Daerah

Gus Muwafiq Ingatkan Bahaya Gerakan 'Kembali ke Al-Qur'an-Hadits Saja'

Sen, 31 Agustus 2020 | 06:30 WIB

Gus Muwafiq Ingatkan Bahaya Gerakan 'Kembali ke Al-Qur'an-Hadits Saja'

KH Ahmad Muwafiq (Gus Muwafiq) menyemarakkan ceramah agama di peluncuran Kiai Wahab Chasbullah Foundation. (Foto: Istimewa)

Jombang, NU Online 
Tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU), KH A Muwafiq (Gus Muwafiq) mengingatkan bahayanya kelompok yang ingin kembali ke masa lalu (zaman Nabi) dengan dalih kembali ke Al-Qur'an-Hadits dan mengesampingkan keberadaan mazhab.
 
"Ada sebagian umat Islam yang ingin kembali ke asal, zaman rasul yaitu Al-Qur'an-Hadits, secara teori ini akan ada benturan keras. Karena menentang sistem beragama mayoritas Islam Indonesia," katanya saat hadir di Launching Kiai Wahab Chasbullah Foundation, Ahad (30/8) malam di Ndalem Kasepuhan Kiai Wahab Chasbullah, Tambakberas, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
 
Menurut Gus Muwafiq, kelompok Islam model begitu membuat keindahan Islam rahmatal lil alamin jadi bermsalah. Hanya karena ada orang orang balik arah ke zaman dulu. 
 
Dai asal Jogjakarta ini menduga kelompok yang demikian kemungkinan karena kurang sangu (bekal) ilmu agama dan takut akan perjalanan panjang di masa depan. Sebab tak paham maqashidus syariah.
 
"Mundur tidak ada masalah kalau tahu jalan dan maqosidul syariah. Piagam madinah adalah fondasi yang dibangun Nabi dalam berinteraksi sesama manusia. Kita rasakan hari ini di Indonesia kebebasan beragam," ujarnya.
 
Gus Muwafiq menegaskan, kelompok tersebut semakin tak jelas saat tiba-tiba kembali ke zaman lalu yang dimaksud adalah mundur ke zaman khilafah. Sesuatu yang tidak ada jejak di negara manapun. Termasuk mengait-ngaitkan dengan kerajaan di nusantara.
 
Para wali yang dakwah di Indonesia membangun wilayah-wilayah dan kemudian bersatu jadi wilayah kesatuan negara republik Indonesia. Karena ini desain para wali.
 
Saat ini para wali itu yang meneruskan adalah jamiyah NU. Oleh karenanya, siapapun yang hidup di negara ini, semua harus bersyukur hadirnya wali, termasuk Wali Songo. Para wali ini membentuk atau kerja sama dengan kerajaan untuk syiar dan dakwah.
 
Gus Muwafiq mengajak kelompok ini mempelajari sejarah. Apalagi jika ukuran hubungan kerajaan nusantara dan khilafah adalah Turki Usmani. Hal itu, menurut Gus Muwafiq bukan khilafah karena dipimpin oleh raja, kerajaan atau monarki.
 
Dalam penegasan Gus Muwafiq, kelompok yang mengatakan kerajaan-kerajaan di Indonesia adalah jejak khilafah karena bagian dari Turki Usmani maka mereka sudah telat menyatakan itu. Karena mereka lebih dulu menolak para wali. 
 
"Mereka tidak mengakui para wali dan ajarannya dianggap musyrik lalu kenapa produk para wali yang membentuk kerajaan atau khilafah menurut mereka mereka akui. Sedangkan walinya gak diakui. Ini jadi masalah," tegasnya.
 
Ia menambahkan, para pengusung konsep kembali ke zaman dahulu ini akan berhadapan dengan seluruh sistem yang dibangun para ulama lebih dahulu. Sistem yang diserap dari cara Nabi berhubungan dengan orang Yahudi, Para ulama membuat qiyas dalam sistem ekonomi.
 
Orang yang kembali ini biasanya mengharamkan bank tapi tidak konsisten. Bank bagi mereka tidak ada contoh pada zaman Nabi. Di sisi lain secara diam-diam menggunakan produk bank yaitu uang. Pergi haji juga menggunakan jasa bank. Hal ini bagi Gus Muwafiq sangat rancu. 
 
Orang yang punya pikiran mundur ini menjadi suatu permasalahan dan pikiran kita semua. Pesantren, katanya, memiliki tanggung jawab membangun pendidikan, membekali orang yang maju (moderat) dan syiarkan.
 
Sejak dulu sudah ada model manusia yang mengajak kembali ke Al-Qur'an dan Hadits. Salah satunya muncul ajaran mu'tazilah. Secara sunnatullah ajaran ini sulit diterima orang. Makanya mereka memaksa dengan cara merebut kekuasaan.
 
Sementara itu, di Indonesia ada sebuah sistem beragama yang dibangun ulama tanpa dipaksa kekuasaan dan berjalan damai ala NU. 
 
"Peletak dasarnya NU adalah Mbah Wahab. NU punya sistem perawatan kebangsaan yang sampai hari ini susah dicari tandingan. Jasa besar Mbah Wahab adalah menyelaraskan agama dan bangsa," tutup alumni PMII ini.
 
Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Syamsul Arifin