Ada yang berbeda dari kamar nomor lima daerah kawasan Ibnu Hajar. Terlihat tambahan satu lemari pojok sebelah kanan samping pintu. Memang satu kamar hanya mampu menampung maksimal lima lemari.
Rupanya ada santri baru menghuni di kamar tersebut.
āGus, penerimaan santri baru kan sudah usai, kok masih ada tambahan santri di kamar saya,ā tanya Saleh kepada Gus Taufik selaku ketua pengurus bagian Humas. Saleh sendiri merupakan ketua kamar lima yang memang bertanggung jawab atas semua keadaan kamar.
āTidak apa-apa, Saleh, tak keberatan kan kau kutempatkan santri itu di kamarmu utuk sementara saja,ā ucap Gus Taufik.
āIya, Gus, tidak apa-apa. Tapi kok mendadak, Gus?ā
āOrang tua anak itu memohon-mohon kemarin agar anaknya minta dipondokkan di sini,ā jawab Gus Taufik.
āMemang Pak Kiai mengizinkan, Gus?ā
āKalau menurut aturan sih sudah tidak boleh lagi menerima santri bulan ini karena waktu penerimaannya sudah habis, tapi ini sudah perintah langsung dari Pak Kiai semalam kepadaku,ā jelas Gus Taufik.
āOalah gitu, Gus, namanya siapa, Gus, santri baru itu?ā
āMuhammad Taslim, dipanggil Taslim. Kenapa Saleh?ā
āTidak apa-apa, Gus, kelihatan... hehehe,ā kata Saleh tak sempat menyelesaikan perkataannya. Tapi sepertinya Gus Taufik mengerti.
āBiasa masih santri baru, nanti juga membaur seperti yang lain,ā jawab Gus Taufik dengan tersenyum.
Taslim. Ia berasal dari salah satu kota besar di Jawa Timur. Umurnya baru delapan belas tahun. Ia merupakan anak tunggal dari pasangan keluarga yang bapak dan ibunya bercerai. Sejak umur 10 tahun ia tinggal dengan ibunya yang sehari hari bekerja sebagai buruh pabrik. Keadaan ini membuatnya tumbuh dalam keadaan psikologis yang sedikit rusak. Apalagi sejak ia mulai sekolah di SMA ternama. Banyak kelakuan nakalnya yang semakin menjadi. Terahkir iaĀ ikut tawuran antarsekolah. Ia sempat dibawa ke kantor polisi dan mendapat hukuman ringan. Kelakuannya semakin membuat ibunya geram dan mulai berpikir untuk memasukkan anaknya itu pondok pesantren. Ini yang menjadi pertimbangan pihak pengelola pondok, terutama Pak Kiai, untuk tetap menerimanya, walaupun jangka penerimaan santri baru telah habis.
āAssalamualaikum, Taslim,ā sapa Saleh hendak mengajaknya bicara.
āSiapa kau?ā dengan tak menjawab salam, Taslim malah balik bertanya dengan wajah tidak senang.
āPerkenalkan, namaku Saleh, ketua kamar di siniā
Taslim tak menghiraukan sedikit pun pembicaraan Saleh. Dia menganggap Saleh hanya sombong belaka karena menjabat sebagai ketua kamar. Dari awal Taslim sudah tidak setuju kalau dirinya harus ada di pondok. Di pikirannya anak pondok itu kampungan, dekil, norak, dan ketinggalan zaman. Apalagi ditambah realita kehidupan pondok yang serba sederhana, disiplin, dan tentunya harus keluar dari zona nyaman kehidupan luar. Ini semua jelas tidak cocok dengan gaya hidup Taslim. Tapi apa daya karena sudah paksaan dari ibunya, Taslim terpaksa menuruti.
āYa sudah, selamat datang di kamar ini, semoga kau cepat kerasan,ā ucap Saleh kembali. Taslim tetap saja diam. āKalau ada yang perlu dibantu tidak usah sungkan-sungkan, bilang saja,ā sambung Saleh.
Sambil melihat ke arah Saleh, Taslim pun bicara, āaku perlu kau pergi, aku ingin sendiri,ā katanya dengan nada serius. Mendengar jawaban Taslim, Saleh hanya tersenyum, kemudian berlalu.
Azan maghrib mulai berkumandang. Semua santri bergegas mengambil air wudhu. Kemudian lanjut ke mesjid sambil membawa Al-Qurāan karena sehabis shalat berjamaah kegiatan di pondok itu adalah setoran ngaji Al-Qurāan sampai waktu isya tiba. Taslim pun dengan tubuh terpaksa mengikuti santri yang lain, dia bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, walaupun sebenarnya tak tahu cara wudhu yang benar karena shalat pun jarang.
