Daerah

Ibu, Pintu Utama Penanaman Pancasila Sejak Dini

Ahad, 11 September 2022 | 14:00 WIB

Ibu, Pintu Utama Penanaman Pancasila Sejak Dini

Workshop Fatayat NU Yogyakarta bersama BPIP. (Foto: Istimewa)

Yogyakarta, NU Online

Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta KH Ahmad Zuhdi Muhdlor menyampaikan bahwa ibu merupakan pintu paling tepat dalam penanaman Pancasila sejak dini. Sebab, sebagaimana dimaklumi bersama, bahwa ibu merupakan madrasah pertama bagi anak-anak.


Hal itu disampaikannya dalam Workshop Pembinaan Ideologi Pancasila untuk Perempuan Penggerak Masyarakat yang diselenggarakan oleh Pimpinan Wilayah Fatayat NU DIY bekerja sama dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Hotel Ros In Yogyakarta pada Sabtu (10/9/2022) siang.


Ia menegaskan, bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini juga diterima secara sepakat oleh seluruh kiai NU pada Muktamar NU Situbondo pada tahun 1984.


“Pancasila adalah amanat dari Muktamar Situbondo. Amanat ini harus dijalankan oleh seluruh pengurus NU dari tahun ke tahun. Maka jika hari ini Fatayat menjadi kader Penggerak Pancasila, harus dijalankan dengan sebaik-baiknya,” kata 


Peran perempuan

Dalam kesempatan tersebut, hadir sebagai pembicara adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI H Hilmy Muhammad. Menurut Gus Hilmy, panggilan akrabnya, merunut sejarahnya, gerakan perempuan menjadi bagian dari tonggak kebangkitan bangsa. Hal ini ditandai dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta di Gedung Joyodipuran Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928. Atas peristiwa ini dan juga Kongres Boedi Oetomo dua puluh tahun sebelumnya, Yogyakarta juga disebut sebagai kota pergerakan.


Peran perempuan lain yang patut dicatat, menurutnya, adalah turut berperan sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yaitu Raden Nganten Siti Sukaptinah Sunaryo, Raden Ayu Maria Ulfah Santoso, dan Ibu Khusna Ruswo. Negara memberikan pengakuan yang besar dengan memberikannya gelar pahlawan.


“Peran perempuan bagi negara tidak pernah dipinggirkan. Ada banyak pahlawan perempuan. Penghargaan kepada perempuan itu tercermin dalam nilai-nilai Pancasila yang juga mengandung nilai-nilai feminis,” ujar Katib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.


Sebagai turunan dari nilai-nilai Pancasila, peraturan perundang-undangan yang mengandung muatan perlindungan hak asasi perempuan, menurut Gus Hilmy, tecermin dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, UU Politik (UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 42 Tahun 2008), UU Nomor 12 tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan lain sebagainya.


Selain itu, Gus Hilmy juga mengingatkan peran perempuan, baik secara peran dasar maupun sosial. Peran tersebut terwujud dalam perempuan sebagai madrasah pertama, perempuan sebagai istri, perempuan sebagai anak, dan perempuan di ranah publik.


Sementara itu, Plt Direktur Pelaksanaan Diklat BPIP RI Mahnan Marbawi menjelaskan permasalahan dasar penanaman nilai-nilai pada anak. Hampir semua orang tua menyerahkan pendidikan anaknya kepada gawai agar lebih leluasa melakukan banyak hal.


“Padahal, anggota Fatayat adalah kelas menengah strategis, ekonomi relatif mapan, dan memiliki pendidikan cukup. Oleh sebab itu, yang paling tepat mendidik anak-anak adalah anggota Fatayat sendiri agar generasinya menjadi generasi yang strategis,” kata pria yang juga sebagai Ketua Umum Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) tersebut.


Editor: Syakir NF