Riset BLAJ

Tradisi Lisan Jadi Kekuatan Pendidikan di Era Teknologi

Rab, 15 Desember 2021 | 03:00 WIB

Tradisi Lisan Jadi Kekuatan Pendidikan di Era Teknologi

Dua orang gadis didandani saat persiapan tradisi Ngarot di Indramayu, Jawa Barat. (Foto: Tirto.id)

Berkembangnya teknologi informasi di era informasi di segala aspek kehidupan manusia seringkali melupakan upaya pemajuan khazanah budaya dan tradisi yang telah ada. Merebaknya praktik bullying, kekerasan dan tindakan yang tidak terpuji di lembaga pendidikan menjadi bukti tidak berjalannya mekanisme sosial budaya secara efekif. 


Peneliti dari Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) melalui penelitian berjudul Tradisi Lisan sebagai Bahan Ajar Pendidikan Karakter Siswa menekankan arti penting tradisi lisan bagi dunia pendidikan. Tradisi lisan menjadi salah satu komponen utama yang dapat berkontribusi memperkuat pandangan, nilai, kepercayaan, pengetahuan dan praktik budaya bagi generasi muda khususnya siswa.

 

Menurut peneliti, nilai-nilai utama (virtue ethic) dalam tradisi seringkali dimaknai terbatas, konvensional, dan rigid bagi komunitas penggunanya. Padahal tradisi bisa menjadi modal sosial dalam transmisi penguatan jati diri dan karakter bangsa. 

 

Berfokus pada tradisi di Jawa Barat dan Banten, peneliti memberikan uraian latar belakang Jawa Barat dan Banten yang dihuni sebagian besar entitas etnik Sunda memiliki keragaman budaya baik bendawi dan non-bendawi. Kebudayaan ini lahir, hidup dan dihidupi oleh para pelaku budayanya dengan selalu memperhatikan 'jiwa zaman' dan konteks lingkungannya. 

 

Salah satu tradisi yang diteliti adalah Bubur Suro sebagai tradisi berbagi antarsesama, menjadi wujud kesinambungan pengetahuan yang diwariskan para leluhur. Kemudian tradisi lisan Ngarot sebagai pembacaan sejarah lokal dengan variasi Bahasa Sunda Lelea. Ditemukan pula ragam pentas seni yang ditampilkan bersamaan dengan tradisinya. Cikahuripan dan Kawin Cai sebagai upaya menjaga dan memelihara alam lingkungan, manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhannya. 


Peneliti mendeskirpikan tradisi lisan merupakan wujud kesepakatan dua belas kasepuhan yang ada di Garut untuk saling menukar dan mencampurkan air yang bersumber dari mata air kasepuhan masing-masing sebagai ungkapan tanda kasih bagi alam. Tradisi lisan Tutup Taun dan Ngemban Taun Baru Satu Saka Sunda sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada yang Maha Kuasa. Tradisi lisan Haolan Mbah Sholeh sebagai upaya mengenang jasa para sesepuh.

 

Selain itu, ada Pongokan sebagai tradisi bersedekah sebagai ekspresi antara sesama rasa syukur kepada Allah yang telah menciptakan alam dan memenuhi berbagai hajat dan kebutuhan makhluknya. Hajat Sasih sebagai tradisi berziarah ke makam leluhur sekaligus membersihkan makam para sesepuh. Nyuguh, yang berfungsi melestarikan nilai dan membentuk kebersamaan, menjaga keseimbangan, akulturasi agama dan adat. 

 

Peneliti memberikan contoh lain, tradisi lisan Bebasa sebagai penghargaan kepada alam semesta dan penciptanya dengan melakukan ritual sebelum menebang pohon. Secara psikologis, tradisi ini mengindikasikan ‘ketidak relaan’ masyarakat untuk menebang pohon dengan menggunakan ritual. Cacah Jiwa sebagai persiapan dimulainya masa tanam padi.

 

Tradisi  lisan ini mengandung nilai-nilai keagamaan yang luhur berupa pembacaan do’a kepada Tuhan Yang Kuasa dengan dibaca oleh para pelakunya, menyampaikan wasilah kepada leluhur, baik penyebar agama yang mereka anut maupun para leluhur adat dan terakhir tradisi lisan Ngembang sebagai tradisi berziarah merupakan sebelas dari sekian banyak tradisi yang masih bertahan dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat dan Banten.


Peneliti, menyebutkan, dalam arti pendidikan lebih luas, nilai utama atau nilai baik dalam tradisi dibantah dengan penilaian normatif keagamaan. Proses ini menciptakan di satu sisi melemahkan tradisi, dan di sisi lain menguatkan konflik kelompok kelompok di dalam komunitas, baik dalam sudut pandang keagamaan maupun dalam sudut sosial budaya pada umumnya.

Penulis: Eko Wahyudi
Editor: Kendi Setiawan