Maghrib berjamaah pun usai. Kini berlanjut dengan setoran baca Al-Qurāan. Masing-masing santri biasanya menyetor bacaanĀ kepada ustad atau pengurus yang ditunjuk langsung kiai. Setor bacaan Al-Qurāan ini memang agenda yang tidak boleh dilupakan sedikit pun karena ditekankan penuh kiai. Hal ini bertujuan agar santri tak lupa dengan budaya baca Al-Qurāan.
āHai, kau santri yang namanya Taslim?ā ucap salah seorang santri.
āIya, ada perlu apa kau?ā
āKau dipanggil Gus Taufik.ā
āMau apa dia?ā
āBagian setor Al-Qurāan, kamu ke Gus Taufik.ā
āGus Taufik? Siapa dia?ā
āDia pengurus pesantren bagian Humas. Nah kau dapat bagian setor Al-Quāan kepadanya malam ini,ā ucap santri itu dengan lebih jelas lagi.
āBilng kepada dia, aku lagi ga enak badan, mau ke kamar,ā ucap Taslim singkat, kemudian segera beranjak dan berlalu turun dari mesjid menuju kamar.
Dari kejauhan, diam-diam Gus Taufik memperhatikan percakapan santri yang disuruhnya untuk memanggil Taslim. Setelah mendengar penjelasan dari santri yang disuruhnya, Gus Taufik hanya tersenyum kemudian melanjutkan kembali tugasnya. Dilihatnya Taslim dengan muka kebohongan bergegas turun dari mesjid.
āHei, kau,ā suara lantang terdengar memanggil Taslim. Ia sadar panggilan itu tertuju kepadanya, tapi tak menghiraukan panggilan tersebut dan tetap berlanjut jalan.
āHei kau yang jalan, tak dengar kau orang paggil di sini,ā ternyata yang berteriak bernama Bahar. Ia merupakan kepala keamanan pusat pesantren. Mukanya hitam sangar, badan tinggi, tegap dann berisi. Di tangannya, pesantren menjadi disiplin, banyak kasus santri yang ia selesaikan, dari pencurian sampai santri yang berani berhubungan diam-diam dengan santri putri. Ditambah badan tinggi, tubuh kekar, dan suara yang lantang, pantas bila Bahar dipercaya kyai untuk menjadi kepala keamanan pesantern selama tiga tahun.
Taslim pun berhenti melangkahkan kakinya. Ia menoleh ke arah Bahar, memandang dalam-dalam mukanya.
āKau memanggilku?ā tanya Taslim dengan santai.
āSiapa yang mengajari kau menjawab lancang dan mengangkat kepala kepada pengurus?ā tanya Bahar serius.
āHarus sebegitu bodoh? Harus menundukkan kepala kepadamu?ā
āSudah tak tahu sopan santun, tak sadar juga kau dengan salahmu? ā Ā
āMemang apa salahku?ā
āNgapain kau turun dari mesjid sekarang? Bukannya masih waktunya kegiatan sekarang?ā tanya Bahar.
Belum sempat Taslim menjawab, ada suara yang memanggil Bahar.
āBahar, sudah tinggalkan saja anak itu,ā ucap Gus Taufik yang tiba-tiba muncul dari belakang. Mendengar ucapan Gus Taufik, Taslim pun secepatnya berlalu.
āSiapa santri itu, Gus?ā tanya Bahar kepada Gus Taufik.
āDia Taslim, santri baru di sini, baru tadi siang di sini.ā
āPantas dia lancang sekali, Gus.ā
āSudahlah Bahar, santri macam ini biar aku yang coba urus.ā
Di dalam kamar, Taslim semakin gelisah. Jauh dari pikiran mengenai beberapa kejadian tadi, dia merasa semakin terpuruk dan tertekan berada dalam lingkungan pesantern seperti ini. Pikirnya jangankan makan, tidur pun tak enak.
Sekitaran jam 11 malam, di waktu kegiatan pesantren telah usai, segera ia menyaipakan ranselnya, dimasukkan semua baju. Taslim pun akhirnya memilih jalan untuk kabur dari pesantren. Malam yang gelap dan jalanan di luar yang belum ia paham, tak dihiraukan. Taslim tetap bertekad untuk pergi. Agar tidak ketahuan pengurus pesantren, ia memilih jalan belakang, melompati jendela kamar, kemudian menaiki pagar pembatas pondok. Namun Taslim belum tahu, setiap malam terdapat beberapa santri yang berkeliling pondok sebagai tugas piket malam menjaga keamanan pesantren dari luar. Salah satu santri yang bertugas bernama Tayyib menemukannya. Melihat Taslim kabur, santri itu pun mengejarnya, tapi dia tak dapat mengejarnya. Santri itu pun segera kembali ke pesantren hendak melapor kepada Bahar.
āBahar,..!ā dengan suara yang masih terpatah-patah ia memanggil Bahar
āIya ada apa?ā bahar menanggapi serius kedatangan Tayyib.
āAda santri kabur tadiā
āHah? Sungguh? Dari mana tau kau itu santri?ā
āAku masih lihat dia tadi di masjid, waktu shalat maghrib berjamaah, dia di sebelahku,ā
āSiapa dia? Siapa namanya?ā
āAku tak tahu namanya,ā
Mendengar laporan tersebut, Gus Taufik yang dari tadi bersama Bahar, akhirnya bergegas pergi ke kamar Saleh. Tak lama pun Gus Taufik kembali.
āBahar, yang kabur itu Taslim,ā ucap Gus Taufik.
āSudah kuduga, Gus.ā
āBiar aku saja yang urus dia besokā
āKenapa enggak sekarang, Gus?ā
āKereta mana ada yang berangkat malam begini, aku yakin besok dia masih di stasiun,ā ucap Gus Taufik yakin.
Transportasi satu-satunya untuk keluar dari daerah pesantren hanya kereta api saja, dan hanya melayani pemberangkatan pada pagi sampai sore. Memang Taslim pun tidak akan berani jalan kaki untuk keluar memang kawasan yang masih pedalaman ini yang menjadi pertimbangan Gus Taufik.
Keesokan harinya, sepagi mungkin Gus Taufik bergegas berangkat ke stasiun, dan dugaannya pun tidak meleset. Tak lama pula ia mencari Taslim. Ia duduk di kursi pemberangkatan.
āJam berapa keretanya berangkat?ā tanya Gus Taufik.
Muka Taslim tiba-tiba kaget melihat Gus Taufik duduk disampingnya, belum sempat Taslim menjawab, Gus Taufik udah kembali berucap, āsudah makan belum? Baiknya makan dulu sebelum berangkat,ā kata Gus Taufik kembali sambil menyodorkan nasi bungkus. Taslim pun tak sanggup kalau harus menolak nasi bungkus itu karena ia memang benar-benar lapar.
āKenapa Sampeyan di sini?ā tanya Taslim.
āUntuk menemuimu, Taslim!ā
āUntuk apa? Mengajakku kembali ke pesantren?ā
āAwalnya sih begitu niatku, tapi setelah melihat kau mau menerima nasi bungkus itu, aku jadi bingung.ā
āSaya tak mengerti, maksud sampeyan apa?ā tanya Taslim heran.
āAwal di pesantren dulu, akuĀ juga mengalami keadaan sepertimu.ā
Mendengar jawaban itu, Taslim semakin keheranan dan bingung maksud dari Gus Taufik. Namun ia mulai berpikir mengapa ia begitu dipedulikan, Taslim pun kembali bertanya.
āKenapa Sampeyan begitu peduli kepada saya?ā
āKarena kamu dititipkan kepadaku oleh orang tuamu sendiri. Jadi, aku punya tanggung jawab kepada orang tuamu.ā
āKenapa begitu yakin, saya akan kembali ke pesantren?ā
āSetidaknya saya sudah berusaha untuk mengajakmu kembali.ā
Taslim hanya terdiam mendengar jawaban tersebut, ābeginikah rasa persaudaraan dibangun di pesantren,ā ucap Taslim dalam hati.
āAku tak berhak memaksamu untuk kembali ke pesantren, ini hidup kamu. Dan jadi santri, tak seburuk yang kau pikirkan saat ini,ā ucap Gus Taufik kembali sambil memegang pundaknya dan menatap mukanya dengan tersenyum.
Gus taufik kembaliĀ berkata,āhabiskan makanmu, lalu bergegaslah pulang, sampaikan salam pesantren kepada keluargamu. Apabila hendak berubah pikiran, kembalilah ke pesantren, tangan kami selalu terbuka,ā ucap Gus Taufik sambil beranjak pergi.
Taslim masih diam. Di hadapannya dua jalan. Maknanya samaāsama pulang, tapi ke rumah atau pesantren?
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
2
Khutbah Idul Adha: Menanamkan Nilai Takwa dalam Ibadah Kurban
3
Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama
4
Khutbah Idul Adha: Implementasi Nilai-Nilai Ihsan dalam Momentum Lebaran Haji
5
Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa 1446 H: Makna Haji lan Kurban minangka Bukti Taat marang Gusti Allah
6
Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan
Terkini
Lihat Semua