Daerah

Ketua PCNU Kotim Sampaikan Pentingnya Moderasi Beragama kepada Guru Madrasah Ibtidaiyah

Ahad, 27 November 2022 | 07:00 WIB

Ketua PCNU Kotim Sampaikan Pentingnya Moderasi Beragama kepada Guru Madrasah Ibtidaiyah

Ilustrasi moderasi beragama.

Kotawaringin Timur, NU Online
Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Kotawaringin Timur (PCNU Kotim) H Zainuddin, menyampaikan pentingnya moderasi beragama pada kegiatan Bimbingan Teknis Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) Kelompok Kerja Madrasah Ibtidaiyah (KKMI) Kabupaten Kotim.


Dalam acara yang digelar di Aula Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, ini Zainuddin menerangkan bahwa moderasi merupakan jalan tengah atau sesuatu yang terbaik di antara dua hal buruk.


“Contohnya adalah keberanian. Sifat berani dianggap baik karena ia berada di antara sifat ceroboh dan sifat takut. Bisa juga dicontohkan dengan sifat dermawan yang baik karena berada di antara sifat boros dan sifat kikir,” urai Zainuddin di depan peserta bimtek.


Moderasi Beragama, lanjut dia, berarti cara beragama di jalan tengah sesuai pengertian moderasi. Diharapkan dengan moderasi seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran agamanya.


“Orang yang bisa mempraktikkan moderasi ini disebut moderat,” kata Zainuddin dalam keterangan tertulis dilihat NU Online, Sabtu (26/11/2022) malam.


Zainuddin menegaskan sifat ekstrem mempunyai konotasi buruk karena mengandung makna berlebihan terhadap sesuatu yang jelas buruk, seperti sifat kesombongan.“Bahkan sesuatu yang dianggap baik pun jika itu berlebih-lebihan implikasinya bisa menjadi buruk,” ungkapnya.


Dalam hal berlebih-lebihan terhadap kebaikan itu, Zainuddin kembali mencontohkan sifat kedermawanan. Karena kedermawanan yang dilakukan secara berlebih-lebihan juga bisa terjatuh kepada sifat keborosan. “Kalau sudah begitu, kebaikan pun bisa menjadi buruk,” tegasnya.


Sedangkan berlebih-lebihan dalam beragama yang kontra moderasi bisa terjadi ketika seorang pemeluk agama mengafirkan saudaranya sesama pemeluk agama hanya karena berbeda paham dalam keagamaanya.


“Seseorang bisa disebut berlebihan dalam beragama ketika ia sengaja merendahkan agama orang lain, atau gemar menghina figur atau simbol suci agama tertentu. Dalam kasus semacam ini ia sudah terjebak dalam ekstremitas yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip moderasi beragama,” kata Zainuddin.


Karena itu, orang moderat harus berada di tengah, berdiri di antara kedua kutub ekstrem itu. Ia tidak berlebihan dalam beragama, tapi juga tidak berlebihan menyepelekan agama. Dia tidak ekstrem mengagungkan teks-teks keagamaan tanpa menghiraukan nalar, juga tidak berlebihan mendewakan akal sehingga mengabaikan teks.


“Orang yang ekstrem sering terjebak alam praktik beragama atas nama Tuhan hanya untuk membela keagungan-Nya saja seraya mengesampingkan aspek kemanusiaan. Orang yang beragama dengan cara ini rela membunuh sesama manusia dengan atas nama Tuhan, padahal menjaga kemanusian itu sendiri adalah bagian dari inti ajaran agama,” tuturnya.


Diterangkan, pemahaman dan pengamalan keagamaan bisa dinilai berlebihan jika ia melanggar tiga hal. Pertama, nilai kemanusiaan. Kedua, nilai kesepakatan bersama. Ketiga, ketertiban umum.


“Orang moderat akan memperlakukan mereka yang berbeda agama sebagai saudara sesama manusia dan akan menjadikan orang yang seagama sebagai saudara seiman,” ujarnya.


“Orang moderat akan sangat mempertimbangan kepentingan kemanusiaan di samping kepentingan keagamaan yang sifatnya subjektif. Bahkan, dalam situasi tertentu kepentingan kemanusiaan mendahului subjektivitas keagamaannya,” imbuh Zainuddin.


Jadi, moderasi beragama sama dengan toleran, di mana toleran merupakan hasil dari sikap moderat. Seorang yang moderat bisa jadi tidak setuju atas sesuatu tafsiran ajaran agama. Akan tetapi, tidak menyalah-nyalahkan orang lain yang berbeda pendapat dengannya.


“Namun, tidak berarti orang yang moderat tidak teguh dalam beragama. Seorang yang moderat juga memiliki pendirian teguh dan semangat beragama yang tinggi, ia harus mampu memilah mana yang pokok ajaran agama dimana ia bisa berpendirian teguh dan mana tafsiran ajaran agama diana ia perlu toleran,” pungkas Zainuddin.


Kontributor: Cholid Tri Subagiyo
Editor: Musthofa Asrori