Wawancara

Peran NU untuk Indonesia dalam Perang Dagang AS-China

Rab, 28 Agustus 2019 | 04:00 WIB

Peran NU untuk Indonesia dalam Perang Dagang AS-China

Pemerhati Geopolitik-Ekonomi Abdul Aziz Hasyim Wahid. (Foto: NU Online/Syakir NF)

Perang dagang antara Amerika Serikat dan China sejak Maret 2018 lalu itu telah membawa dampak terhadap perekonomian global. Pasalnya, tarik menarik harga di antara keduanya membuat ekspor impor beberapa negara tersendat. Tak terkecuali Indonesia yang juga memiliki hubungan dagang dengan kedua negara adidaya itu.

Selain memberi dampak negatif pada dunia ekonomi Indonesia dengan kedefisitannya, hal tersebut juga memberi peluang tersendiri bagi Indonesia mengingat posisi geografisnya yang tidak begitu berjauhan dengan China mengingat adanya kemungkinan peralihan perdagangan.

Dalam melihat Indonesia menghadapi perang dagang AS dan China, wartawan NU Online Syakir NF menemui Pemerhati Geopolitik-Ekonomi Abdul Aziz Hasyim Wahid yang juga aktif sebagai Ketua Bidang Hubungan Internasional Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda (GP) Ansor usai mengisi diskusi yang digelar oleh Front Mahasiswa Nahdlatul Ulama (FMNU) dengan tema Dampak Perang Dagang Amerika-China terhadap Indonesia di Tebet, Jakarta, Selatan, Senin (26/8).

Perang Dagang antara Amerika Serikat dengan China, di mana posisi Indonesia?

Perang Dagang Amerika dan China sebetulnya negara mencari alternatif lain outsource dengan menanamkan modalnya mengalihkan produksinya ke China untuk kemudian produksi dengan biaya lebih rendah, mau gak mau harganya akan naik. Tapi kita tahu kebijakan Presiden Amerika yang sekarang kan juga ke China masih menahan kenaikan tarif sampai akhir tahun ini sehubungan dengan itu kan waktu kaitannya dengan indeks konsumsinya secara agregat. Jadi, mereka masih menunggu itu.

Bagaimana Indonesia harusnya mengambil posisi dalam Perang Dagang AS dengan China itu?

Industri memikirkan untuk shifting ke negara lain, kita seharusnya bisa menjadi niche market (pasar khusus) kemudian apa yang bisa dilakukan sehingga mereka bisa tertarik untuk shift. Kita bisa mengambil keuntungan dari shifting, nggak di China ya di Vietnam. Untuk itu, kita harus siap di infrastrukturnya, pengembangan kapasitas sumber daya manusianya, kemudahan penanaman modal asing juga penting sekali, yang paling penting pemerataan. Negara asia tenggara lain juga berpikir sama menjadi alternatif ke negara lain.

Apakah Indonesia bisa menjadi alternatif ketiga di tengah pergolakan dua kutub besar?

Kalau untuk di perang dagang ini satu hal yang nanti ujungnya jalurnya ke WTO (World Trade Organization). Itu sudah ada mekanismenya, kita cermati November nanti di Chili (dalam gelaran APEC), gimana tuh gesturenya Trump ketemu Xi Jin Ping. Kita gak tahu pembicaraan pejabat di dalamnya sudah seperti apa. Kita masih wait and see.

Bagaimana kesiapan Indonesia menghadapi Perang Dagang AS China yang sudah berlangsung lebih dari setahun itu?

Kesiapan dalam arti luas, perang dagang ini kan sesuatu yang tidak bisa diprediksi. Itu kesatu. Kedua dampaknya tidak cuma di Indonesia. Meskipun ini antara Amerika dan China, kesiapan kita kan hubungannya mampu kita menjadi nische market tadi sehingga kita bisa menjadi alternatif kalau memang akhirnya ini menjadi berkepanjangan.

Kalu dari sudut Chinanya, Yuannya makin rendah, misalnya, gimana konsumsi barang produksi dalam negeri untuk secara alami menahan pemakaian produk yang tidak diproduksi lokal. Kalu tidak ya dilihat kandungan produk dalam negerinya. Ya sebisa mungkin ada impactnya lah di produksi domestik.

Jika melihat Perang Dagang AS China yang sudah cukup berdampak terhadap perekonomian dunia, termasuk Indonesia, apa peran yang bisa dimainkan oleh NU sebagai sebuah kekuatan masyarakat sosial?

Ini kan dua hal yang terpisah ya. Satu bicara ekonomi makro kebijakan yang satu bicara grassroot. Tapi untuk ketahanan, untuk resistensi NU, NU sih dari krisis ke krisis survive yah. Karena kan kalau mau digalakkan lagi sebetulnya pemberdayaan ekonomi umat dalam bentuk UKM secara lokal bisa jalan. Yang penting tadi peningkatan kapasitas sumber dayanya dan permodalan trading dan pemerataannya.

Lalu, bagaimana praktisnya NU mengambil peran untuk dapat meningkatkan perekonomian Indonesia sehingga tidak terjepit di antara dua raksasa besar?

Yang paling simpel saja first moving consumer roots. Daripada beli merk lain kan misalnya beberapa desa bergabung memproduksi barang-barang simpel saja, sabun misalnya. Saya rasa itu sudah banyak jalan kok di pondok pesantren. Cuma koordinasi dan sinerginya ini loh, kalau bisa dibawa sampai nasional bisa jadi bentuk resistensi yang lebih kuat terhadap polaritas yang terjadi, menghadapi krisis yang akan terjadi dalam waktu dekat dan lambat dan itu mengurangi konsumsi terhadap imporlah karena benar-benar full dari lokal.

Secara lingkungan juga dampaknya bagus kan. Apa yang digunakan untuk konsumsi kembalinya ke masyarakat lagi. kan sebelum NU juga kan NT Nahdlatut Tujjar, jaringan antarpedagang, komoditi ini di sini, komoditi itu di situ. Kemudian dicrosstrading ya seharusnya kita bisa belajar dari sejarah itulah.

Pewawancara: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad