Daerah

Kapitalisasi Panggilan 'Gus', Keuntungan Besar Tanpa Perlu Uji Kompetensi

Ahad, 7 Agustus 2022 | 06:00 WIB

Kapitalisasi Panggilan 'Gus', Keuntungan Besar Tanpa Perlu Uji Kompetensi

Pengasuh Pesantren Asrama Queen Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang HM Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans). (Foto: Istimewa)

Jombang, NU Online
Pengasuh Pesantren Asrama Queen Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang HM Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans) mengatakan bahwa orang yang bukan keturunan kiai, tapi dipanggil 'Gus' adalah 'Gus' naturalisasi. Termasuk kapitalisasi panggilan 'Gus'.


“Definsi 'Gus' itu simpel. 'Gus' adalah sebutan untuk putra seorang kiai. Sebutan 'Gus' untuk seseorang yang bukan putra kiai adalah Gus jadi jadian, Gus naturalisasi, baik ciptaan media maupun panggilan seenaknya dari para pengikut atau pengagumnya,” jelas Gus Hans kepada NU Online, Sabtu (6/8/2022).


Menurutnya, mereka yang menyandang panggilan 'Gus' tidak harus alim dalam bidang agama. Namun, sangatlah disayangkan jika panggilan 'Gus' dikapitalisasi untuk menipu atau mencari keuntungan materi.


“Saat ini, siapa saja bisa mengaku 'Gus' untuk mendapatkan privilege yang bisa dikapitalisasi,” jelas Gus Hans.


Bagi dia, sangat disayangkan juga ketika praktik pengobatan alternatif dibungkus dengan atribut agama atau panggilan 'Gus' agar laris. Ada juga orang yang mendadak 'Gus' saat menjelang pemilu agar orang lebih percaya.


“Bisnis permainan kepercayaan ini memang lebih menggiurkan karena tidak perlu ada alokasi anggaran uji kompetensi, uji klinis, dan penelitian. Penentuan tarifnya pun tidak ada HET (harga eceran tertinggi) layaknya obat pabrikan,” tegasnya.


Dikatakan Gus Hans, praktik pengobatan alternatif atau biasanya disebut perdukunan akan semakin laris ketika ada label panggilan 'Gus' di depannya. Status sosialnya akan naik dan banyak yang datang minta obat. Harga biasanya seikhlasnya, tapi tanpa penentuan batas harga tertinggi.


“Penghasilan tinggi ini yang dibutuhkan hanyalah kemampuan komunikasi dan teaterikal dalam meyakinkan pasien. Kemampuan yang tidak kalah penting  untuk dimiliki adalah tatag melawan hati nurani,” imbuh Wakil Rektor UNIPDU Jombang ini.


Seharusnya, kata dia, jika sebutan 'Gus' diberikan kepada seseorang karena dia putra kiai, lalu apa yang bisa dibanggakan? Justru yang ada adalah beban moral menjaga nama besar orang tuanya.


“Ada beban mental ketika kemampuannya terkadang tidak dapat menjawab ekspektasi masyarakat,” ujar Gus Hans.


Hal senada disampaikan oleh Pengasuh Pesantren Putri Tebuireng KH Fahmi Amrullah Hadzik mengatakan bahwa gelar 'Gus' tidak sembarangan boleh dipakai seseorang.


Menurut Gus Fahmi, menyandang gelar 'gus', lora, ajengan, dan lain sebagainya merupakan penanda bahwa dia putra ulama/kiai, tentu tidak sembarangan. Harus diiringi sifat, akhlak, dan adab yang baik.


“Sekarang banyak yang latar belakangnya tidak jelas, tapi punya kemampuan sedikit sudah dipanggil 'Gus'. Repotnya lagi, banyak yang memanipulasi gelar 'Gus' untuk keburukan. Tentu ini berbahaya bagi 'Gus-Gus' yang baik dan memang putra kiai,” tutup cucu Hadratussekh Hasyim Asy'ari ini.


Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Musthofa Asrori