Daerah

Makna Tradisi Peutroun Aneuk dan Toeut Mercon

Jum, 6 Mei 2022 | 11:00 WIB

Makna Tradisi Peutroun Aneuk dan Toeut Mercon

Tradisi Peutroun Aneuk di Aceh.

Aceh, NU Online
Adat, tradisi, dan syariat menyatu dalam masyarakat Aceh sejak dulu dikenal dengan tradisi Peutroun Aneuk (turun tanah). Tradisi Peutron Aneuk adalah sebuah tradisi yang telah menjadi "keharusan" dalam kehidupan masyarakat Aceh.


"Tradisi Peutroun Anak merupakan rangkaian kegiatan dalam menyambut kelahiran anak (bayi) yaitu membawa anak turun ke tanah pada saat usia mencapai hari tertentu dan biasanya mencapai 44 hari atau lebih. Turun tanah bertujuan untuk memperkenalkan anak kepada lingkungan luas terutama sanak famili dan masyarakat lain untuk pertama kalinya," ungkap Tgk Iswadi Pimpinan Dayah Nurul Arifah al-Aziziyah Samalanga, Jumat, (6/5/2022).


Ia mengatakan, bahwa tradisi Peutron Aneuk di Aceh berbeda-beda. Ada yang melakukannya saat bayi berusia tujuh hari yang dibarengi dengan cukur rambut, akikah dan pemberian nama. Ada pula yang melakukan tradisi tersebut setelah anak berusia satu sampai dua tahun, lebih-lebih jika bayi itu anak pertama. Karena anak yang pertama biasanya upacaranya lebih besar.


Sosok yang akrab disapa Abah Iswadi itu menjelaskan bahwa tradisi Peutron Aneuk dan Peucicap yang dilakoni turun-temurun bagi masyarakat Aceh, memiliki nilai religi dan filosofi yang tinggi. Prosesi ini dimaksudkan sebagai media untuk membangun tanggung jawab bersama terhadap tumbuh kembang si bayi.


"Di balik tradisi Peutroun Anak ada makna filosofi yang sangat dalam di situ, umpamanya gerakan dalam ritual peucicap. Ini bukan sekadar untuk menyentuh rasa agar lidah si bayi lebih sensitif, tapi rasa-rasa manis yang disentuh ke organ perasa si anak juga disyaratkan diikuti dengan akhlaknya yang manis (baik) pula. Ini supaya akhlaknya si anak juga manis nanti, seperti buah-buah itu," ujarnya.


Wakil Katib Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bireuen itu mengatakan dengan melaksanakan khanduri ala kadar kepada kerabat dan sanak famili, upacara pun dimulai dengan peusijuek (tepung tawar) oleh pemuka agama (teungku) untuk memohon ridha Allah swt dan mendapat keberkahan.


Selanjutnya teungku atau ulama yang kebiasaan melakukan hal ini memperlihatkan cermin kepada anak dengan tujuan agar si anak kelak tidak lupa akan kodrat manusia yang penuh dengan kekurangan, bercermin untuk melihat kekurangan diri sendiri bukan hanya melihat kekurangan dan aib orang lain. Juga diperdengarkan nasehat-nasehat yang baik kepada si anak sebagai pesan moral sejak dini.


"Kemudian anak diperkenalkan dengan kitab suci Al Quran sebagai dasar utama umat Islam, bertujuan untuk mengajarkan anak untuk mempelajari dan mengamalkan segala isi yang terkandung didalamnya. Anak kemudian digendong oleh teungku untuk dibawa keluar rumah dengan di iringi shalawat badar sebagai wujud kesyukuran juga pujian kepada Allah SWT dan Rasulullah saw," kata Guru Dayah Ma’hadal Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Samalanga itu.


Begitu juga dengan prosesi menginjakkan kaki bayi ke tanah. Biasanya, Abah Iswadi mengatakan, orang yang memimpin Peutroen Aneuk atau yang menyentuhkan kakinya pertama kali ke bumi saat ritual itu, akan diisyaratkan kepada si bayi agar memiliki pendirian teguh dan iman yang kekal, sebagaimana sifat tanah, kekal.


