, harusnya pemerintah tidak bisa menaikkan dengan seratus persen. Kalau ingin mengurangi defisit dengan menaikkan, ya kenaikan yang wajarlah. Begitu. 

Kedua, yang harus dilakukan adalah upaya meningkatkan kualitasnya. Saya harus bilang, kenapa tidak kan pemerintah mendapat pajak yang besar dari rokok. Defisit yang dialami pemerintah untuk mengelola kesehatan, itu jauh lebih kecil daripada uang yang diterima dari pajak rokok. Pajak rokok sekarang mungkin 120 triliun sementara pemerintah defisit 16, 5 persen, mendekatiangka 30 triliun, tapi tetap saja itu jauh di bawah pajak yang diterima industri rokok. Mestinya pemerintah bisa melihat mendapat pajak besar dari rokok yang secara kesehatan tidak ada keraguan yang itu merugikan kesehatan masyarakat. Ya dialihkan saja. Defisit itu mestinya diambil dari pajak rokok. Sehingga tidak perlu menaikkan iuran. Saya tahu pemerintah tak ingin menaikan harga dua kali. Maksudnya tidak ingin menaikan dinaikin tahun ini, dua tahun kemudian naik lagi. 

Nahdlatul Ulama mendukung adanya BPJS, mohonlah diperhatikan, karena yang merasakan adalah masyarakat. Dan Nahdlatul Ulama berada pada posisi yang di bawah, penerima manfaat itu.

Ada satu hal lagi, dari riset, siapa yang memanfaatkan BPJS ini? Nah,  yang memanfaatkan BPJS ini adalah orang yang punya akses kepada kesehatan. Ada problem lain, pelayanan kesehatan, kita mesti bayar, kita kemudian mendapatkan pelayanan, tapi kan kalau pelayanannya tersedia. Bagaimana mereka yang berada di daerah terpencil, di luar Jawa, yang pelayanan dan fasilitas kesehatannya terbatas. Mereka membayar sama dengan mereka yang berada di kota. Tapi orang kota mudah memanfaatkan fasilitas karena jarak yang dekat, transformasi yang mudah. Bagi mereka yang jauh seperti di Papua, Sulawesi, Kalimantan, mereka diminta membayar sama, tapi fasilitasnya tidak ada, nah, ini persoalan. 

Jadi pemerintah itu bukan hanya meningkatkan fasilitas dan kualitas kesehatan, tapi menjangkau, menjamin bahwa setiap masyarakat dapat mengakses kesehatan dengan cara yang sama. Jangan yang hanya di kota saja. 

Kondisi saat ini defisit BPJS itu dapat menyebabkan bangkrut tidak? 

Tidak lah, ekonomi kita ini pada dasarnya dalam kondisi yang baik. Dengan pertumbuhan ekonimo yang 5,1 atau 5,2 Indonesia saat ini menjadi negara yang menjadi salah satu pertumbuhan ekonomi yang tinggi di dunia. Kondisinya baik. 
 
Pewawancara : Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad