Wawancara

Program LKNU untuk Diabetes Mellitus Capai Target

Rab, 4 September 2019 | 16:02 WIB

Program LKNU untuk Diabetes Mellitus Capai Target

Esti Febriani saat menyampaikan laporan program LKNU for DM di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Selasa (3/9). (Foto: Husni Sahal/NU Online)

 
Program Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) for Diabetes Mellitus (DM) yang telah diselenggarakan selama dua tahun secara resmi ditutup di lantai 8, Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Selasa (3/9). Program yang didukung World Diabetes Foundation (WDF) itu bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang Diabetes Mellitus.

Penanggung Jawab Program LKNU for DM, Esti Febriani menyatakan bahwa lembaganya baru pertama kali mengadakan program terkait penyakit tidak menular. Sebelumnya, LKNU memberikan perhatian kepada penyakit menular, seperti tuberkolosi. 

“Kali ini kita memasuki kegiatan yang berbeda. Kita fokus pada kegiatan penyakit yang tidak menular dalam hal ini diaebets,” kata Esti.

Menurut perempuan yang juga menjadi dosen di Pascasarjana  Kesehatan Masyarakat STIKES Kuningan, Jawa Barat itu, programnya dilakukan di lima kabupaten/kota, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Depok, Blitar, dan Jombang.

Lalu, apa saja yang telah dilakukan selama dua tahun itu dan bagaimana hasilnya? Untuk mengetahui jawabannya, Jurnalis NU Online Husni Sahal telah berbincang-bincang dengan perempuan berusia 53 tahun ini.

Selama dua tahun itu, apa saja yang telah dilakukan LKNU?

Jadi LKNU dalam hal ini sebenarnya walaupun kabupatennya banyak tuh, Mas, tapi sebenarnya cakupannya di tingkat kecamatan karena project ini kita lebih ingin membuat model. Jadi mempelajari bagaimana pendekatan terhadap masyarakat untuk diabetes mellitus itu. Jadi yang pertama kita lakukan pelatihannya tokoh-tokohnya itu kita gunakan kader, tokoh agama, juga tokoh masyarakat.

Jadi kader-kadernya diawali kita latih dulu untuk tau tentang kader, kerjaan kader, terus bagaimana mereka melakukan screening atau pemeriksaan untuk orang diabetes jadi misalnya berat badannya, lingkar pinggangnya, terus juga tes gula darah menggunakan stik untuk jari, dan juga tekanan darah. Jadi untuk tahu apakah dia hipertensi atau enggak. 

Setelah kita latih, kader-kadernya turun dan juga mereka kita bekalin dengan media komunikasi jadi misalnya dengan leaflet untuk mereka melakukan edukasi masyarakat. Jadi dengan screening itu mereka masuk ke pengajian-pengajian juga kegiatan majelis taklim, kegiatan posyandu gitu untuk memeriksa ibu-ibu dan bapak-bapak juga, sehingga dari hasilnya kita kader itu melakukan screening terhadap 25 angota masyarakat.

Dari 25 ribu itu ada sekitar 10 ribu yang dia berisiko untuk hipertensi atau dia juga beresiko untuk diabetes, karena 2 penyakit ini berdekatan ini. Kalau dia diabet dia bisa menjadi hipertensi juga atau sebaliknya. Jadi di 5 kabupaten, 8 kecamatan. Jadi kan kita di Jawa Timur ada dua kabupaten: Kabupaten Jombang sama Blitar. Terus di Depok, di Jakarta Pusat: Senen masuk, Kramat masuk wilayah kerja juga, Kenari masuk. Terus Jakarta Selatan.

Ada lagi yang dilakukan?

Selain itu kita juga melatih tenaga kesehatan. Yang dilatih itu tenaga kesehatan di puskesmas dan juga klinik-klinik NU. Ada sekitar 15 Fasilitas Kesehatan, termasuk klinik NU atau yang berafiliasi. Jadi walaupun dia bukan klinik NU, tapi berafiliasi, kerja sama dengan NU.

Waktu merekrut kader apakah mengalami kesusahan?

Enggak. Terutama untuk daerah Jawa Timur, ya, karena Jawa Timur kita memang pakai kader-kader yang biasa dengan NU, umumnya dari NU: apakah itu Fatayat, Muslimat. Dan kalau di kota lebih beragam karena kadernya juga ada kader Posyandu, ada kader PKK karena sebagian emang dari kader organisasi. Gak kesulitan, Mas, justru tingkat keaktifan kadernya itu lebih dari 80. Jadi kalau pengalaman saya, ya, kalau tingkat keaktifan kader di atas 80 persen itu biasanya sulit, tapi untuk diabetes ini umumnya mereka tetap aktif setelah 2 tahun.

Jadi menurut mereka sih lebih karena ini jarang intervensi untuk diabetes masih jarang, juga karena risikonya setelah mereka mempelajari itu resikonya sangat tinggi, terutama berkaitan dengan kemungkinan orang diabet juga terinfeksi penyakit lain. Jadi kaya dengan tuberkolosis, penyakit ginjal. Jadi diabet itu pintu masuk segala penyakit.

Kader yang direkrut ini volunteer?

Volunter, walaupun ada transportasi, ya. Jadi mereka lebih bekerja secara kelompok. Jadi kalau misalkan melakukan screening, biasanya mereka turun ada 4 orang. Mereka yang ngatur sendiri untuk itu. Volunter, Mas.

Bagaimana antusiasme masyarakat terhadap program ini?

Ini gak hanya sosialisasi, tapi juga langsung screening, ya. Antusias masyarakat itu memang berbeda di desa dan kota berbeda, ya. Jadi kalau di Jakarta tidak terlalu mudah karena kegiatan kemasyarakatan itu agak sulit digagas kalau di perkotaan, tetapi kalau di pedesaan, misalnya di Blitar sama Jombang, karena terutama saya pikir karena daerah NU, itu yang pertama, kedua karena daerah yang luas pada saat itu pendekatan ke masyarakat lebih mudah dilakukan, lebih efektif.

Berarti ini menjadi PR di kota ya?

Iya, di kota. Sementara angka DM itu di perkotaan itu lebih tinggi karena gaya hidup masyarakat, jadi kurang gerak. Tidak hanya makanan, ya, tapi juga kurang gerak salah satu penyebab. Terus potensi lainnya merokok karena merokok Itu juga salah satu faktor risiko untuk diabet.

Lalu apa yang harus dievaluasi untuk di kota?

Kita pikir gini, ya, karena kemarin kita juga lakukan kayak survei terhadap misalnya di Depok. Depok kan semi perkotaan, terus jadi hasil survei nya terlihat bahwa masyarakatnya itu untuk informasi media informasinya mereka lebih memilih misalkan media internet, terus juga jadi lebih kepada sosial media, sementara kalau di daerah pedesaan, kita ngambil sampelnya Blitar yang mereka pilih memang kegiatan kemasyarakatan untuk mengambil informasi.

Jadi perlu sekali kita ketika untuk mengembangkan masyarakat untuk memberitahu masyarakat itu kita harus sensitif mengetahui situasi lokal. Jadi misalnya kaya di perkotaan mereka kan akses internet lebih banyak, ya, sehingga yang penting sekali kita lakukan menurut saya, ya, kita menyediakan informasi yang gak hoaks gitu loh. Jadi yang bener, yang menjadikan akses mereka dan misalnya memakai aplikasi berbasis internet itu akan bisa. Kalau di pedesaan masih guyub, jadi kegiatan kemasyarakatan itu lebih menjadi pilihan mereka untuk media di edukasi.

Bagaimana hasil dari program yang telah dilakukan selama dua tahun itu? 

Hasilnya kalau untuk kegiatan screeningnya bagus, ya, Mas. Jadi kita mencapai lebih dari yang kita jadi target. Targetnya 24 ribu, kita nyampe screeningnya 25 ribu. Terus yang menjadi tantangan adalah karena kan udah ketemu tuh orang ini gula darahnya terganggu, Jadi biasanya disebut di atas 200 itu gula darahnya sudah dianggap gula darah terganggu. Seharusnya dia datang nih ke layanan: apakah ke puskesmas apa klinik, tapi dia nggak datang dengan berbagai macam alasan, ‘oh ini kan penyakitnya gak serius’.

Kalau mereka menganggap diabet itu kalau masih 200 itu masih oke-oke saja. Jadi intinya menganggap penyakit itu gak serius. Padahal dia datang ke layanan terus dia harus dipantau minimal 3 bulan: apakah kadar gulanya memang tetap tinggi. Nah kalau tetap tinggi baru dia mengerti, mereka diberi pengobatan tapi kalau tidak dia bisa di diet saja. Nah, itu yang tidak dilakukan masyarakat. Jadi jumlah yang dirujuk oleh kader hanya 30% yang melanjutkan pemeriksaan pelayanan.

Setelah penemuan LKNU itu, apa rekomendasi untuk pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan?

Kegiatan ini memang untuk menemukan karena diabet ini harus ditemukan lebih awal supaya nggak sampai komplikasi yang masih ya yang kakinya sampai harus diamputasi. Jadi ditemukannya harus awal. Awalnya Itu tadi kayak gejala-gejala dia Apakah gula darahnya tinggi atau hipertensi atau faktor risikonya: lingkar perutnya, terus berat badannya yang seperti itu. Jadi ini yang tugas masyarakat. Jadi tadi kita merekomendasikan ke pemerintah, harusnya pemerintah mengalokasikan dana khusus untuk kegiatan preventif, promotif di masyarakat, terutama seperti yang dilakukan LKNU.

Tadi kan di acara ada Subdit DM GM Kementerian Kesehatan. Apakah ada respons?

Respons positifnya Subdit dalam hal ini Kementerian Kesehatan akan memasukkan LKNU sebagai karena untuk nasional ini belum punya technical working group yang akan merancang kegiatan, terus bagaimana mengimplementasikan. Nah, mereka akan memasukkan perwakilan LKNU di dalam technical working group itu sendiri. Jadi technical working group ini nanti akan bekerja strategi nasional, terus juga memastikan kegiatannya terjadi.

Terus juga tadi ada beberapa catatan beberapa daerah seperti Jombang, Blitar menyampaikan bahwa beberapa desa sudah mengalokasikan dana desa untuk diabet. Jadi ini adalah hasil kerja dari kegiatan dengan LKNU karena kita latih mereka advokasi juga, dan sudah membuahkan hasil. Jadi untuk tahun 2020, beberapa desa sudah dibiayai untuk kegiatan diabet.

Dari hasil program itu, pesan apa yang bisa disampaikan kepada masyarakat?

Pesannya: kenali faktor risikonya. Jadi misalkan lingkar badan, lingkar pinggang, terus juga berat badan, indeks massa tubuh yang kedua, terus pola makan. Jadi pola makanya banyakan makan karbohidrat, tetapi kurang sayur. Jadi makanan diet yang tidak seimbang itu ya itu sangat perlu diperhatikan dan juga yang tadi, di cek gula darah secara teratur. Paling tidak, Mas, diet makannya itu seimbang.