"Dalam hal ini, orang yang menginjakkan kaki si bayi ke tanah biasanya akan mengucapkan secara lisan isyarah dengan diawali hitungan dari satu sampai tujuh, atau ada juga yang sekadar meniatkan saja dalam hati sambil menyentuh kaki bayi ke bumi," sambungnya.


Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga itu menyebutkan prosesi ini sekaligus sebagai simbol memperkenalkan tanah dan lingkungan kepada si anak, supaya ia memperoleh keserasian dan kecintaan terhadap lingkungan. Ada pengaruh satu sama lain.

Abah Iswadi menyebutkan, bahwa tradisi Peutroun Aneuk itu sebagai wujud pelestarian nilai budaya. Peutroen Aneuk di dalam masyarakat Aceh berkaitan langsung dengan perjalanan hidup individu yang jika dicermati memiliki nilai-nilai penting sebagai acuan hidup di dunia maupun kehidupan di akhirat nanti, seperti keberanian, ketakwaan, kerja keras dan juga semangat mengarungi hidup yang penuh dengan dinamika dan tantangan.


"Kenduri Peutroen Aneuk sendiri sarat makna silaturahim. Tetua kampung dan keluarga dari kedua pihak (ayah dan ibu) si bayi diundang bukan sekadar untuk makan-makan, tapi juga membangun sikap saling melindungi, mengasuh, membimbing dan memahami bahwa si bayi merupakan bagian dari kaum kita. Itulah filosofi di dalamnya," tukasnya


Putra kelahiran Pidie itu mengatakan gerak ritual dalam tradisi Peutron Anuek bukan hanya ditujukan kepada si anak semata, tetapi juga diarahkan kepada kaum yang hadir. Tujuannya agar senantiasa memilihara nilai-nilai yang terkandung untuk membimbing si anak. Ini semacam persetujuan keluarga agar si anak ini menjadi tanggung jawab bersama.


Abah menyebutkan dalam prosesi selanjutnya ulama atau teungku memotong atau menebas tiga jenis pohon muda yang telah dipersiapkan, pohon pisang, pinang dan keladi seraya si anak tetap berada digendongan. 


Ini bertujuan memberi dasar kerja keras kepada anak saat besar dan dewasa kelak. Si anak kemudian diturunkan dan kaki langsung bersentuhan dengan tanah tepat dibawah kain yang telah dibentangkan dan dipegang oleh dua orang kerabat atau keluarga.


"Salah seorang keluarga lain telah siap dengan sebutir kelapa yang akan siap dibelah dan airnya untuk membasahi tubuh anak yang berada dibawah kain agar si anak menjadi pribadi yang pemberani. Terakhir, setelah anak dimandikan air kelapa dan dibasuh dengan air biasa, si anak akan dibawa menyapa seluruh keluarga dan sanak famili untuk mengakhiri upacara turun tanah tersebut," lanjutnya.


Abah menyebutkan tradisi lainnya di kawasan Pidie yang merupakan daerah terkenal jihad fisabilillah sejak dulu, mewariskan pesan tersebut, tradisi yang masih dilestarikan dalam tradisi ini ada Teut Mercon atau Toet Budee Trieng. Para endatu kita dulu dengan Touet Mercon itu bagian dari tradisi saat Peutren Aneuk Mit (turut tanah) anak laki-laki, diledakkan mercon, Beude Trieng, dan sejenisnya.


"Tafaulnya menumbuhkan semangat bagi dia anak laki-laki adalah perang di depan nanti. Yang dihadapi adalah perang (jihad fi sabilillah). Bangsa Aceh relegius jihad fisabilillah sudah menyatu dengan jiwa generasi Aceh sejak dulu," paparnya.


Kontributor: Helmi Abu Bakar
Editor: Syakir NF